Asarpin
Di abad ini tak jarang kita masih menyaksikan kematian dan trauma ditempatkan sebagai peristiwa biasa. Peristiwa sehari-hari yang lalu-lalang di sekitar kita. Tak ada yang mesti jadi pikiran. Mungkin karena telah menjadi pemandangan yang rutin, kematian sering kita hadapai dengan pura-pura tak tahu, dengan tanpa rasa bersalah, yang dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “cuek bebek”.
Ya, kita menjadi cuek terhadap kematian. Kita pura-pura tak tahu atas kesalahan yang telah kita perbuat di masa lalu. Kita tak pernah merasa sebagai penyebab kematian atau terbunuhnya sebuah generasi, karena kita sedang hidup dalam bayangan nekrofilia: merasa nyaman di hadapan mayat-mayat yang bergelimpangan dan tanpa pernah kita sadari.
Nekrofilia memang tengah merajalela. Kita semua hampir terhegemoni oleh nekrofilia. Seorang atau yang terus-menerus merasa nyaman dan betah di atas trauma dan kematian orang lain, ia adalah seorang penganut nekrofilia sejati. Sebuah sikap yang keras kepala, lawan dari rasa tak tentram dan gelisah dalam penciptaan saat menyaksikan orang yang sempoyongan karena kelaparan.
Kita juga masih mewarisi bumi sebagai dendam kesumat yang lestari. Kesalahan sejarah dianggap bisa dibalas dengan permintaan maaf, seolah-olah semuanya akan selesai dengan memaafkan. Memberikan maaf memang sebuah tindakan terpuji, sebuah ajakan untuk memulai sesuatu yang baru. Atau sebuah kelahiran kembali dan merelakan sesuatu yang telah lalu. Tapi di sini pula masalah akan segera menghadang dan tak selesai hanya dengan memberi maaf. Sebab memaafkan sering berhubungan dengan melupakan; menjadikan seorang korban fitnahan untuk menjadikannya bungkam, bisu dan Tiada. Bagaimana kita membayangkan seorang korban tragedi kemanusian yang paling biadab, dalam hidupnya hanya bisa melawan dengan nyanyi sunyi seorang bisu?
Di sinilah peran penting sebuah narasi. Sebagai sebuah pemerian, apa yang ia tulis tak mudah untuk dibungkam, dan juga tak mudah untuk dimintai maaf. Ia bukan tak mau memaafkan, tapi karena ia sendiri merasa telah dikucilkan, ditiadakan dalam sebuah kesadaran kolektif. Novel, sebagai sebuah narasi, cukup ampuh untuk menjadi saksi bagi upaya menegakkan martabat kemanusian; baik dalam kesadaran dirinya sendiri mau pun kesadaran kolektif.
Hidup tak cukup dengan memaafkan. Bagaimana memaafkan, sedang tak jelas apa dan siapa yang mesti dimaafkan. Di hadapan watak nekrofilia, kita menjadi acuh dan bengal. Kita hidup dengan mengulum senyum bahagia, kendati tengah berada di antara sawah-ladang pembantaian. Asa dan rasa menjadi sirna tatkala berhadapan dengan orang-orang nekrofilis. Sebuah waham tentang “aku tak ingin mengasihi”. Tapi sepanjang perjalanan waktu, ia justru ingin menikmati; walau pun berlalu, lumpuh tubuh seluruh, akan diterimanya tanpa keluh.
Di Papua orang terkulai tak berdaya didera endemik dan kemiskinan. Di Sidoarjo orang-orang kehilangan rumah dan jejak sejarah, di Bambu Kuning pedagang kaki lima kehilangan pekerjaan dan alat usaha. Tapi kita masih menyanyikan rasa nyaman dan aman dengan kenyang.
Maka memaafkan adalah sebuah laku yang mesti dijalani. Memberi maaf berarti mengawali hidup tanpa dendam. Sebuah ajakan untuk mendetraumatisasi korban. Tapi bagaimana kita memaknai kata memaafkan saat berhadapan dengan sesuatu yang justru tak termaafkan? Adakah di sini justru kita mulai menyadari bahwa memafkan selalu bersahabat karib juga dengan kemunafikan dan yang bergandengan tangan dengan penistaan? Memaafkan adalah menampik, menjadikannya bertekuk lutut, bahkan Tiada.
Tapi memaafkan juga “membiarkan tetap ada segala yang ada secara apa adanya”, kata Arendt. Sebuah pemaafan yang oleh Derrida ditegaskan sebagai “memaafkan tanpa syarat” seraya menjauhkan maaf yang bersyarat. Memaafkan tanpa syarat adalah bentuk pemaafan yang murni, sejati, yang dalam tafsiran Goenawan disinonimkan sebagai “pemaafan tanpa pamrih”, yang berbeda dengan rekonsiliasi. Sebentuk ketulusan-menjadi; ketulusan yang menuntut kejujuran eksplisit.
Dalam rekonsiliasi, ada sesuatu hal yang di tuju, diinginkan, untuk mensterilkan sebuah hubungan. Karena itu ia tak murni. Sementara kata pemaafan bebas dari kepentingan. Tapi, betulkah bahwa orang yang mengajukan permohonan maaf bisa bersikap netral dan tanpa hasrat terpendam? Agaknya, baik Goenawan maupun Derrida, luput mengambil contoh yang lebih konkret dan mengajukan pertanyaan yang lebih spesifik.
Dulu saat Gus Dur masih presiden, ia meminta maaf pada mereka yang dituduh sebagai komunis, termasuk meminta maaf pada keluarga Aidit dan Pram. Namun siapakah yang berhak menafsirkan bahwa Gus Dur sungguh-sungguh memaafkan korban tragedi 1965 itu secara murni dan konsekuen, dan bukannya sebuah rekonsiliasi yang menuntut kepentingan tersembunyi? Orang ketiga? Siapakah orang ketiga yang bisa menjadi kadi penengah yang adil, netral, dan bebas dari kepentingan sempit?
Goenawan dengan gampang mengajukan alasan agar Pram segera membuka diri dan menerima maaf yang diajukan Gus Dur. Dengan mencontohkan teladan Nelson Mandela di Afrika, Goenawan menganjurkan agar Pram berlaku seperti Mandela. Pram benar ketika menjawab: “Saya bukan Nelson Mandela!” Gonenawan lupa bahwa trauma kolektif sering menyimpan dendam kelas, atau dendam kolektif, yang tak selesai hanya dengan satu dua orang telah memaafkan.
Menghadirkan orang ketiga untuk memediasi apakah seseorang bersalah atau tidak, sebagaimana dianjurkan Goenawan, tak ada gunanya karena jauh-jauh hari Lao Tze telah menandaskan: bagaimana kita menjadikan orang ketiga sebagai kadi atau hakim yang adil sementara ia jelas-jelas tak mungkin bersikap adil.
Goenawan membedakan pemaafan dengan rekonsiliasi. Tak ada yang tahu bahwa dengan mengajukan permintaan maaf, Gus Dur sedang membicarakan ihwal pemaafan, bukan rekonsiliasi. Buktinya, anak-anak muda NU menerjemahkan pemaafan yang diajukan Gus Dur tak lain adalah sebuah rekonsiliasi (baca jurnal Taswirul Afkar edisi No 15 Tahun 2003 tentang Peristiwa 65-66, yang analisanya atas tragedi 65 masih sangat bias dan penuh kata-kata penyederhanaan).
Bagi saya, baik pemaafan mau pun rekonsiliasi, kedunya sama: sebuah ajakan untuk berdamai sambil melupakan. Pemaafan dan rekonsiliasi selalu mengandung muatan pesan penuduh dan tertuduh, yang bersalah dan yang tak bersalah. Di sini kita sampai pada ihwal bernama singularitas dan ambiguitas pesan, yang juga dipeluk teguh oleh Goenawan.
Hanya sang tertuduh dan korban yang dapat menentukan apakah ia akan memaafkan atau tidak. Korban yang merasa tak bersalah akan menganggap pemaafan bukan ditujukan kepada dirinya. Kedua-duanya berada dalam wilayah yang tak jelas dan tak tegas, terutama tentang apa yang akan dimaafkan, siapa yang dimaafkan, apakah perbuatannya yang dimaafkan atau orangnya.
Pemaafan berada dalam wilayah naratif yang jalin-menjalin antara memberi maaf dengan kehendak menguasai. Detraumatisasi tak akan terjadi dengan cara memaafkan, karena memaafkan adalah hasrat terpendam untuk menaklukkan. Saya setuju dengan Francis Budi Hardiman bahwa menghilangkan trauma adalah suatu keterbukaan terhadap peristiwa, fakta, bukan sekadar soal maaf-memaafkan.
Sekali lagi, di sinilah peran narasi: ia mampu memberi tempat pada kesetaraan secara eksplisit.. Dengan sebuah kisah, dengan tuturan, seorang dituntut untuk memahami yang tak terpahami. Dalam jarak naratif itulah luka-luka sejarah akan terhubungkan ke dalam identitas diri: sebuah “askese duniawi” kata Fritz Loist; sebuah latihan diam, ketenangan hati, dan merelakan. Dan di sini seorang korban akan menjadi saksi, bahkan pelaku bagi kebenaran sejarah, kelak di kemudian hari.
Membiarkan trauma digarami oleh waktu mungkin bisa menjadi alternatif, kendati bukan sebagai jalan bagi upaya merelakan yang telah terjadi secara sewenang-wenang. Membiarkan yang lalu biarlah berlalu sungguh bukan sebuah alternatif bagi orang yang hidup sebagai korban. Trauma harus dikenali dengan trauma, dan bukan sebagai yang lain. Seorang teman pernah menawarkan solusi: ya, kita harus mengingat untuk melupakan dan memaafkan—jika yang harus kita ingat itu adalah sesuatu yang tidak mengenakkan?
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/