Budhi Setyawan
Maka demikianlah indahnya persahabatan. Berawal perkenalan dengan Fatih Kudus Jaelani dkk dari Lombok Timur, ketika saya bertemu dengan Kiki Sulistyo, Paox Iben, DG Kumarsana di Mataram pertengahan tahun 2010. Pada saat itu saya ada tugas dinas beberapa hari di Mataram, NTB.
Beberapa tahun sebelumnya saya berkenalan dengan Kiki Sulistyo, setelah saya membaca puisinya dimuat Buletin Sastra Pawon yang terbit di Solo. Karena ada alamat email dan nomor telepon, maka saya hubungi dia. Selanjutnya saya sering berkomunikasi dengannya. Tak beda juga saya mengenal penyair Medan, Hasan Al Banna, karena saya mengetahui nomor kontaknya di biodatanya di buku Antologi Puisi Bunga Hati, yaitu buku antologi yang berisi puisi-puisi beberapa penyair yang didedikasikan pada waktu ulang tahun Diah Hadaning, ibu para penyair Indonesia, yang juga mengasuh Warung Sastra DIHA.
Meskipun hanya sekali bertemu, namun saya tetap berkomunikasi dengan teman-teman di Lombok. Fatih dkk bergiat di Komunitas Rumah Sungai di Lombok Timur, yang menerbitkan Buletin EMBUN. Sebagaimana saya sebelumnya sering mengirim puisi ke media lokal dan alternatif seperti Buletin Cangkir, Rumah Diksi, Hysteria, Littera, dll; maka saya pun mengirim karya ke Buletin Embun. Dan akhirnya puisi saya dimuat di Buletin Embun edisi 03, Maret 2011. Ada 2 puisi saya yaitu berjudul Laci Meja Kantor dan Majas Waktu. Terima kasih Fatih dkk. Salam semangat karya. Berikut puisi yang berjudul Majas Waktu:
Majas Waktu
aku senyum senyum sendiri membaca sajak yang kutulis lima tahun lalu. serupa menonton ketololan cuaca yang gagal menerjemahkan perasaan sepasang pengantin yang tengah berbulan madu. di desa desa bertumbuhan kelam, juga kota kota yang memeram muram.
aku tertawa sendiri membaca puisi yang kutulis sepuluh tahun lalu. seperti melihat pertunjukan musik dangdut di kepadatan permukiman. ada pengucapan yang meleset dari lirik asli, nada yang terdistorsi tanpa kendali, juga tarian yang acap keluar dari birama yang dipandu derap ketipung. lagu terus saja berlari, bersaing dengan jeritan bocah yang belum makan dari pagi.
dan di ujung usia nanti, mungkin aku akan terbahak sendiri. ketika semua kata tergolek terdiam dingin, tak ada lagi ombak dan angin. betapa almanak begitu pasi, mengeja kelucuan dendam, rindu dan sakit hati yang sedemikian purbawi.
Bekasi, 2010
Sumber: http://budhisetyawan.wordpress.com/2011/03/16/puisi-budhi-setyawan-di-buletin-embun-lombok-timur/