Pembubaran Diskusi Buku: ?Dari yang Terbuang dan Dibungkam?

Astrid Reza
http://www.syarikat.org/

TANGGAL 3 Juli 2010, pukul 6 sore, datang orang-orang bersorban. Mereka hilir mudik di depan kaf?. Jam 7 malam, Polres Bantul menurunkan 50 orang personil. Mereka duduk-duduk di tempat diskusi akan digelar. Setengah jam kemudian, peserta diskusi dicegat massa. Terdengar deru motor yang digas kencang-kencang dari depan tanah lapang seberang kafe. Empat orang, satunya berkopiah, masuk dan duduk-duduk bersama petugas dari Polsek Kasihan dan Intel Kodim.

Di tengah-tengah hingar bingar menjelang semifinal piala dunia, kekerasan atas nama agama menelusup dalam keseharian kita. Celakanya lagi tindak-tindak kekerasan ini mengalami pembiaran oleh negara dan penegak hukum. Setelah insiden pembubaran paksa oleh FPI (Front Pembela Islam) dan sejumlah organisasi massa yang terjadi pada tanggal 24 Juni 2010 di Banyuwangi sehingga memicu perdebatan nasional terkait dengan sosialisi pengobatan gratis oleh Komisi IX DPR RI.

Seminggu, selepas dari insiden tersebut, peluncuran buku sastra dan diskusi sastra ?Dari yang Dibuang dan Dibungkam? karya anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta, kembali mengalami pembubaran oleh pihak kepolisian dan intimidasi dari organisasi massa yang menamakan diri mereka FAKI (Front Anti Komunis).

Acara serupa sebelumnya digelar di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta (2/7/10) dan Universitas Sanata Dharma (3/7/10 – pagi), yang berlangsung dengan baik dan menuai respon positif. Rangkaian acara terakhir hendak dilanjutkan di El Pueblo Caf? pada Sabtu malam dan akhirnya dibatalkan secara paksa.

Ijin Acara

Rangkaian acara yang diselenggarakan bekerjasama dengan Penerbit Ultimus Bandung, Forum Pinilih dan Parikesit Institute itu terpaksa dibatalkan pada menit-menit terakhir. YB. Wibawa atau akrab disapa Bowo yang malam itu didaulat menjadi moderator acara mengungkapkan, ?Dari pihak Polres Bantul sejak pukul sebelas siang sudah bolak-balik mengontak soal perijinan,? tuturnya.

Jam dua siang, pihak KASAD Intel Polres Bantul dan Kapolsek Bantul mengontaknya dan meminta agar acara ditunda. ?Alasan yang dikemukakan dari kepolisian adalah karena rangkaian acara sudah diketahui oleh pihak-pihak lainnya dan mengundang bahaya,? kata Bowo.

Lebih jauh kepolisian menyebutkan dikarenakan oleh kehadiran para eks-tapol dan juga Ibaruri Aidit (adik DN Aidit) yang disinyalir akan datang pada acara tersebut. ?Disebabkan oleh hangatnya insiden Banyuwangi, sebenarnya kami cukup siap jika acara ini mendapat kendala, organisasi yang dimaksud oleh kepolisian masih rancu, antara FPI atau FJI (Front Jihad Indonesia), namun ternyata yang datang adalah massa FAKI? lanjut Bowo menceritakan kronologis peristiwa pembubaran tersebut.

Bowo mengakui perihal kesiapan massa untuk membubarkan acara tersebut juga didapatnya dari beberapa SMS yang memberitakan adanya konsolidasi massa di markas ormas-ormas yang dimaksud. Sekitar pukul lima sore setelah membatalkan kedatangan kawan-kawan dari Ultimus, para eks tapol yang berusia lanjut dan Ibaruri Aidit, pihak El Pueblo bertekad untuk tetap menyelenggarakan acara.

Tak lama mereka kedatangan pihak KASAD Intel Bantul yang langsung duduk di tengah-tengah tempat diskusi. Sejam kemudian datang orang-orang bersorban yang hilir mudik di depan kafe.

Dicegat Massa

Menjelang jadwal acara, pukul 7 malam, berbarengan dengan kedatangan peserta diskusi dan juga pembicara, pihak kepolisian menurunkan personilnya. Sekitar 50 orang polisi dari Polres Bantul dan Polsek Kasihan diturunkan, berikut dengan kehadiran satu mobil patroli, 1 mobil tahanan dan 1 truk personil. Kehadiran Intel Kodim juga terlihat walaupun tidak mengenakan baju dinas. Massa FAKI bergerombol di depan gang menuju kafe dan sekitar 100 meter di sekitarnya. KASAD Intel pun memanggil Bowo dan mengatakan bahwa FAKI telah datang.

Setengah jam kemudian, peserta yang datang mulai dicegat di depan gang. Suara motor yang digas kencang-kencang di depan tanah lapang seberang kafe didengung-dengungkan. Empat orang anggota FAKI, salah satunya berkopiah masuk dan duduk bersama dengan personil Polsek dan Intel Kodim. Sesekali mereka menunjuk tangan mereka ke arah Bowo. Jelas sekali terlihat bahwa mereka saling mengenal. Kafe terasa sesak dengan kehadiran 40 orang peserta, 20 orang polisi di dalam dan sisanya di luar bersama massa. Gang masuk menjadi penuh. Suasana memanas.

Dalam 30 menit yang menentukan itu, keputusan untuk keberlangsungan acara sepenuhnya di tangan Bowo selaku koordinator dan juga pemilik tempat. Ia mulai berhitung.

Saling Mengenal

Akhirnya dengan berat hati, acara diskusi pada jam 8 dibatalkan. Ironisnya kemudian anggota kepolisian dan FAKI tetap disana untuk nonton bareng siaran langsung semifinal piala dunia Argentina versus Jerman. Anggota FAKI mulai bubar sekitar pukul 10 malam, sedangkan pihak kepolisian meninggalkan tempat menjelang tengah malam. Mereka benar-benar memastikan bahwa diskusi tidak terjadi sepeninggal mereka.

Bagi Bowo, pada akhirnya tidak melawan provokasi dari kepolisian dan FAKI dengan tindak kekerasan adalah paling benar. Pihak kepolisian berkedok hendak mengamankan acara namun pada kenyataanya kehadiran merekalah yang paling menganggu keberlangsungan acara. Sejak awal kedatangan mereka sudah duduk blocking di tempat dimana diskusi hendak dilaksanakan.

?Jika mereka hendak mengamankan acara seharusnya mereka membantu agar diskusi dapat dilaksanakan kondusif yaitu mengamankan orang-orang yang mengganggu dan mengancam keberlangsungan acara, ungkapnya.

Terlepas apakah pembubaran acara diskusi ini adalah inisiatif dari FAKI atau pun konspirasi bersama pihak kepolisian, yang tidak terbantahkan adalah kedua pihak saling mengenal. Pihak kepolisian pada awalnya secara halus melancarkan intimidasi dan dalih-dalih pengamanan. Lalu dari pihak FAKI yang sejak awal kedatangannya memprovokasi dan mengintimidasi agar acara tidak berlangsung,. Mereka bahkan seolah berharap adanya perlawanan dari penyelenggara.

?Keputusan untuk tidak melawan sudah cukup, karena jika kami melawan dengan tindak kekerasan, stigmatisasi terhadap Korban 1965 akan semakin berat dan saat itu kami menjadi single target. Mempertimbangkan keselamatan peserta dan isu, hal ini tidak menguntungkan? tegas Bowo.

Ia juga mengaku tidak kapok menyelenggarakan agenda dan acara-acara serupa di masa yang akan datang. Ia hanya mengungkapkan dibutuhkannya sebuah mekanisme solidaritas antar organisasi atau pembentukan aliansi untuk melawan intimidasi dan tindak kekerasan oleh organisasi massa juga pihak penegak hukum. Ia mengharapkan munculnya gerakan di tingkat nasional yang lebih solid terkait dengan kepedulian terhadap kepentingan kemanusiaan dan tidak takut untuk menghadapi organisasi massa yang mengandalkan kekerasan untuk menegaskan kepicikan cara berpikir mereka.

*) Aktivis Syarikat Indonesia