Nelson Alwi *
suarakarya-online.com
Kesenian adalah satu dari sekian banyak lapangan kegiatan, yang tak mungkin diberi batasan secara konkret. Sedang hidup menyeni atau aktivitas serta kreativitas seniman kurang lebih menyerupai sebuah perkalian menuju abstraksi-abstraksi kesimpulan. Suatu perkiraan yang bermuara pada ciri-ciri, yang mencuat menandai kualitas karya yang dihasilkan.
Karya yang dihasilkan, di satu sisi, tidak lebih dari sejenis hiburan yang melelapkan dan untuk seketika mampu mengalihkan perhatian dari rutinitas hidup sehari-hari – sehingga terbebas dari berbagai kegelisahan yang berpijak pada identitas diri selaku makhluk berakal budi. Sementara di sisi lain, selain memiliki sifat dan peran menghibur, karya yang dihasilkan juga akan menuntun sang penikmat ke lingkungan kesadaran untuk bereksistensi.
Masalahnya sekarang, di manakah seorang pekerja seni berdiri? Untuk menjawabnya diperlukan sikap tegas dan visi yang jelas mengenai hidup berkesenian! Apakah ia hendak melacurkan atau cuma memperkedok kesenian, atau sebaliknya ingin menghormatinya?!
Kadang-kadang seniman sendiri memang harus menghadapi problem fundamental menyangkut keyakinan (ke)hidup(an) yang dianggap baik dan wajar. Dan, ini sering menjebak serta menggiring sang seniman ke lingkar permasalahan yang tiada bertali-temali dengan pandangan kesenian berorientasi jauh ke depan. Dengan kata lain, seorang seniman seakan sudah merasa puas mengutak-atik alias memanfaatkan instrumen kesenian untuk mencapai kemajuan (finansial) dan perbaikan diri pribadi, lalu melangkah menuju kondisi dunia seni yang vulgar.
Dalam keadaan demikian, bukan tidak mungkin, seorang seniman melancarkan pelecehan nilai-nilai: menyetarakan atau mencampuradukkan pengertian seni yang berkualitas dengan seni yang semata-mata bersifat menghibur – seperti pernah dilakukan Deddy “Miing” Gumelar (1991).
Sebagaimana diketahui, “Pelawak bermobil MBW” itu pernah mengungkapkan bahwa kegagalan karya seni selama ini disebabkan senimannya tidak mengerti selera masyarakat. Pernyataan tersebut menyiratkan fatwa bahwa “pasar”lah yang menentukan keberhasilan karya seni. Padahal, esensinya justru seniman melalui karyanya yang harus berperan mengubah atau memperbaiki selera rendahan masyarakat.
(Mengingat kapabilitas dan kredibilitas Miing saya jadi curiga, jangan-jangan dia cuma sekadar membanyol atau meledek seniman yang hijau matanya melihat uang. Dan, itu sah-sah saja kiranya. Siapa pun wajib mengarifi adanya ketidakpastian arah dan cita-cita yang mempengaruhi seseorang – seniman).
Matthew Arnold, pemikir kebudayaan asal Inggris, memandang keutamaan (per)puisi(an) sebagai kritik kehidupan yang disampaikan melalui kata serta kalimat terseleksi yang serba ringkas. Sementara Herbert Read, lewat bukunya yang masyhur, The Politics of the Unpolitical berpendapat, kesenian (pada umumnya) adalah sejenis kegiatan intelektual. Selanjutnya bisa dikatakan, kesenian merupakan ekspresi dari emosi dan insting jiwa (manusia) seniman yang paling dalam, suatu aktivitas sungguh-sungguh yang senantiasa membuat orang hidup bergairah sepanjang masa.
Pada gilirannya kesenian (baca: karya seni) memang jadi begitu berarti dan mengharukan. Kadarnya ditentukan oleh takaran nilai-nilai yang dikandungnya, yang selalu survive.
Sejarah membuktikan, para pakar tidak dapat membedakan peradaban kecuali dengan meneliti karya seni-karya seni yang mewakilinya. Barang-barang dari tanah liat, lempengan koin atau mata uang logam, pahatan atau goresan berupa huruf, flora, fauna dan lain sebagainya, yang dipatrikan di dinding gua maupun batu mejan, jauh lebih awet lagi mengesankan ketimbang sejumlah nama kaisar, pahlawan atau medan pertempuran.
Artinya, karya seni tampil lebih langsung melalui bentuk dan style yang diketengahkannya – yang akan menjadi ukuran bagi kemurnian suatu peradaban. Di samping itu, karya seni “bicara” dengan bahasa yang jernih, menceritakan status serta karakter zaman tertentu. Karya seni tidak hanya mengabari kita tentang pemujaan masyarakat terhadap bulan, bintang dan matahari atau (telah) adanya kepercayaan atas hidup sesudah mati, akan tetapi juga menawarkan pengertian-pengertian, ilmu pengetahuan berikut segala sesuatu yang, karena faktor-faktor keterbatasan, belum tentu dapat diperoleh dari sumber-sumber lain.
Namun golongan yang sinis boleh jadi berkomentar, umpamanya, nilai apakah yang akan tetap survive dari sajak-sajaknya Sutardji Calzoum Bachri atau cerpen-cerpen Danarto maupun novel-novel Iwan Simatupang?! Apakah elemen-elemen atau gayanya? Ya, apakah yang hendak dipetik dari sajak berikut cerita absurd dan tidak memenuhi kaidah-kaidah perpuisian dan penceritaan yang berlaku umum itu?
Kita semua barangkali perlu menyadari, bahwa substansi dan kelebihan karya seni mencakup gagasan-gagasan serta tindakan-tindakan yang unik alias lain dari pada yang lain. Pada mulanya, ada kalanya orang mencurigai atau membenci, katakanlah, misalnya, arsitektur Gothic yang seabad setelah diproklamasi dan dipresentasikan baru diserbu para pengagum yang berlomba-lomba mengagung-agungkan gayanya yang memang khas dan unik. Sementara di hadapan kita sendiri juga pernah terjadi, betapa menggemparkan sejarah roman Belenggu karya Armijn Pane: ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka, dicela berbagai kalangan (intelektual) zamannya, namun akhirnya tak urung dipuji dan disanjung serta dipandang sebagai salah satu karya sastra Indonesia modern yang paling monumental.
Pada hemat saya, memang demikianlah skala prioritas atau ukuran nilai-nilai estetika karya seni yang ideal. Kesenian toh bukan cuma tergantung pada keahlian teknis maupun kepopuleran (sesaat) sebagaimana disinyalisasi Eugene Johnson lewat The Encyclopedia Americana (1980).
Kesenian atau karya seni lahir dari dan berdasarkan suatu panggilan serta kebutuhan situasi. Kesenian atau karya seni adalah budi bahasa, keikhlasan, keluwesan dan juga form. Dan karya seni yang berkualitas lagi takkan dilupakan dibangun di atas berbagai pondasi kemungkinan: kreativitas, cara, gaya, sikap, tingkah-laku dan sopan-santun tindakan dalam berkesenian.
***
*) Penulis, peminat sastra budaya, tinggal di Padang.