Muhammad Al-Mubassyir
Jurnal Jombangana, Nov 2010
Sayup-sayup angin dingin menelusup masuk ke ruang kalbuku, tapi kubiarkan saja, toh kedinginan itu terasa hangat bagiku. Biarlah mulutku sampai kaku sekali pun, nanti kekakuan itu akan berubah menjadi irama indah yang menghiasi perjalananku. Dan juga kubiarkan tanganku berkeringat darah dan nanah demi mengepal butiran-butiran kayu kecil yang di mata banyak orang tidak memiliki nilai filosofi apa-apa.
Entah kenapa perasaanku seperti ini, kayaknya ada sesuatu yang mengganjal pada malam ini yang membuat beda dengan malam-malam lain. Tampaknya para peziarah jauh lebih banyak dari sebelum pukul sebelas tadi, tapi tak apalah yang penting Mbah Hasyim terus hadir di ruang hampaku, Mbah Wahid selalu menemani iring-iringan bibirku dan Gus Dur terus mencoba merajut benang salbut yang terikat erat dengan perasaanku.
Aku tak menghiraukan nyanyian surga yang keluar lantang dari puluhan bahkan ratusan peziarah itu, aku cuma sibuk dengan diriku sendiri yang sedang menyusun irama-irama suci dari nukilan aqwal ulama’ dan ma’tsur dari Rasulullah, sedikit pun tak ada perhatian pada mereka bahkan perasaanku telah menyelam di lautan salju halus yang sesekali salju itu terasa hangat-hangat kuku bagiku dan saat itulah aku merasakan ketenangan yang sangat seakan-akan tak ada keterkaitan lagi dengan dunia ini.
“Owh……” desahku tak lama setelah segelintir peziarah meninggalkan congkop makbaroh.
Tak terasa hampir sepertiga malam aku berada di dasar lautan Tuhan, embun a-ba-ta menghujan membasahi jiwa yang kering kerontang, menyejukkan pikiran yang panas kemarau, melunakkan hati yang keras berkarang. Aku membuka mata pelan-pelan untuk melihat suasana lahir yang agak lama kutinggalkan. Di sana jauh lebih ramai dan padat dari suasana sebelumnya yang hampa, sepi, senyap cuma berempat denganku, owh… tidak. Ampun, aku salah maksudku berlima dengan-Nya. Tapi sangat sulit bagiku untuk menghadirkan-Nya butuh pengorbanan luar dalam, itu pun harus melalui beberapa ujian yang mengusik batinku.
Kelopak mataku rupanya semakin kaku dan nyaris terpejam, hampir tak ada kekuatan lagi untuk menahan kantuk berat yang menderaku. Dengan bacaan yang mulai tadi didominasi oleh hati entah sampai pada bacaan yang mana aku pun tak lagi ingat apa-apa. Aku cuma menemukan alam baru yang berbeda dengan alam di mana aku sampai pada puncak kesadaranku. Alam ini menjerumuskanku ke dalam jurang dan mematikan seluruh saraf kesadaranku sehingga aku terbang melanglang buana yang tak kukenal kemana-mananya.
* * * *
Pantai itu begitu indah. Sayang keindahannya hanya aku nikmati sendiri. Sepanjang mata ini memandang, tak ada lalu lalang seorang pun yang aku tangkap. Hanya deburan ombak di jauh sana yang tak ada habis-habisnya, sungguh lautan yang tak kelihatan puncaknya seakan bertemu dengan kaki langit di depan sana.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuh ini terseret gulungan gelombang hingga pada batas kedalaman yang tak terjangkau. Tubuh ini pasrah mengikuti irama ombak yang tak terelakkan. Jantungku kian cepat memacu darah hingga nyaris melucuti urat-urat nadi kehidupanku. Aku mencoba memasrahkan tubuh ini hingga ujung langit sekali pun tidak apa-apa. Tapi takut, cemas, khawatir dan semua rasa tak mengenakkan tetap saja bergumul dalam dada yang nyaris pecah karena tak mampu menampungnya.
Aku sungguh tak paham dengan keadaanku. Sudah cukup lama tubuh ini terombang-ambing oleh ombak yang tak terhitung ketinggiannya dari permukaan laut, tapi mengapa? Mengapa laut tak kunjung menelanku dalam-dalam hingga aku tidak tersiksa lagi dengan gelombang pasang ini? Owh… ternyata ada sesuatu yang menopangku sehingga aku masih dapat berdiri tegak, surfboard. Ya surfboad, sebuah selancar mungil berwarna putih itulah yang ternyata aku tumpangi. Ombak demi ombak aku lalui dengan dada deg-degan tak ada habis-habisnya. Jantungku berpacu dengan kekuatan kuda seratus kilometer per jam serasa akan terlempar ke samudera sana. Darahku seketika naik puncak saraf. Aku baru sadar bahwa ini bukan permainan selancar biasa namun sebuah perjalanan panjang yang terjal dan berliku layaknya ditempuh oleh kapal atau paling tidak perahu sederhana. Sungguh kejadian di luar nalar manusia.
Aku merasa sudah sampai pada puncak klimaks perjalanan itu. Sepanjang mataku terarah ke seluruh penjuru mata angin tak ada yang kulihat kecuali lautan biru pekat bahkan kecoklatan bercampur mendung. Sungguh lautan jelmaan langit yang tidak ada ujungnya. Namun aku melihat bayangan di belakangku. Entahlah aku tidak tau bayangan siapa itu atau cuma sugestiku saja yang mencoba membayangiku yang jelas bayangan itu terus membuntuti seakan menemaniku menempuh perjalanan sakral tersebut. Dan anehnya lagi yang kurasakan bayangan itu bukan malah meneduhkan tapi menyinari dari kegelapan dan kepekatan laut sampai aku mengakhiri perjalanan.
Aku terkejut waktu aku sadar bahwa ternyata aku tidak sendirian di atas selancar mungil ini. Bayangan tadi menjelma menjadi tiga orang yang berdiri di sampingku di atas satu selancar. Aku tidak dapat memastikan siapa mereka. Aku hanya dapat memastikan perjalanan ini sarat dengan misteri, ekstrem serta menguras tenaga fisik dan mental. Perjalanan ini begitu aneh. Berlayar tanpa sampan, menelusuri lautan tanpa motor penggerak. Selancar ini sedianya berjalan hanya dengan kekuatan Tuhan. Itu saja yang aku yakini.
* * * *
Aku terhentak kaget saat segerombol peziarah mengelilingiku. Dengan suara agak lantang, mereka mampu mengembalikan kesadaranku setelah sekian lama menempuh perjalanan curam. Seketika memoriku tentang alam nyata bersemi kembali di benakku, hanya saja memori itu terisi file baru yang merekam kejadian yang menurutku tidak akan terjadi di alam nyata. Biarlah file itu terhapus dengan sendirinya karena semu dan penuh khayal.
“Subhanallah…..Allahu Akbar…!” teriakku dalam hati menjadi tak karuan. Nafasku tersengal-sengal, urat-uratku menjadi tegang, seluruh tubuhku dibanjiri peluh dan badanku menggigil panas dingin melebihi kegentinganku saat melawan ombak dalam perjalanan itu. Tapi tidak salah lagi, yang kualami saat ini memang benar-benar nyata dan tak ada rekayasa. Kenyataan ini berhubungan dengan mimpiku tadi. Bagaimana tidak, setelah aku melihat di depanku ada maqbarah tiga orang tokoh yang kuanggap pahlawan itu. Ya, pahlawan agama dan bangsa. Kukira pahlawan itu membuatku harus menginstal kembali file rekaman kejadian yang pernah kualami bersama tiga bayangan yang menyinariku selama menempuh perjalanan tak berujung itu.
Maqbarah Hasyim Asy’ari. 2010