Republika 6 Juli 2008
SUATU HARI DI SUATU SENJA
: bagi Jengki
Suatu hari
di suatu senja
kau tahu di mana bayang kita
akan tiba
Gagak-gagak melengking pilu
seperti ingin mencari
rumah untuk pulang
istirahat dan tenggelam
pada diri yang asing
Aku asing pada hidupku sendiri
tak ada lagi bintang
yang kita lihat dulu
dan berharap cahaya
yang tak tertutup itu
adalah nujuman bagi kita
Segelas tuak
kita teguk
untuk hidup yang sia-sia
Kemana mimpi pergi
di mana bayang ibu
yang dulu kau sebut itu
Seteguk tuak
seperti membawamu kembali
bagai bocah
menatap bintang
dari balik cahaya kelereng biru
lalu kau tahu
bahwa bintang
sebenarnya tak punya cahaya
kecuali biru
dalam mata bocahmu
Suatu hari
di suatu senja
kau akan mengajakku pergi
membangun mimpi-mimpi
jadi puisi
yang kita gali bersama
Sejauh ombak yang datang
mata nelayan yang nyisakan kegundahan
kemalangan
ia tahu akan tiba
Kau tahu
bintang-bintang itu
tak lagi punya cahaya
selain abu di langit
yang tampak ragu
tenggelamkan senja
yang kita kejar
dari Denpasar
hingga ke kuta
Suatu waktu
di hari yang seperti senja
kita akan tiba
kembali
menjelma bayang bocah
penggali mimpi
atau apa saja
tapi kau lebih memilih
tuak
ketimbang bintang
nujuman kita.
__________________
Ni Wayan Eka Pranita Dewi, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, prosa liris dan cerita pendek. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal BlockNot Poetry, dan Jurnal Sundih. Sering menjadi juara lomba baca dan menulis puisi. Kumpulan puisinya “Pelacur Para Dewa” terbitan Komunitas Bambu, 2006. Kini ia aktif bergiat dalam Komunitas KembangLalang, Denpasar.