Mengenang ”Puputan Margarana”
Agus Darmita Wirawan
http://www.balipost.co.id/
”Siapa yang mengatakan dirinya paling berjasa di sini, omong kosong. Baru begini saja sudah mengatakan diri paling berjasa. Rumahku sudah dibakar habis oleh NICA, dan keluargaku entah bagaimana sekarang, aku belum merasa diri berjasa sedikit pun. Ini hanya kewajiban, kalau kita ingin mengatakan diri kita berjuang untuk tanah air.”
ITULAH nukilan pernyataan I Gusti Ngurah Rai atau Pak Rai ketika dalam masa perjuangan menuju tanah Mel, di lereng Gunung Agung, yang merupakan bagian fragmen “Puputan Margarana” yang penuh heroik dan menarik direnungkan. Pernyataan itu memberikan pencerahan kepada para pejuang waktu itu akan pentingnya kehadiran kesadaran sejati dalam diri sendiri. Dalam perjuangan melawan kezaliman dan kebatilan, tidak sepatutnya menghitung untung-rugi, tidak layak pula menghitung siapa yang paling berjasa antara satu dengan yang lain. Semua karma (baca: perjuangan) telah dicatat oleh alam dan dipastikan akan mendapatkan pahala yang setimpal atas pengorbanannya itu.
Ini adalah konsep harmoni — keseimbangan, antara perjuangan dan kemenangan, antara pengorbanan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Hitungannya pun konon lebih canggih dari alat-alat hi-tech sekalipun. Itulah “alam” makrokosmos yang dalam spiritual Hindu identik dengan Brahman itu sendiri. Karena itu, siapa yang menentang alam, tentulah akan dilumat oleh alam itu sendiri. Karenanya pula, terhadap hukum alam, tak seorang insan pun sanggup menolaknya.
Disadari atau tidak, sesungguhnya perang “Puputan Margarana” tidak pernah berakhir. Kalau pun “puput” hingga momentum 20 November 1946, namun refleksi semangat yang dialirkannya kepada para generasi adalah sebuah cermin — potret keteladanan bagi kita. Pak Rai adalah sosok yang tak pernah menyurutkan tanggung jawabnya dan tak pernah capai dengan strategi-strategi perjuangannya. Adakah di antara kita kini tengah mengabdi untuk kepentingan orang banyak dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan pribadi?
Kini, idealisme memang relatif kian surut, bahkan hampir punah sama sekali digerus waktu dan zaman. Mencermati kondisi dan situasi kekinian, idealisme nampaknya bagai sebuah gurauan atau lelucon. Tak seorang pun akan percaya seratus persen jika masih ada idealisme yang tersisa dalam perjuangan atau pun dalam pembangunan. Benarkah? Dalam kondisi apapun, sesungguhnya idealisme selalu tumbuh. Bayangkan, jika sebuah idealisme tidak menjadi bagian dari perjuangan, barangkali saja tak satu pun perjuangan atau pembangunan dapat diwujudkan.
Namun, perbedaan idealisme pada zaman pembangunan ini kadarnya lebih menyusut jika dibandingkan dengan zaman pergerakan tempo dulu. Keberanian pasti tumbuh jika mereka ada dalam zaman yang sulit. Pikiran-pikiran cemerlang selalu lahir dalam kondisi sosial yang susah. Pada masa pembangunan ini, semangat dan keteladan para pejuang haruslah dijadikan barometer untuk menapaki hari-hari. Karena sesungguhnya hidup ini adalah sebuah perjuangan yang tak pernah berakhir dan perjuangan itu sejatinya identik dengan pengorbanan itu sendiri. Akhirnya, tak ada yang mesti harus diperhitungkan untung-ruginya dan jasanya, karena hasil dari perjuangan akan muncul dengan sendirinya tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.
Mencermati nukilan pernyataan Pak Rai di awal tulisan ini, tampaklah Pak Rai tak pernah membayangkan jasa apa yang kemudian akan diterimanya, dan tidak juga pernah pamrih terhadap rasa bhakti yang telah dikorbankannya. Itu semua semata-mata karena tanggung jawabnya yang disandang sebagai pucuk Pimpinan Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil waktu itu. Pak Rai benar-benar berkorban untuk tanah air. Ketegasan dan keberanian Pak Rai terbukti pada suratnya kepada Overste Termeulen yang nyata-nyata menghendaki Belanda (NICA) lenyap dari pulau Bali. Hal tersebut kini diabadikan di empat dinding cadas Monumen Perjuangan Candi Margarana di Desa Marga Dauh Puri, Tabanan. Monumen yang kokoh-tegak berdiri di atas tanah di mana Pak Rai mengumandangkan kata “puputan” sebagai tanda perjuangan sampai titik darah yang penghabisan kali, sekaligus menjadi saksi bisu perjuangan “Puputan Margarana”. Namun, masihkah itu mampu menyisakan idealisme di hati kini?
Di bulan November ini ada citra sungkawa yang patut jadi renungan bersama. Dua peristiwa mahapenting yang diperingati setiap tahun, Hari Pahlawan dan Puputan Margarana adalah hari-hari penuh korban, jiwa dan raga. Itu adalah tonggak yang telah menjadikan kita lebih baik dari hari-hari kemarin, mengambil kembali bagian milik kita seutuhnya dari tangan-tangan penjajah, menuntaskan kita sebagai suku bangsa yang benar-benar merdeka, dan menghirup “satu udara” di bumi Indonesia.
Maka, tidak harus saling berseteru, karena kita sesungguhnya “saudara.” Ternyata, perjuangan belum usai, sebagaimana Chairil Anwar menulis dalam “Krawang Bekasi”-nya, “…Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian…”, sebagai tanda tetap tumbuhnya idealisme di hati kita.