Andrea Hirata, Bubin Lantang & Bandar Lampung

Agusri Junaidi

Betapa intensnya saat ini penulis-penulis novel berbakat di luar sana melahirkan karya-karya yang bombastis dan mudah diterima pasar.

Sambutan atas karya-karya mereka sangat antusias, mungkin tingkat kegemaran masyarakat untuk membaca makin baik atau kemampuan membeli buku yang meningkat. Yang pasti, menelisik apa yang menjadi point interes dalam cerita mereka akan membawa kita lebih memahami mereka sebagai individu yang lahir, besar, tercerahkan dan membagi ceritanya pada sesama anak bangsa. Dalam cerita-cerita itu juga tersimpan pesan moral dan juga berbagai kemungkinan, tentang esok yang lebih baik.

Antara Andrea dan Bubin Lantang

Adalah Andrea Hirata, yang tiba-tiba jadi terkenal setelah mengenalkan tetralogi yang dikarangnya pada public, berkisah tentang pergulatan anak manusia, yang tumbuh besar di Bangka Belitung Sumatera Bagian Selatan. Terlebih sangat jarang ada penulis menerbitkan tetralogi, setelah keberhasilan Pramudya menulis tetralogi yang ia hasilkan dalam pengasingan rezim militer orde baru di penjara Pulau Buru.

Andrea meretas jalan yang sama, dan ternyata, seperti juga tetraloginya Pram, yang ditulis Andrea juga ditunggu komunitas pembaca novel tanah air dan terus di baca para penikmat novel hingga hari ini.

Sementara Bubin Lantang, saya mengenalnya sejak SMA melalui serial Anak-anak Mama Alin (potret-potret, Tentang-tentang, Jejak-jejak dan Napas-napas) yang sering mentas di Majalah Hai dekade awal 1990 an, bercerita tentang tiga orang bersaudara Kekes, Ra dan Qori dan segala dilematika hidup sebagai remaja awal 1990 an yang di tinggal mati sang mama. Serial ini akhirnya, melihat antusiasme pembaca yang cukup besar saat itu, diterbitkan Gramedia dalam bentuk buku bersamaan dengan karya penulis muda lainnya yang sezaman dengan Bubin Lantang, diantaranya, Gola Gong, Hilman, Zara Zettira dan beberapa lainnya. Hal paling menarik secara pribadi, bagi saya adalah setting tempat dalam cerita Bubin Lantang ini adalah kota tempat saya juga beraktivitas, menghirup udara dan tenggelam dalam dinamikanya. Sebuah kota Bandar yang terus berkembang, menjelma menuju kota Metropolis. Tak heran jika akhirnya dalam cerita Bubin ia akan, meski terasa kurang utuh menyebut nama-nama kelurahan yang tak asing bagi kita, seperti Pasir Gintung dan Kampung Sawah, lalu SMA 2, Stadion Pahoman, pekuburan china di kawasan Negeri Sakti dan tempat-tempat lainnya yang cukup familier dengan keberadaan Kota Bandar Lampung.

Sempat hilang dari peredaran tanpa terdengar kabar beritanya, Bubin Lantang setelah sekian lama akhirnya kembali menelurkan satu novel berjudul Kisah Langit Merah. Membaca novel ini saya merasa ia berusaha mengklarifikasi tentang lenyapnya ia selama ini. Cerita tentang Langit, sosok anak muda yang ditempa kehidupan, lahir dengan etnis tionghoa yang jauh dari stereotif yang ada membuatnya merasakan kesialan kuadrat sebagai warga Negara Indonesia, terlahir sebagai tionghoa dan miskin. Saya pikir ini lebih banyak tentang pribadinya, mungkin sebuah otobiografi dalam bentuk novelet tapi saya tak berani memutuskannya tanpa mengenalnya lebih baik lagi.

Kekuatan Tekat

Yang membuat Andrea dan Bubin Lantang (dalam novel terbarunya) cenderung sama adalah keinginan untuk menjadikan kekuatan tekat sebagai motivasi moral yang utama, selain setting cerita yang banyak menampilkan kota-kota di luar Bumi Khatulistiwa, dimana Andrea banyak mengambil setting kota Eropa pada umumnya selain setting daerah asalnya Bangka Belitung. Sementara Bubin Lantang dalam novel terbarunya itu selain Bandar Lampung tentunya, juga mengambil setting Eropa (Groningen) dan Amerika Serikat dimana Langit dikisahkan menjadi salah seorang anggota tim ekonomi yang meneliti ekonomi Negara berkembang.

Kesamaan lainnya adalah sebuah narasi tentang cinta. Tentang lima hurup yang tak akan pernah tamat jadi bahan cerita. Keduanya bercerita tentang pencarian atas nama cinta itu sendiri, dus lengkap dengan segala suka duka dan pengorbanannya. Dalam novelnya Andrea Hirata bercerita bagaimana Ikal, yang bukan berasal dari komunitas pesisir membuat perahu kayu, jelas tak dilandaskan oleh sikap profesionalisme apalagi dengan latar belakangnya sebagai master dalam bidang komunikasi. Namun kekuatan tekat justru membuat sesuatu yang tak lazim itu terkalahkan, kapal kayu ber presisi itu akhirnya mengantarkannya dalam sebuah petualangan ke kawasan lanun (bajak laut), mencari jejak kekasih yang kebetulan juga beretnis tionghoa dan dikenalnya dan mulai ia cintai sejak masa remajanya. Ketika dengan begitu banyak pengorbanan sang gadis ia temui, ternyata ayah yang begitu dibanggakannya, sumber inspirasi dan pengabdiannya menolak menerima gadis itu sebagai menantu.

Bubin Lantang juga tak kalah dalam menampilkan efiks cinta ini. Di kisahkannya bagaimana Si Langit yang ketika kuliah mulai menjalin hubungan dengan teman wanitanya tak juga mendapat restu ayah wanita yang dicintainya. Ada beberapa factor, perbedaan latar belakang dan keyakinan agama. Meski dalam cerita itu digambarkan kedekatan Langit dan ayah kekasihnya yang dalam cerita itu sebagai teman main catur dan diskusi banyak hal, tetap tak menggoyahkan sang ayah untuk menolaknya. “Dia lelaki yang baik tapi dia bukan untukmu”, kata sang ayah seolah mendahului takdir tuhan. Hingga menjelang ajal, ayah sang kekasih kukuh dalam keyakinannya, bahkan meminta sang anak menerima baginya seorang calon suami yang akhirnya dalam cerita itu malah menselingkuhi pembantunya sendiri.

Perbedaan keduanya mungkin pada ironi dalam cerita itu sendiri, jika Andrea memutuskan menyeberangi selat Bangka menuju Singapura untuk menuntaskan keinginannya tanpa restu sang ayah, sosok yang begitu ia cintai dan ia hargai, Langit dalam kisah Bubin Lantang tak seberuntung itu. Daria kekasih yang diinginkan Langit sebagai calon ibu anak-anaknya, seiring waktu yang menuakan umur, tak jua berani memasabodohkan titah sang ayah, ia memilih menikahi Faisal meski akhirnya sambil hamil besar ia meninggalkan sang suami saat ketahuan selingkuh.

Andrea mendapatkan apa yang diinginkannya setelah perjuangan yang tak kenal lelah dengan mengingkari sang ayah, Langit dalam cerita Bubin Lantang terus menunggu Daria berkenan mengingkari sang Ayah.

Afresiasi

Kemunculan berbagai cerita yang ditulis para novelis kita selayaknya patut membuat bangga, terlepas ada sisi lain yang mestinya perlu lebih intens untuk di gali. Keberanian menceritakan tempat asal muasal para penulis berasal misalnya adalah cara efektif untuk mempromosikan pariwisata kita. Saya ingat Gola Gong penulis yang juga saya kagumi, dulu sering melakukannya. Dalam serial Balada Si Roy, sambil bercerita tentang ketidakmerataan pembangunan antara Serang dan Cilegon yang lebih maju pesat karena pertumbuhan industri nya dan mengkritik tingkah para jawara Banten yang menurutnya menyumbang banyak pada feodalisme ia juga bercerita tentang Anyer. Ya Anyer, kawasan wisata yang juga menjadi inspirasi lagu Odie Agam dan Slank. Ia bercerita tentang Anyer dengan baik sehingga pembaca tak urung menjadi penasaran dan suatu saat berencana kesana. Ia juga bercerita tentang Lebak, kota yang populer karena Max Havelaar dan juga situs Banten Tua yang terkenal itu. Tanpa ia sadari ia telah membuat pembacanya lebih mengenal Banten. Andrea Hirata juga melakukannya, meski terasa kurang menyentuh ketimbang Gola Gong. Justru Bubin Lantang, seingat yang saya simak, tak melakukan hal ini. Tentunya bukan hal yang pas bahkan untuk sekedar menilai, sebab sebagai penulis mereka tentu punya pretensi sendiri. Namun sekedar bahan diskusi, dalam Kisah Langit Merah, Bandar Lampung yang ia ceritakan tak lebih tentang sebuah kota. Sulit bagi saya menemukan motivasinya karena ia tak begitu familiar dan mungkin juga low profile sehingga agak sulit menemukan secara utuh referensi jati dirinya. Terlahir sebagai Tionghoa yang besar di Kota Bandar Lampung bisa jadi ia tak begitu mengenal tofografi wilayah kota Bandar Lampung apalagi Provinsi Lampung umumnya selain wilayah kota seperti Pasir Gintung, Kampung sawah dan kali Awi. Padahal sebenarnya kita punya banyak potensi untuk diulas agar pembaca diluar Bandar Lampung juga lebih mengenal kota ini dan tertarik untuk datang. Atau Bubin yang enggan, mengingat bahwa kota ini tak cukup ramah padanya seperti yang ia gambarkan dalam novel itu, sehingga keinginan untuk menyebutnya karena memang ia tak mungkin lepas dari masalalunya. Sekedar berdamai dengan kenyataan, bukan karena sebuah kebanggaan.

Terlepas itu, sebagai novelette yang berasal dari Bandar Lampung sebuah afresiasi layak kita berikan. Saya akan pertama menyampaikannya seraya terus berharap, novel-novel lainnya kembali muncul setelah ia 15 tahun ber hibernasi pasca serial Anak-anak Mama Alin dan Bila, novel lepasnya terdahulu.

Ke depan, meski karena pola yang terbangun agak pesimis bagi saya kedepan menemukan karya Bubin Lantang lahir mewakili sebuah zaman dengan setting Kota Bandar Lampung, saya masih menyimpan harap ia akan terus berproses karena sebuah keharusan yang lahir dari dirinya, bukan karena kesulitan hidup yang memaksanya menulis cerita picisan, seperti ia gambarkan untuk merendahkan diri dalam Kisah Langit Merah. Saya berharap, karena kita tak punya banyak potensi untuk itu. Meski banyak penyair di kota ini yang telah berjuluk Paus dan Presiden, belum ada yang mampu dan memiliki napas panjang untuk menulis sebuah novel. Bukan sembarang novel tentunya, novel yang baik bagi saya ketika ia mampu mewakili semangat sebuah masa, tidak hanya dilengkapi dengan setting sebuah kota tapi juga setting politik, social dan budaya, yang terkemas apik. Saya yakin hal itu abadi karena lebih dari sekedar penghibur. Karya itu seperti yang pernah dipersembahkan Pramudya Ananta Tur dan Mochtar Lubis, akan jadi penyaksi sebuah zaman.

____________________
*) Agusri Junaidi, Penikmat Novel, Tinggal di Bandar Lampung.