Mata Uang Ke-seni(rupa)-an

Syaiful Irba Tanpaka
lampungpost.com

Pada 17 Februari lalu saya mengikuti diskusi di Taman Budaya Lampung (TBL) sekaitan dengan Pameran Lukisan Lampung Art Adventure 2011 yang memajang karya pelukis Lampung dan Jakarta, yakni Syahnagra Ismail, Salvator Yen Joenaidy, Atuk, Semut Prasidha, dan Lilis Suryati Syahputeri. Suatu pameran yang didedikasikan untuk mempertemukan antara seni, pariwisata, dan kebudayaan yang bertumpu pada potensi-potensi alam dan kearifan lokal daerah Lampung sebagaimana sambutan Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata, Sapta Nirwandar, yang tertulis dalam katalog pameran.

Diskusi dengan tajuk Mengancang Masa Depan Jagat Seni Rupa di Lampung itu menghadirkan narasumber Syahnagra Ismail dan pengamat seni rupa Christian Heru Cahyo Saputro yang telah merangkum pemikirannya dalam tulisan yang diterbitkan Lampung Post, 19 Februari 2011.

Dengan audiens yang cukup merepresentasikan berbagai kalangan terkait, seperti para pelukis, pengelola Menara Siger, pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL), pengelola galeri, kalangan guru serta pihak swasta lainnya; diskusi yang dipandu Kepala TBL Helmi Azhari itu mencoba mengancah persoalan-persoalan yang selama ini “menempurungi” perkembangan jagat seni rupa khususnya dan kesenian pada umumnya.

Dari perbincangan yang berlangsung segar dan menarik dalam diskusi itu, saya menyimpulkan dua hal pokok sebagai modal membangun masa depan ke-seni(rupa)-an di Lampung. Sengaja saya menuliskan kata ke-seni(rupa)-an dengan maksud bahwa wacana ini selain secara khusus ditujukan untuk bidang seni rupa, tapi juga terbuka sebagai wacana membangun dunia kesenian secara umum.

Kedua hal pokok itu adalah energi dan sinergi. Seperti yang dilontarkan Syahnagra bahwa seorang pelukis (baca: seniman) harus selalu memiliki energi untuk menghasilkan karya-karyanya. Energi untuk menghayati setiap momen kehidupan sebagai sumber inspirasi, energi untuk terus mencari menemukan dan mengasah konsepsi estetiknya, yang dikatakan Christian Heru sebagai potensi sumber daya manusia.

Dalam pandangan saya bahwa energi merupakan faktor internal yang memiliki pengaruh mendasar bagi setiap perupa dan seniman umumnya dalam suatu proses kreatif. Karena itu wajib dijaga dan dipelihara untuk melahirkan kegelisahan demi kegelisahan berkarya secara konsisten. Menelantarkan energi serupa ini sesaat saja sama dengan membuang kesempatan berharga untuk mengekspresikan diri. Maka risiko yang paling mungkin adalah minimnya kreativitas dan produktivitas.

Dalam ranah seni rupa berarti memperpanjang waktu untuk sampai pada pengenalan eksistensi diri melalui pameran tunggal. Ini menjadi satu persoalan tersendiri bagi para perupa di Lampung yang mengemuka dalam diskusi karena ternyata bisa dihitung dengan jari perupa yang sudah memiliki lebih dari 50 karya. Sementara di daerah-daerah lain, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali diungkapkan Christian Heru sudah berorientasi pada pameran dan membidik pasar lewat balai lelang.

Dengan kata lain bahwa energi kreatif ini belum menyala dengan baik di tungku perapian kreativitas para perupa Lampung. Tentu akibatnya berpengaruh pada persoalan profesionalisme. Sebab, bagaimana bisa kita bicara profesionalisme bagi para kreator dengan energi kreatif yang hidup segan mati tak mau?

Hal kedua adalah mengenai sinergi. Ini merupakan faktor eksternal, lantaran sudah bicara mengenai menejerial dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pada titik ini harus ada komunikasi dua arah yang bersimbiosis mutu alistis. Pihak-pihak terkait mestilah sama-sama berperan secara aktif untuk membangun sinergisitas dalam satu visi membangun ke-seni(rupa)-an di Lampung. Baik itu pihak pemerintah daerah yang diwakili dinas instansi terkait, lembaga kesenian, seperti DKL, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lampung, pihak-pihak swasta, museum dan galeri, guru-guru kesenian maupun kalangan perupa sendiri.

Selama ini bukan tidak terjalin kemitraan di antara unsur-unsur itu, melainkan kemitraan yang terjadi mayoritas masih bersifat parsial. Artinya setiap unsur itu belum secara bersama-sama membangun komitmen untuk mencerahkan masa depan ke-seni(rupa)-an.

Padahal jika sinergi itu terjadi secara terpadu merupakan peluang yang potensial menyongsong pengembangan ekonomi kreatif yang dapat diandalkan menjadi alternatif peningkatan pendapatan nasional, seperti yang telah dibuktikan pemerintahan Inggris yang dikenal sebagai pelopor pengembangan ekonomi kreatif.

Maka layak dipertimbangkan memprakarsai unsur-unsur itu untuk bersama-sama membentuk satu komitmen membuat rantai sinergi. Bagaimana misalnya membangun hubungan antara perupa dan lembaga kesenian yang ada, antara perupa, museum, dan galeri, antara perupa dan guru-guru kesenian, antara lembaga kesenian, museum, dan galeri, dst.

Dengan demikian, antara energi (internal) dan sinergi (eksternal) akan menciptakan sekeping mata uang yang memberikan nilai lebih bagi jagat ke-seni(rupa)-an, baik secara intrinsik maupun nominal.

Secara intrinsik merupakan nilai yang harus dibayar dalam memperjuangkan visi bersama sehingga setiap unsur dapat bermitra dengan harmonis. Sedangkan hasil yang dicapai dari kemitraan (sinergisitas) itu menjadi harga nominal yang bisa dinikmati, berupa lahirnya karya-karya seni rupa yang berkualitas. Peningkatan apresiasi masyarakat (kolektor) dan kalangan pelajar, adanya pameran tunggal atau bersama secara berkala, bergairahnya kehidupan museum dan galeri, dan naiknya harga karya-karya seni rupa.

Untuk itu, diperlukan pertemuan-pertemuan yang digagas melalui pameran dan diskusi yang dapat membuka distribusi pemikiran yang saling menggairahkan sebagai pemantik era baru yang diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah klasik dan elementer. Tabik pun.

***

Bahasa ยป