Andari Karina Anom
tempointeraktif.com
SECARIK surat mendarat di meja panitia hadiah Magsaysay di Manila, Filipina, pada Juli 1995. Dua puluh lima sastrawan dan budayawan kenamaan Indonesia membubuhkan tanda tangan di lembaran itu. Mochtar Lubis, salah satu peneken surat itu bahkan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya sebagai tanda “berduka”.
Mereka memprotes diberikannya penghargaan sastra itu kepada Pramoedya Ananta Toer karena “peran tidak terpujinya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.”
Apa gerangan “peran tak terpuji” Pramoedya hingga mengalami penolakan sebegitu rupa?
Mari kita tilik pernyataan Pram dalam seminar sastra di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, April 1964-yang dimuat di harian Bintang Timur. Ia menyatakan “jika para sastrawan tak ingin ketinggalan dengan perkembangan politik, maka mereka haruslah aktif dalam perjuangan rakyat dan revolusinya”.
Pada saat itu, Pramoedya adalah pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia dan Ketua Redaksi Harian Bintang Timur (yang di dalamnya memuat lembar kebudayaan Lentera). Di harian yang dipim-pin Pram itulah, pada 1963, Iramani-alias Letnan Kolonel Njoto, anggota biro politik Komite Sentral PKI yang juga anggota sekretariat Lekra-menulis “sudah datang waktunya untuk menghentikan segala perdebatan apakah seni itu berpolitik atau tidak karena barangsiapa berkata bahwa seni itu nonpolitik, sesungguhnya dia itu reaksioner.”
Maka terbentanglah berbagai pembungkaman hak asasi para seniman selama partai komunis itu berkuasa. Misalnya, pelarangan dan pembakaran buku yang tidak sehaluan dengan mereka.
PKI dan “anak-anaknya” termasuk Lekra mengobrak-abrik buku di perpustakaan USIS, bagian penerangan dan kebudayaan Kedutaan Besar Amerika Serikat, di Jalan Segara (kini Jalan Veteran), Jakarta Pusat. Karya-karya itu kemudian dibakar. Piringan hitam yang dikategorikan musik “ngak-ngik-ngok” (termasuk milik Koes Plus) diperlakukan serupa. Harian Bintang Timur menyatakan sedikitnya ada dua juta buku kontrarevolusi yang dibakar pada masa itu.
Lekra juga melancarkan kampanye menghabisi penerbit-penerbit independen yang dianggap berseberangan. Korbannya antara lain penerbit yang mengedarkan terjemahan Dr. Zhivago karya pengarang Rusia, Boris Pasternak, dan sejumlah penerbit buku Islam.
Kampanye pemburukan nama juga dilakukan oleh lembaga kebudayaan ini. Sejumlah seniman dan budayawan yang dianggap berseberangan diserang karya-karyanya. Misalnya Hamka, H.B. Jassin, Usmar Ismail, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, dan Asrul Sani. Dari angkatan yang lebih junior, ada Wiratmo Sukito, Bokor Hutasuhut, W.S. Rendra, dan Goenawan Mohamad.
Salah satu yang mencuat adalah tulisan di lembaran kebudayaan Lentera, di surat kabar Bintang Timur pada 1962: “Aku Mendakwa Hamka, Plagiat!” Yang dimaksud adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Ulama besar ini tak cuma dilucuti dalam tulisan, tapi juga dilecehkan lewat karikatur yang sa-ngat vulgar. Serangan kian membabi buta. Hamka kemudian dicokok aparat lantaran difitnah berkomplot membunuh Presiden dan Menteri Agama. Tanpa diadili dan tanpa secuil pun bukti, Buya -panggilan hormat kepada Hamka-mendekam tiga tahun di penjara Sukabumi, Jawa Barat.
Mochtar Lubis juga menelan kepahitan serupa. Sastrawan penentang PKI ini sembilan tahun menatap sel penjara, di lokasi yang berbeda-beda. Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya pun dibredel dengan semena-mena oleh pemerintah pada masa itu.
Paus sastra Indonesia Hans Bague Jassin turut “kebagian jatah”. Salah satu tudingan Pram yang dimuat di korannya adalah “buku-buku Jassin diterbitkan alat pemerintah federal”. Karya Jassin antara lain Kesusatraan Indonesia di Zaman Jepang dan Gema Tanah Air diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Taufiq Ismail, penulis Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, menyatakan pemaksaan ideologi seni kala itu gencar dilakukan Lekra dan PKI. “Mereka memaksakan pendekatan ideologi seni realisme sosialis yang merupakan landasan filsafat Lekra, pada kaum seniman di luar kelompok mereka,” ungkap Taufiq.
Beragam tindak “pemerkosaan” hak-hak berekspresi itu menggundahkan para seniman dan budayawan. Dua puluh orang pun berkumpul di kantor redaksi majalah Sastra, Jakarta, dan memproklamasikan Manifes Kebudayaan pada 19 Oktober 1963. Naskah Manifes yang menekankan bahwa “Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain” pertama kali dipublikasikan di majalah pimpinan H.B. Jassin itu.
Pemerintah kemudian melarang Manifes pada 8 Mei 1964. Tidak satu pun karya kelompok Manifes yang diterbitkan pada masa-masa itu, sehingga mereka harus bergerak di bawah tanah.
Alih-alih membela para seniman, Pramoedya justru menulis di korannya dengan judul Tahun 1965, Tahun Pembabatan Total. Karangan itu, antara lain, me-nyatakan para pendukung Manikebu disebut “mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan setan”. Sehingga, tulis Pram, “pengganyangan ter-hadapnya mau tak mau harus pula secara terorganisir-“-
Pramoedya selaku salah satu pimpinan Lekra juga tidak pernah menentang dan memprotes berbagai bentuk penindasan yang dialami para seniman itu. Seperti dikemukakan penyair W.S. Rendra, Pram dalam seminar di Yogyakarta itu malah memproklamasikan bahwa “pengganyangan terhadap para musuh revolusi harus dilakukan karena masa revolusi harus diajar untuk bisa membedakan mana kawan dan mana musuh revolusi”. Menurut Rendra juga, tulisan-tulisan di harian yang dipimpinnya juga mendukung aksi PKI dan Lekra itu.
Belakangan, pada 1994, Pramoedya membantah. Dalam wawancara dengan Hayam Wuruk-majalah mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, ia mengeluhkan, “Sekarang (tuduhan-tuduhan itu) malah dipusatkan ke saya. Katanya saya melarang, menekan dan segala macem. Saya punya kekuasaan apa?” Pram menyatakan semua tindakan tercela yang dituduhkan padanya sebagai fitnah belaka.
Namun, seperti diungkapkan W.S. Rendra dalam majalah sastra Horison, Pramoedya adalah pimpinan Lekra yang kala itu pengaruhnya setaraf dengan Dewan Pimpinan Partai Golkar pada masa Orde Baru. Jadi, “Mana mungkin tidak tahu-menahu?”
Selepas dari Pulau Buru, Pramoedya juga pernah membela diri dengan menyebutkan pada waktu itu, ada kekuasaan resmi dan kekuasaan bayangan. Yang dimaksud kekuasaan bayangan adalah militer. Jadi, pelarangan dan pemberangusan itu militer yang melakukan, bukan Soekarno. Bukan pula dirinya. “Saya punya kekuasaan apa?” sergahnya.
Taufiq Ismail menyayangkan aneka bantahan Pramoedya. “Jangankan meminta maaf atas perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya dulu, mengakui saja tidak.” Rendra juga dengan lantang berucap, “Saya tidak sedang memfitnah bila saya berkata bahwa Pramoedya selaku pemimpin Lekra tidak menentang dan memprotes pembakaran buku-buku itu.”
Seperti juga kontroversi hadiah Magsaysay, segenap peristiwa itu mungkin hanya sekelumit kisah dalam episode hidup seorang Pramoedya.
Sastrawan besar itu kini telah terkubur di pemakaman Karet Bivak. Segenap polemik tak ikut mati bersamanya.
08 Mei 2006