Nelson Alwi
http://www.suarakarya-online.com/
ASPEK dominan yang relevan dinamakan kebudayaan Indonesia ialah seluruh seni tradisional yang bertebaran di nusantara ini. Identitasnya dapat diketahui, terutama melalui keberhasilan kita dalam menerjemahkan atau memberi arti keberadaan berbagai kesenian yang sudah sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari (ke)hidup(an) serta pola pikir masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain, identitas kebudayaan dimaksud tidaklah yang secara eksplisit atau eksklusif bertali-temali dengan kemasalampauan yang didasari citra masyarakat statis. Karena sesuai dengan sifat atau roh kebudayaan itu sendiri, identitasnya diharapkan berkembang sejajar dengan dinamika kemajuan masyarakat yang berlangsung terus-menerus, secara berkesinambungan.
Jadi tari-tarian serta musik pengiring yang dulunya berperan memperbarui hubungan (batin) dengan arwah nenek-moyang atau ditujukan untuk mengundang turunnya hujan, kini boleh jadi dititikberatkan, umpamanya ke arah usaha pengimplementasian program pengenalan budaya antarsuku. Para penari yang selama ini cuma mengenakan cawat dan melumuri muka maupun sekujur (anggota) badannya dengan berbagai pewarna, sekarang dimake-up serasi dengan busana adat atau kostum yang sudah dimodofikasi, mencerminkan kekiniannya.
Begitu pula menyangkut cabang-cabang seni lainnya. Seni teater (rakyat) seperti randai dari Sumatera Barat, ke depan mungkin dapat menjadi wahana pendidikan sosial kemasyarakatan Minangkabau. Lagu-lagu serta musik karawitan tidak cuma berfungsi mengusir dedemit atau hantu jahat gentayangan, tetapi juga mengarah kepada upaya merangsang semangat perjuangan dalam pembangunan. Mantra (puisi lisan) pun tidak hanya dilantunkan sewaktu menjinakkan binatang buas atau tatkala mengobati orang sakit serta ketika manyarang cuaca agar tetap cerah, melainkan dapat pula dimanfaatkan sebagai media tempat penyair menyuarakan kebenaran dan rasa syukur.
Singkat kata, roh atau identitas kebudayaan kita, yang notabene ditinjau lewat keseniannya yang pusparagam, seyogyanya menggambarkan pertumbuhan atau kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat yang memilikinya. Dan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara yang didasari persatuan-kesatuan, segala sesuatu kreasi seni lahir, berkembang dan berhasil lagi berdaya-guna, langsung maupun tidak, bagi seluruh warga negara Republik Indonesia di manapun berada. Dengan kata lain, walaupun mbis dikerjakan oleh para wow-ipitsnya dari Papua dan wong-wongan Kamasan dilukis oleh Nyoman Mandra dari Bali, namun produk kesenian itu akan dinikmati sekaligus diakui sebagai kepunyaan kita bersama.
Tapi sekarang bagaimanakah keadaan atau nasib seni tradisi yang ada di seantero persada tercinta ini? Apakah kita yang merasa berhak masih tetap setia memelihara sosoknya yang asli di tengah kesemringahan zaman dewasa ini? Atau, apakah kesenian itu akan dibiarkan begitu saja terserap dan lebur ke dalam sejenis kebudayaan (nasional) baru yang sumbang, dan bahkan secara menyedihkan hampir dan telah lenyap sama sekali ditelan gelombang modernisasi yang bertiup sangat kencang dari luar (negeri)?
Pertanyaan atau kecemasan seperti itu sah dan wajar-wajar saja kiranya. Apalagi, kesenian (baca: kebudayaan) kita yang bersumber pada lingkungan budaya masyarakat statis yang beraneka-ragam namun berciri atau berlatar-belakang sama lahir dari suatu masyarakat agraris yang bersifat tradisional itu mengandung elastisitas yang berbeda dalam berasimilasi. Lingkungan budaya-etnis yang tidak seberapa kuat cenderung melakukan penyesuaian saat menghadapi kehadiran budaya lainnya. Sementara lingkungan budaya-etnis dengan tradisi lebih kuat, relatif luwes dan kritis sekali dalam berintegrasi dengan paham-paham atau aliran-aliran yang datang menggebu.
Penduduk suku Bakung dari Mahak-Dumuk di pedalaman Pulau Kalimantan dewasa ini sedang dalam proses kehilangan identitas, karena tanpa sadar telah meninggalkan suatu warisan budaya yang mengagumkan di tempat asalnya (Umar Kayam:1995). Hal yang nyaris sama juga dialami tari “langka” Tan Bentan (Solok), Uluambek (Pariaman) dan Rantak Kudo (Pesisir Selatan), sehingga sekarang dirasa perlu untuk kembali diteliti dan dilestarikan (Taman Budaya Sumatera Barat: 2010). Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita semua untuk turut serta menciptakan iklim dan kondisi yang kondusif demi survivenya kesenian tradisional dalam dunia mereka yang berlainan pada kurun waktu yang senantiasa berubah (-ubah) ini kecuali kalau kita memang telah siap dan rela mengorbankan atau mengapungkan salah satu kesenian (daerah) sebagai bentuk kreasi seni yang mewakili dan melambangkan identitas kebudayaan kita kini dan masa datang. Adapun kiat yang barangkali cocok untuk itu ialah dengan terlebih dahulu merumuskan sistem kebijakan yang diharapkan berperan merangsang atau mendorong lingkungan-lingkungan budaya tertentu untuk sesegera mungkin menemukan sendiri dinamika kreativitasnya masing-masing dalam rangka mencari dan menciptakan dimensi-dimensi baru yang aktual, sehingga segenap seni tradisi yang dimiliki tidak akan pernah sirna atau terpencil dari masyarakat dan zamannya.***
* Nelson AlwiPenulis, Tinggal di Padang