Cinta, Cintaku, dan Sebagainya

Untuk Kekasih dan Semua yang Pernah jadi Kekasih
Abdul Aziz Rasjid
Radar Banyumas, 1 Feb 2009.

Di abad 11 Masehi, di dataran tinggi tanah Kasmhir. Seorang Brahmana bernama Kanchipur dihukum mati. Sebab ia mencintai muridnya sendiri, seorang putri bernama Champavati anak dari Raja Sundava.

Jauh, sebelum penghukuman itu terjadi. Raja Sundava memahami betul bahwa cinta dapat tumbuh di manapun, juga dalam bentuk apapun. Namun, bila cinta mesti mekar di antara keduanya maka cinta itu adalah terlarang, bahkan cinta yang tak boleh mengada di dunia. Sebab itu pula, Raja Sundava di awal kisah menipu keduanya.

Pada sang Brahmana ia menyatakan bahwa putrinya adalah perempuan buta, pada sang putri ia mengatakan bahwa gurunya yang akan mengajarkan Vidya berpenyakit kusta. Dalam setiap pertemuan, keduanya selalu dibatasi sehelai kain. Namun, setiap harapan kadang kala tak berkesesuaian dengan kenyataan. Tipuan raja berakhir percuma. Cinta pun tetap hadir di keduanya.

Kisah itu, ditulis oleh Bilhana dalam sebuah naskah bertajuk Saurisuratapanchasila (50 sajak Pencuri Cinta) yang banyak bercerita tentang kerinduan pecinta di akhir hidupnya, dan tak sanggup untuk melepaskan kenangan cintanya. Hal yang romantis sekaligus tragis berbaur di kisah cinta itu, seperti layaknya cinta Qois dan Laila, Romeo dan Juliet atau Zainuddin dan Hayati yang kini melegenda.

Lalu, benarkah cinta yang indah mesti romantis sekaligus tragis? Sebuah kisah yang berakhir dengan kata: Dan mereka berdua berpisah selama-lamanya. Jika demikian di manakah letak kesetiaan cinta. Sebab jika cinta adalah kehidupan bagi sang pecinta, mengapa cinta tak memilih bersetia pada kehidupan.

Bila kita mempercayai bahwa cinta dapat tumbuh dimanapun dan dalam bentuk apapun, sekaligus bersetia pada kehidupan. Maka Sharazad, aku kira adalah sosok yang tepat untuk dijadikan contoh. Lewat dongeng 1001 malam, bukan hanya keperkasaan Sinbad yang hadir membentangkan layar kapal, atau Aladdin serta Jin, juga si pintar Abunawas. Namun, juga keperkasaan cinta yang tak hanya dapat menunda kematian. Lebih dari itu, cinta juga menghadirkan kehidupan yang baru.

Cinta yang dilahirkan Sharazad adalah perjuangan untuk hidup, sebab petualangan Sinbad, Aladdin serta Jin, juga Abunawas yang didongengkannya di ranjang Sultan setiap malam, tak hanya berhasil menunda kematiannnya selama 1001 malam. Lebih dari itu, sang raja yaitu Sultan Shahriar terbebas pula dari api dendam. Sebab dari kisah 1001 malam itu, sang Sultan tak lagi mengorbankan tiap perempuan di tiap pagi sebagai pengganti dari sakit hati dikhianati sang istri.

Ia lantas melupakan kebencian dan dendam itu, lalu menggantikannya dengan cinta yang dalam pada Sharazad. Dan yang terpenting, cinta itu setidaknya membuktikan bahwa tak ada seseorang pun, dalam bentuk kekuasaan apapun yang dapat menguasai kehidupan seseorang. Dan kisah mereka berakhir dengan kata: Dan mereka berdua hidup bahagia selama-lamanya.

Demikianlah sayang, setiap kisah cinta memiliki nasibnya tersendiri. Seperti pula hati, memiliki kesunyian masing-masing. Namun, aku lebih menyukai kemungkinan cinta yang dialami oleh Sharazad pencerita dongeng 1001 malam itu. Aku kira cinta memang harus demikian, sekali lagi: harus bersetia pada kehidupan.

Sebab pandangan itu, aku menulis tulisan ini untukmu. Walau aku tahu, tulisan memiliki potensi melemahkan penggunaan memori, dan hanya membuatmu bergantung pada ingatan yang bukan diperoleh dari dirimu sendiri. Namun, di luar potensi itu –dimana tulisan ini, walau kau baca seribu tahun kemudian akan tetap mengatakan hal yang sama– tujuanku menulis tulisan ini, agar kau mengerti jalan pikiranku tentang bagaimana aku mencintaimu di saat ini.

Aku tahu, kau mungkin akan berkata: “Jika tulisan ini tidaklah otonom, lalu bagaimana cara untuk mengklarifikasi atau membebaskannya dari tafsir yang salah?” Santai saja sayang. Jangan kau khawatir, bukankah ayah dari tulisan ini sudah pernah berjanji padamu bahwa selalu ada waktu untukmu. Sebab, ayah tulisan ini juga pernah berkata padamu, bahwa kayu-kayu di pintu hatinya, bahkan deritnya adalah kamu.

Jangan tersenyum malu-malu. Dan jangan mengatakan aku ingin meniru perjalanan cinta Kahlil Gibran dan May Ziadah yang berbagi cinta lewat korepondesi tanpa bertatap muka bahkan tanpa saling mengenal. Hal itu konyol buatku, tetapi aku tetap menghargai cara bercinta mereka yang aneh. Karena irama cinta yang kita rangkai pun, kadang kala hanya dipahami kita berdua saja.

Sayang, masih ingat kau pada Florentino Ariza, tokoh yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novel Love at the Time of Cholera yang pernah kuceritakan padamu dulu. Dia melakukan penantian cinta selama setengah abad lebih. Sebuah pilihan yang romantis sekaligus juga nakal. Sebab, walau diam-diam Florentino Ariza menyimpan cinta itu bertahun-tahun lamanya, selama menunggu kesempatan, dia sempat berkencan dengan 662 perempuan.

Sedang aku, ketika menulis ini untukmu, tiba-tiba teringat sebuah peristiwa saat Florentino Ariza dihardik oleh ayah gadis yang dicintainya agar menjauhi anak gadisnya. Alih-alih Florentino Ariza menciut, pemuda itu malah lantang mengatakan, ”Shoot me. There is no greater glory than to die for Love…”.

Santai saja sayang, peristiwa itu hanya terjadi di novel. Yang lebih realistis, agar aku tiba dengan selamat di pulau impian itu. Tentu saja, aku harus menyiapkan perbekalan yang tepat dalam bentuk apapun. Karena aku kira, akhir sebuah cinta yang bersetia pada kehidupan, bila sang pecinta dapat bertanggung jawab terhadap masa depan orang yang dicintainya.

Sebagai akhiran, aku kira nukilan puisi berjudul “Cinta” dari Abdul Hadi W.M. ini tepat untuk dijadikan penutup yang manis: Kau di sampingku/ Aku di sampingmu/ Kata-kata adalah jembatan/ Waktu adalah jembatan/ Tapi yang mempertemukan/ Adalah kalbu yang saling memandang.

Disiar pertama kali di kolom Rembug Budaya, Radar Banyumas, Minggu Kliwon 1 Februari 2009. Disiar ulang di catatan facebook –dengan beberapa perubahan– September, 14, 2009.

Bahasa »