Ismi Wahid
http://www.tempointeraktif.com/
Dalam opera, tak hanya naskah yang dipentingkan. Musik juga menempati posisi sejajar dengan alur cerita. Begitu pula opera esai Tan Malaka, yang dipentaskan perdana di Teater Kecil Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, kemarin malam. Pergelaran ini masih akan dimainkan hingga esok malam sebagai penampilan pamungkas Festival Salihara Ketiga, Bianglala Seni Urban.
Komposer Tony Prabowo menciptakan komposisi musik tersebut selama 6 bulan. “Saya berangkat dari libreto, yang ditulis sutradara. Saya pelajari cukup lama,” kata Tony di sela latihan. Selama proses penciptaan itu, Tony selalu berdiskusi dengan sutradara Goenawan Mohamad soal motif musik yang akan digunakan.
Tony pada akhirnya memilih idiom musik yang sangat kontemporer, tak lagi patuh pada konsep opera konvensional. “Susahnya adalah tidak ada dialog di sana. Setiap partitur tidak mudah dibentuk,” ujar Tony.
Tidak ada dialog, karena Goenawan memang menyusun naskah tanpa alur cerita. Tak ada penokohan di sana. Semua aktor hanya bertutur. Dengan alur semacam ini, membangun karakter musik dan ekspresi dramaturgi tidaklah mudah. Butuh strategi dan kreativitas untuk membangun dramaturgi itu. Ia–mau tidak mau–harus menghidupkan emosi musik, mengikuti tafsir makna dan suasana puisi. Ini menjadi tantangan bagi Tony.
Komposisi dalam opera Tan Malaka diakui Tony lebih ritmis dan sederhana ketimbang dua lakon sebelumnya yang pernah mereka garap, yakni Kali dan King’s Witch. Komposisi opera Tan Malaka masih dikatakan umum, yaitu terdapat tema dan pengembangannya. Musik digarap dengan harmoni yang sangat kaya. Pola yang ia pilih adalah bagian bermotif ritmis, berbentuk kanon, bagian harmoni, aria bergaya klangfarben, dan bagian kwintet.
Semula Tony ingin mendekatinya dengan musik gaya Rusia untuk mendapatkan karakter Tan. Namun ia ingin karyanya lebih sederhana dan komunikatif.
Pengaba (konduktor) orkestra dari Filipina, Josefino Chino Toledo, mengatakan opera ini sangat berbeda dari karya yang pernah dia pentaskan. “Saya senang dengan proyek ini. Ini berbeda dan menarik,” kata Jose. Ia sudah terbiasa memimpin orkestra sebuah opera. Misalkan analoginya tentang opera bahwa memimpin opera klasik seperti memetik buah pisang. Tapi, untuk opera esai ini, Jose seperti harus ikut menanam pohon pisang itu sebelum buahnya dipungut.
Tony sangat yakin akan pilihannya kepada Jose. “Tak semua pengaba bisa menafsir komposisi opera. Apalagi dengan komposisi kontemporer semacam ini,” Tony menjelaskan.
Tak kalah menarik adalah desain panggung yang mengambil gaya konstruktivis Rusia. Ada tiga bagian besar yang sebetulnya ingin ditonjolkan dalam panggung yang terbuat dari tumpukan-tumpukan kayu itu. Gambaran pabrik dengan memperlihatkan kayu-kayu lawas; penjara, dengan jeruji besi; dan visualisasi kapal dengan adanya cerobong.
“Desain ini memang lebih sederhana dibanding panggung opera Rusia pada 1920-an,” ujar desainer panggung, Danny Wicaksono. Ia bersama tim menyiapkan desain ini selama 5 bulan. Ada penyesuaian, seperti pemotongan tinggi level agar penonton tidak terlalu mendongak ketika melihat letak panggung tertinggi. “Panggung disesuaikan agar skalanya dengan penonton terlihat dinamis,” kata Danny.
19 Oktober 2010