Cara Bode Membangun Khayalan

Abdul Aziz Rasjid
Radar Tasikmalaya, 16 Mei 2010

Tak jarang orang membangun khayalan sepanjang hidupnya. Tetapi sayang, ketika seseorang terus beranjak dewasa, khayalan hanya ditanggapi sebagai dunia permainan anak. Khayalan dipandang tak logis, kurang mendapat perhatian dan tanpa disadari ikut memutih bersama tumbuhnya uban di kepala.

Khayalan menjadi cara menumpahkan emosi, membayangkan dunia tersendiri yang diidamkan sambil membangun apa yang mewakili perasaan dengan memfungsikan segala sesuatu yang diterima oleh indera. Setiap khayalan dalam motif itu, berpangkal pada keinginan yang belum tercapai, bertujuan melakukan perbaikan dari kenyataan-kenyataan yang ada.

Uniknya, khayalan melayang-layang di antara tiga waktu: provokasi masa lampau, kenyataan masa kini yang dipikirkan ulang untuk membentuk hipotesa tentang bagaimana hidup di masa yang akan datang mesti dimaknai dan dimengerti.

Penyair menciptakan dunia khayal semacam itu —merujuk pada Freud dalam Creative Writers and Day-Dreaming— yang ia tanggapi dengan sungguh-sungguh. Menyalurkan banyak emosi sambil membedakan secara tajam dari kenyataan. Penyair mengakrabi bahasa, mengolah dan menyelami fakta-fakta di antara perputaran waktu sebagai sublimasi dan untuk memposisikan diri berjarak dengan macam-macam provokasi demi mendekati kebenaran yang akan ia yakini.

khayalan Personal

Puisi-puisi Bode yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi berjudul Mendaki Kantung Matamu (Ultimus, 2010) dicatat dari khayalan dalam motif itu. Alam semesta yang tertangkap oleh indera menandai keniscayaan perubahan-perubahan kehidupan. Dalam puisi yang bertajuk “Di Bawah Albasia” misalnya, sunyi menjadi pangkal dibangunnya khayalan:

Sampailah sunyi
ketika seorang perempuan
menghibur malaikat di atas angin

Perlahan langit di hatiku
mengelus ruang batin yang mengerak
seperti saat ini matahari menggilai
rumputan dari geliat burung pipit yang genit

O, jiwaku membatu
di gemirik air payau yang tenang.

Sunyi sering ditanggapi sebagai situasi untuk mencari pengertian hidup tanpa kehadiran orang lain. Dalam kesunyian itu, rangsangan alam yang diterima Indera lalu mengantarkan aku liik pada kegelisahan. Pesona dari langit yang hanya dapat dilihat tanpa bisa disentuh lalu menyibakkan beban kehidupan “perlahan langit di hatiku, mengelus ruang batin yang mengerak”. Kecemasan menjadi kian tegas seperti situasi daratan yang dapat disentuh dan dirasakan aku lirik, “Oh, jiwaku membatu, di gemericik air yang tenang”. Dalam keadaan itu, tiba-tiba sunyi menjadi pecah:

Persis di bawah albasia
tiga orang anak memainkan layangan kertas
hampir saja mereka menikamku ke massa silam

Aku sempat menaruh putih mata mereka yang liar
ke dalam mangkuk pikiranku yang kelam

Ya, hidup sekadar sandal
mengalas mengupas waktu.

Tiga orang anak yang memainkan layangan kertas itu adalah sebentuk provokasi dari masa lampau yang hampir saja menikam aku lirik. Kata hampir disana menjadi penting sebab secara tersembunyi menjelaskan bahwa aku lirik telah melakukan upaya penghindaran. Masa lalu dalam putih mata tiga anak kecil —dunia tersendiri anak-anak yang belum banyak terpengaruh— bukan ruang untuk kembali yang mesti dihuni lagi, tetapi difungsikan sebagai ruang pengertian untuk menegaskan suatu hal vital; dimana perjalanan waktu, di satu sisi membuat orang dewasa semakin luas pandangan dunianya, namun di sisi lain menimbulkan penyempitan yang melahirkan kecemasan-kecemasan dalam pikiran yang kelam. Dari perenungan itulah kemudian aku lirik mendapat semacam rasa mengerti, dan ia dengan tegas berkata: “Ya, hidup sekadar sandal / mengalas mengupas waktu”.

Perambahan pengucapan Bode Riswandi dalam puisi “Di Bawah Albasia” itu, menjadi menarik sebab sebelum Bode meningkatkan pesan perenungannya untuk menyampaian kehidupan yang kian berubah, terlebih dahulu ia mengkhayalkan langit —yang hanya bisa dipandang— untuk memasuki kegelisahan yang ia rasakan dengan mewakilkan idiom daratan yang dapat ia sentuh. Uniknya, kesendirian dalam sunyi yang telah menyatu padu bersama alam tidak mengantarkan pada penemuan pengertian hidup. Malah sebaliknya, pengertian hidup mengada lewat kehadiran orang lain yaitu tiga anak kecil. Di sinilah, lingkungan penalaran khayalan dalam puisi Bode mengakui bahwa pengalaman puitik meski bersifat personal namun tidak bebas dari pengaruh dunia sekitar.

Khayalan Massal

Khayalan ternyata tak hanya bernaung sebagai kontruksi psikologis personal. Namun juga dapat hinggap sebagai kontruksi psikologis massal. Khayalan massal itu, dapat bermula dari sisa-sisa citraan khayalan Bangsa. Misal yang menarik, terlihat dalam puisi bertajuk “ Dalam Cermin, Wajahku Tak Seperti Indonesia” ini:

Kiranya, bukanlah negeriku
jika tak ada api
dan beribu luka mengeluh

Kiranya, bukanlah negeriku
jika tak menopan
dan sepinya lari perusuh

Sejarah daun-daun rimbun, pemantun, pupuh
dan mitos lirik teh yang teduh
lagu para pengetam, lajur benang-benang jala
dan catatan tentang padi menguning
: nun semakin jauh dan hilang geming

Hikayat laut-laut berkaca, gemaung bukit yang agung
balada penyuling desa, lenggok pengusung obor dari malam
ke malam panjang, dan catatan tentang perjaka
juga perempuan-perempuan ramah

: nun semakin jauh tak berranah.

Dalam puisi itu, ada keindahan citraan yang telah dirasa hilang. Keindahan yang dicatat dari masa lampau; alam dan situasi masyarakat yang menyenangkan. Citraan-citraan itu telah menjadi semacam mitos atau sisa khayalan suatu bangsa yang hanya tertinggal sebagai catatan dan tak mengada lagi dalam kenyataan. Maka, citraan itu hanya dapat tampil dalam lapisan-lapisan pendambaan:

Kiranya, inilah mata yang bersajak tak henti
mendamba rindu dari gemaung bukit yang agung
mendamba cinta dari perjaka dan perempuan-perempuan ramah
mendamba lenggok pengusung obor dari malam ke malam panjang
mendamba catatan tentang padi menguning, balada penyuling desa
lajur benang-benang jala, juga lagu para pengetam.

Bode Riswandi memfungsikan khayalan massal dari citraan masa lampau untuk menegaskan perubahan kenyataan di masa kini. Dalam cara itu, ia menyatakan gugatan personalnya dengan cara mengawinkan pilihan-pilihan bahan tertentu (mitos lirik teh yang teduh, balada penyuling desa, catatan-catatan tentang perjaka juga perempuan yang ramah) di antara bahan-bahan yang telah banyak dikenal secara massal (padi menguning, daun yang rimbun, dan gunung yang agung). Dua bahan itu memuncak pada perubahan-perubahan di masa kini (ramah menjadi perusuh). Pendambaan-pendambaan di antara kini dan yang telah lalu, akhirnya hanya mengantarkan aku lirik pada keterasingan: Rupanya, mata-Mu pun/ semakin jauh kudekati.

Di sinilah letak kekhasan cara Bode membangun khayalan berlangsung, yaitu bagaimana penyair meramu konflik antara dunia dan alam dalam tiga waktu. Kebenaran timbul tenggelam dalam perputaran waktu. Indera dan nalar penyair, menangkap getar-getar sunyi dan keterasingan dari masa lalu untuk mempertanyakan masa kini guna merangkai keesokan.