http://www.korantempo.com/
SI SAKIT
Mesti buru-buru aku ucapkan, sebab langit kamar sempit biru berkata padaku: beberapa saat lagi penguasa alam menarik kemampuanmu bicara.
ketahuilah, detak jantungmu seberisik gema lonceng gereja, dengung mangkok labu dalam vihara, tabuhan beduk berkulit sapi di tepi musholla, serta mengingatkanku pada ricik jangkrik yang bertapa sebatang kara di laci meja tempatmu bekerja. tiap kau memelukku, menempelkan kepalaku di dadamu, aku tersihir jadi pejalan kaki miskin berkeluarga trotoar di jalan kota-kota manusia. trotoar pemelihara anak-anak anjing, rumah bagi tumpukan ludah dan tempat angin mencipta puing-puing. puing apa saja, termasuk puing air mata bahagia atau nestapa. bahagia atau nestapa siapa saja. mereka, kamu, atau saya.
tak cuma itu, keberisikan detak jantungmu membuat aku yang tersihir jadi pejalan kaki miskin mesti berkali dilayangkan angin, dimasukkan dan disesatkan ke labirin demi labirin. dari labirin air ke labirin logam, dari labirin tanah ke labirin kayu, dari labirin udara ke labirin cahaya. melingkar di situ-situ saja. bertemu naga, bertempur dengan singa raksasa, tertimpa lonceng gereja, terkurung di mangkok labu dalam vihara, menjadi beduk berkulit sapi di tepi musholla, menelan jangkrik sebatang kara yang bertapa di laci meja, dilontar lagi ke trotoar di kota-kota manusia, disihir kembali jadi pejalan kaki miskin. tiap malam berangin, bersama burung hantu dan anak-anak anjing, mau tak mau mesti tundukkan kepala, meditasikan dingin.
atas nama penyakit yang kucintai, dokter, jangan letakkan lagi kepalaku di dadamu, toh mengheningkan detak jantung saja engkau belum mampu.
2008
ORANG YANG MENYERET BABI
tak ada yang tahu nama, agama, bintang, shio, elemen, apalagi tempat dan tanggal lahir orang itu. orang yang hampir lima minggu, di kampung kami, hilir- mudik menyeret babi. babinya bukan babi seperti milik penduduk kampung (yang gempal bagai roti, yang berekor pendek setipis lidi, yang gemar memangsa tahi sendiri). babinya adalah babi suci (yang kurus bagai kaki sapi, yang berekor panjang setebal lengan bayi, yang pantatnya tak bisa mengeluarkan tahi).
tak ada yang berani mengganggu orang yang menyeret babi. siang-malam-pagi, sang penyeret berputar-putar seperti orang yang mencari. tak ada yang bertanya apa sesungguhnya yang dicari. semua orang disembunyikan dan bersembunyi dalam diri, dalam tak peduli, dalam rumah yang bagai kandang babi.
kala pagi, penyeret babi selalu duduk di pinggir jalan, di atas batu, di tepi ladang bambu. ia bagai babi yang menyeret babi, sebab hidungnya tak lebih mancung dari babi-babi peliharaan penduduk kampung kami. di atas batu, orang itu selalu tertawa keras-keras. babi yang ia seret akan ia tendang keras-keras. setelah melakukan itu, penyeret babi yang duduk di atas batu akan tertidur pulas. tak jauh dari tubuhnya, babi tergeletak lemas.
orang itu akan bangun tidur dan kembali melangkah bergegas, saat batu tempat ia tidur mulai panas. babi diseretnya lagi, kadang dengan tangan kanan sesekali dengan tangan kiri. melewati rumah demi rumah, sering terdengar ia menyerapah. melintasi kadang demi kandang, kerap terlihat matanya memerah. tubuhnya ungu tersinari matahari, wajahnya ribuan kartu yang menyimpan teka-teki.
di lembar-lembar angin malam, sambil terus-menerus keliling berjalan kaki menyeret babi, orang itu bagai membaca puisi: oh, pada siapa kuwariskan babi suci ini, bila setiap kandang telah dipenuhi babi pemakan tahi. separuh kata-katanya mengapung di atap-atap rumah penduduk kampung kami, sebagian lagi menetes ke ranjang-ranjang penghuni rumah yang lelap bermimpi.
tak ada yang peduli ketika orang yang hampir lima minggu, di kampung kami, hilir-mudik menyeret babi pergi. tak ada yang tahu dan bertanya apa maksud penyeret babi itu meninggalkan babinya di depan pintu rumah kepala kampung: pria tua yang telah hampir lima minggu menjadi incaran pisau saya: istri kelimanya.
2008
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Kini bermukim di Bandarlampung.