Hantu Mei

Dadang Ari Murtono
http://www.surabayapost.co.id/

Sampai manakah batas kesetiaan itu barangkali tak ada yang tahu benar. Seperti pula tak ada yang tahu benar sejauh mana batas cinta itu. Kadangkala teramat tak masuk akal. Seperti kisah ini. Kisah tentang gadis yang memutuskan menjadi hantu. Setia menjaga rumah yang oleh orang-orang disebut rumah hantu. Setia menjaga dendam.

Semua dimulai ketika orang-orang mendadak lihai menjarah dan membakar, memperkosa dan membunuh pada suatu mei yang rusuh. Dan keluarga Mei adalah salah satu keluarga yang menjadi korban. Ibu dan kakak perempuannya diperkosa sebelum kemudian dipotong kedua puting payudaranya. Ayah dan kakak laki-lakinya dibunuh dan dibakar setelah sebelumnya dipaksa menyaksikan ibu dan kakak perempuannya diperkosa bergantian dengan brutal. Ia selamat. Mei selamat. Semata karena ayahnya memasukkannya ke dalam lemari kosong yang lama tak terpakai dab teronggok di sudut gudang. Orang-orang itu, pada akhirnya membakar pula rumahnya. Seperti tak menyisakan ada satu pun dari keluarganya yang tersisa. Semuanya mesti menjadi abu. Begitu pula tubuh ibu dan kakak perempuannya yang pingsan setelah diperlakukan seperti itu. Semua mesti menyusul jasad ayah dan kakak laki-lakinya yang telah lebih dulu diabukan hidup-hidup. Namun selalu ada keajaiban. Baru setengah rumah terbakar, hujan turun. Hujan yang ajaib. Hujan yang sasar musim. Hujan deras yang segera berhenti setelah api padam. Hujan yang seakan dikirim semata untuk menyelamatkannya. Menyelamatkannya dari jilatan api yang semestinya tak lama lagi bakal menyentuh gudang. Mengusap lemari sembunyinya. Menjadikan tulang dan daging-dagingnya bara sate yang tak sedap.

Ia ke luar dengan cara merangkak dari lemari sembunyinya. Masih 5 tahun ia waktu itu. Tak banyak yang dapat dipahaminya dari apa yang baru saja terjadi. Ia menangis. Ia menangisi mainan-mainannya yang telah terbakar. Ia menangisi ayah ibunya yang tak juga muncul padahal ia telah keras-keras memanggili mereka. Ia menangisi kakak laki-laki dan kakak perempuannya yang tak juga datang mengajaknya bermain. Ia merasa sendirian. Ia merasa kesepian.

Ia tak mengerti kenapa ayahnya memasukkannya ke lemari gudang. Ia tak mengerti kenapa tak ada satu pun keluarganya yang datang menggendongnya. Ia tak mengerti kenapa mainan-mainannya dibakar begitu rupa. Apakah ia telah berbuat nakal dan ayahnya tengah menghukumnya seperti beberapa waktu yang lalu ayahnya menghukumnya dengan tidak memberi uang saku selama 3 hari hanya karena ia malas berangkat mengaji ke masjid yang berjarak 500 meter dari rumahnya? Tapi ia merasa tak sedikit pun berbuat nakal atau melanggar perintah ayahnya beberapa hari ini.

Sungguh ia merasa tak melakukan sesuatu yang membuat ayahnya tidak suka dan menghukumnya sedemikian rupa. Ia ke masjid untuk mengaji tiap jam 3 sore hingga setengah 5. Ia juga bangun pagi terus untuk membantu ibu menyapu halaman sementara kakak laki-lakinya menyiapkan barang dagangan di toko dan kakak perempuannya membantu ibu menyiapkan sarapan. Sedang ayahnya berbelanja kekurangan-kekurangan barang dagangan ke pasar kecamatan. Setelah semuanya beres, kakak laki-lakinya berangkat sekolah. Kakaknya itu masih kelas 2 SMP. Begitu pula kakak perempuannya yang bersekolah di SMA kecamatan kelas 3. Sebulan lagi, pada akhir juni, kakaknya yang cantik, berkulit putih, bermata sipit dan rajin sholat itu akan menempuh ujian akhir kelulusan. Menurut rencana yang telah disetujui ibu ayahnya, kakaknya itu akan melanjutkan ke jurusan kedokteran universitas yang ada di luar kota. Ia tak ingat nama universitasnya sebab namanya teramat sulit bagi lidahnya yang masih cadel. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Jadi tak ada masalah tentang biaya besar yang dibutuhkan untuk kuliah di jurusan kedokteran. Toko ayahnya adalah toko paling besar dan lengkap di desa itu. Dan keluarga itu adalah keluarga terkaya di desa itu. Mei sendiri masih TK nol kecil.

Dengan kondisi perekonomian semacam itu, bukanlah hal yang aneh bila ia mempunyai banyak mainan. Bahkan bila dibandingkan dengan keseluruhan mainan kawan-kawannya kampung sepantarannya, mainannya masih lebih banyak. Karena itulah sepulang sekolah ia kerap mengajak kawan-kawannya bermain di rumahnya. Dakon, bongkarpasang, rumah-rumahan, monopoli, ular tangga, boneka-boneka barbie dan masih banyak lagi. Ibunya yang mirip kakak perempuannya itu, cantik dan sipit, selalu saja menyambut tamu-tamu kecil itu dengan suka cita, dengan senyum manis dan kue-kue yang tak kalah manis dengan senyum ibu itu. Begitu pula bila kakak laki-laki atau kakak perempuannya mengajak kawan sekolah mereka menginap di rumah untuk mengerjakan tugas kelompok atau sekadar bermain.

Namun perkara-perkara menyenangkan semacam itu tak bertahan lama. Ketika harga barang-barang terus menanjak dan televisi serta surat kabar terus-terusan mengabarkan bank yang dilikuidasi, demonstrasi dan kerusuhan, situasi berubah dengan cepat. Orang tua kawan-kawannya mulai melarang anak-anak mereka bermain bersamanya atau berkunjung ke rumahnya. Demikian pula kawan-kawan kakak laki-laki dan kakak perempuannya. Tak ada lagi yang menginap. Pada waktu itu ia tak mengerti kenapa kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bertingkah aneh seperti itu, seperti mengucilkan keluarganya meskipun ia tak yakin keluarganya telah berbuat salah pada orang-orang itu.

Ia hanya ingat meskipun waktu itu tak paham maksudnya, ayahnya berkata, “satu-satunya alasan kenapa orang-orang memperlakukan kita seperti ini adalah karena kita putih dan sipit. Ayah sendiri juga tak mengerti, sejak kapan kiranya sipit dan putih itu menjadi dosa. Barangkali semenjak beberapa orang menyebarkan isu bahwa kenaikan harga barang-barang itu disebabkan oleh orang-orang semacam kita. Orang-orang yang putih dan sipit. Ayah sama sekali tak percaya dengan isu itu. Orang-orang semacam kita , orang-orang sipit dan putih itu kebanyakan memang berprofesi sebagai pedagang, mulai dagang kelontongan hingga pusat-pusat perbelanjaan raksasa. Tapi,sungguh, bukan mereka yang menaikkan harga-harga sesuka hati. Mereka juga merasa susah dengan kenaikan harga-harga itu. Dengan kondisi seperti ini. Penjualan menurun karena daya beli masyarakat juga turun. Itu berarti keuntungan juga menurun. Persis seperti toko kita itu. Ada banyak hal lain yang menyebabkan harga-harga naik dan krisis parah seperti sekarang ini. Teramat rumit. Dan sungguh itu bukan semata salah orang-orang seperti kita. Namun orang-orang terlanjur mencap kita seperti itu. Itu bukan hal yang baik. Maka tak kita mesti segera bersiap. Bersiap untuk hal paling buruk yang mungkin saja terjadi. Hal-hal yang barangkali tak pernah sanggup kita bayangkan.”

Namun semua berlangsung teramat cepat. Sebegitu cepat hingga mereka tak sempat bersiap. Televisi, radio, dan surat kabar telah tiba-tiba memberitakan hal-hal yang buruk itu. Hal-hal yang ditakutkan ayahnya itu. Perampokan, penjarahan dan pembakaran toko-toko yang dimiliki mereka yang berkulit putih dan bermata sipit seperti keluarganya. Pemerkosaan dan penyiksaan perempuan-perempuan bermata sipit dan berkulit putih seperti keluarganya. Orang-orang yang tiba-tiba dituduh pengrusak perekonomian, orang-orang yang tiba-tiba dijuluki pendatang yang tak tahu diri. Orang-orang yang diharuskan bertanggungjawab terhadap krisis yang tak jelas ini. Orang-orang yang mesti segera dihabisi, dibersihkan dari permukaan tanah negeri ini. Negeri yang sebenarnya juga tanah air, tempat lahir mereka, orang-orang bermata sipit dan berkulit putih, orang-orang seperti keluarganya itu.

Tak butuh waktu lama agar pembersihan itu merambat ke mana-mana. Menjalar ke seluruh negeri dan hinggap pula di kampung mereka. Maka begitulah, orang-orang berbondong-bondong datang ke toko ayahnya. Bukan untuk membeli atau berhutang seperti dulu, melainkan merampok dan menjarah, memperkosa dan menyiksa, membunuh dan membakar. Dan tinggallah ia sendiri yang luput.

Baginya, butuh bertahun-tahun untuk mengerti itu semua. Untuk mengerti bahwa ia kini sebatang kara. Dan selama itu pula ia tidak berani keluar dari reruntuhan sisa bakaran rumah dan toko ayahnya. Ia ketakutan dan buru-buru sembunyi tiap ada orang yang lewat di depan reruntuhan itu. Meski pun waktu itu ia tak mengerti apa dan kenapa hal buruk seperti itu terjadi, namun jauh di bawah alam sadarnya, sesuatu menggerakkan ia untuk sembunyi dan merasa ketakutan. Sesuatu itu barangkali adalah teriakan penuh marah dan umpatan orang-orang yang didengarnya samar-samar dari lemari sembunyinya dulu. Barangkali juga erangan permohonan ampun ayah dan kakak laki-lakinya atau isak kesakitan ibu dan kakak perempuannya.

Seperti biji beringin, sesuatu yang tersemai dengan tidak sengaja di kedalaman alam bawah sadarnya itu terus tumbuh. Terus tumbuh dan tak henti memekarkan tunas daun dan cabangnya. Terus tumbuh menjadi beringin raksasa dengan sulur-sulur akar dahan yang menyeramkan. Terus tumbuh seperti rambutnya yang awut-awutan. Terus tumbuh seperti kuku-kukunya yang kian panjang, tajam dan kotor. Sesuatu itu tumbuh menjadi dendam yang demikian besar seiring dengan pemahamannya tentang apa yang terjadi. Tentang apa-apa yang dalam kenangannya terlihat kian jelas. Kian terang. Kian menyakitkan. Kian membuatnya menangis.

Bertahun-tahun ia bertahan seperti itu. Dendam dan kemarahan sebenarnya yang membuat ia bertahan. Atau kesetiaan pada dendam dan kemarahan itulah. Yang jelas, itu semua pula yang mengajarkan pencernaannya untuk sanggup mencerna jatuhan daun-daun, daging tikus mentah, air selokan, bahkan batu bata dan kereweng untuk menebus lapar dahaganya.

Dan tiap malam ia menangis. Begitu lirih. Dan orang-orang yang lamat mendengar tangisan itu mulai ketakutan. Mereka berpikir tangisan itu adalah ratapan arwah keluarganya yang mereka bantai dulu. Mereka mulai beranggapan rumah itu berhantu. Dan kadang-kadang, ketika anak-anak muda yang dengan sok jagoan ingin menemui hantu itu, mendatangi sumber ratapan itu, ia dengan samar-samar menampakkan diri di kegelapan. Dan anak-anak muda itu akan segera lari terbirit-birit dan menceritakan kepada orang-orang yang lain bahwa hantu itu berambut panjang jelek awut-awutan dan berkuku hampir 30 sentimeter.

Dan orang-orang mulai menjauhi rumah itu. Menjauhi ia yang tetap setia. Bersetia menjaga warisan keluarganya. Bersetia merawat ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan tentang keluarganya. Bersetia pada dendam dan amarah sebab diperlakukan teramat tak adil, teramat tak manusiawi.

Kesetiaan itu telah membuatnya menjadi hantu.