Abdul Aziz Rasjid
Aziz, Yusri Fajar, Denny Mizhar berfoto-foto dengan latar pendar-pendar kembang api pada malam tahun baru 2011 di lapangan rektorat Universitas Brawijaya, Malang. Nanang Suryadi, tak tahu kemana, mungkin ia suntuk menulis puisi di akun facebook-nya tentang sejauh apa kembang api dan puisi dapat memberi inspirasi bagi masyarakat untuk mulai menata harapan di awal pergantian tahun.
Malam itu, sebelum kembang api dibakar, Yusri dan Nanang membacakan dua puisinya di atas pentas gelar budaya untuk menyambut awal pergantian tahun. Denny sibuk menuruti permintaan Yusri dan Nanang untuk merekam dan memotret keduanya dengan kamera warna merah yang sepertinya selalu tersimpan di kantong jaketnya. Aziz duduk mengamati ketiganya, senyum sendiri, dalam hati ia meledek: Yusri dan Nanang, potret dan video yang kelak akan terpajang pada album foto maupun video dalam situs jejaring sosial facebook, akan menampung hasrat narsistik seorang penyair untuk membekukan beberapa pose, mengabadikan usaha bersikap indah penyair saat membaca puisi.
Di malam tahun baru 2011 itu, lelaki perempuan lalu lalang, sorot lampu dan lagu-lagu —dari keroncong sampai rock and roll— dinyanyikan sekumpulan dosen dan mahasiswa. Entah, berapa orang yang berpikir tentang jumlah rupiah yang harus dibayar oleh pihak rektorat Universitas Brawijaya demi kemeriahan itu. Berbaur di keriuhan pesta tahun baru, Yusri dan Aziz bertatap muka untuk pertama kali, keduanya saling berjabat tangan, sebelumnya mereka hanya bertemu kata di kolom obrolan facebook ketika Yusri masih melanjutkan studi di bidang kajian Sastra antar Budaya di Universitas Bayreuth, Bayern, Jerman pada tahun 2008-2010.
Di mata Aziz, Yusri lebih sebagai pemerhati puisi daripada seorang penyair. Aziz suka mengamati kerja-kerja Yusri dalam menelaah kemungkinan perambahan ucap dan perambahan wawasan yang dilakukan penyair-penyair dari Malang yang disyiarkannya di akun facebook. Semisal pada “Catatan Singkat atas Puisi-puisi Nanang Suryadi” (ditulis di Jerman, 4 April 2010), Yusri menelaah bahwa secara struktural, salah satu kekuatan puisi Nanang Suryadi terletak pada konsistensi “permainan” bunyi kata yang mengkonstruksi dinamika rima dan pada repetisi kata dan frasa yang berjalin kelindan dalam bingkai keutuhan. Lebih jauh, lanjut Yusri, dialog dan suara kadangkala ditekankan melalui “kalimat langsung” membuat puisi-puisi Nanang Suryadi menawarkan komunikasi yang mendekonstruksi otoritas tunggal ujaran sehingga memunculkan narasi yang dinamis.
Aziz kira, Yusri tepat dalam pembacaan strukturalnya terhadap keumuman cara ungkap puisi Nanang Suryadi. Nanang memang piawai “bermain-main” dengan repetisi kata dan frasa untuk membangun kekhasan ucap puisinya, simak penggalan puisi bertajuk “Ada yang Tiba-Tiba” —dimuat Horison, Tahun XLV, no.1/2011. Januari 2011. hal.7— berikut:
…dengan tanya dengan segala gelisah dengan segala cemas dengan
segala khawatir o kemana kan dilabuhkan ke mana segala mimpi
segala harap segala ingin segala kehendak karena tiba tiba saja
ada yang terasa menyelinap mungkin rasa cemburu atau sebuah
ketakutan akan kehilangan.
Di Malang, tak hanya puisi-puisi Nanang yang telah ditelaah oleh Yusri. Puisi dari penyair-penyair lain semisal Ragil Supriyatno Samid, Abdul Mukhid, Denny Mizhar, Tegar Prajaksa juga Yusri hayati. Kata Yusri pada Aziz di catatan bertajuk “Tentang Puisi-puisi Mukhid, Ragil dan Tegar Prajaksa” (ditulis di Malang, 2007), membaca puisi empat penyair dari Malang itu, Yusri mendapati cara berpuisi mereka ada yang mengikuti prinsip Sutan Takdir Alisjahbana yang ‘menuju laut’ meninggalkan ‘rumah’ dimana konvensi-konvensi tradisional dinegasikan, mengadopsi Eropa entah disadari atau tidak. Ada pula yang menjunjung hibriditas dengan intertekstualitas (baik struktur dan tema) yang bermuara pada puisi-puisi sebelumnya. Singkatnya, pada empat penyair dari Malang itu timbul rasa ingin melakukan emansipasi melalui peniruan untuk membangun identitas kepenyairan, tapi di lain pihak ada rasa ingin mempertahankan perbedaan.
Dipandang sebagai kajian tehadap karya-karya sastra dari Malang, setidaknya catatan-catatan Yusri bagi Aziz merupakan usaha atau niat baik untuk sedikit demi sedikit menandai ragam perambahan ucap dan wawasan penyair dari Malang. Bagi Aziz, gairah bersastra sedang semarak produktivitasnya di Malang —contohnya Denny yang menyiarkan puluhan puisi di catatan facebook-nya dan terdokumentasikan dalam www.sastra-indonesia.com, dan sering diledek oleh Aziz bahwa perambahan wawasan puisi Denny semakin memperpanjang gerbong puisi yang menyelenggarakan sunyi— memang harus diimbangi kerja-kerja telaah sastra agar ditemukan keberbedaan visi masing-masing penyair.
Apalagi ketika ekologi sastra semisal lembar budaya surat kabar memiliki keterbatasan untuk memuat telaah-telaah sastra, sedang jurnal atau majalah sastra yang berniat diri untuk konsentrasi memuat telaah-telaah sastra minim diproduksi, maka jejaring sosial semacam facebook memang mau tak mau kudu difungsikan sebagai ruang alternatif. Kehadiran beberapa puisi-puisi dari penyair Malang, sepanjang pengamatan Aziz, memang tak hanya mewujud dalam buku antologi puisi. Kebanyakan diantara mereka, menulis dan menemui pembacanya di catatan facebook, blog atau merekam pembacaan puisinya agar didengar dalam situs tertentu semisal yang dilakukan penyair Lodzi di www.reverbnation.com.
Aziz memandang, kerja-kerja kepenyairan semacam itu adalah kerja mandiri, usaha berkreativitas seorang penyair untuk mendekatkan karyanya pada masyarakat luas. Ruang-ruang baru di luar buku, majalah maupun surat kabar membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi penyair untuk bebas melakukan eksperimentasi ragam ucap dan wawasan dalam puisinya tanpa harus berusaha untuk mengikuti selera redaktur, terbatasi oleh kolom atau berusaha menjadi placebo dengan mengikuti cara ungkap penyair yang telah dianggap mapan.
Dalam situasi semacam itu, yang diperlukan adalah hadirnya telaah, untuk setidaknya menemukan kekhasan ucap maupun wawasan kepenyairan mereka, menandai cara mereka memandang kota Malang bahkan Indonesia dalam puisinya, atau telaah menjadi masukan berharga untuk meningkatkan mutu bobot puisi bila kemudian sang penelaah menemukan kelemahan eksplorasi tema maupun struktural dalam puisi-puisi yang ia baca.
Aziz memang suka meledek penyair yang mengekor ragam ucap penyair lain, sedang Yusri menghormati puisi dengan berusaha menandai ciri ucap maupun wawasan yang terkandung. Aziz dan Yusri, tidak suka mengekor pada penilaian asal hantam yang kerap terjadi dalam iklim sastra Indonesia, bahwa sastra di luar buku, kolom budaya koran, majalah sastra adalah karya sastra sampah.