HERA
1. Mata kerling itu menelisik hatiku
Membuat ceruk ceruk sebuah nama sunyi
Dibawa remang bulan kembali kueja nama
Angin malam turut memuja
2. Hera, sementara namamu masih berkidung
Meski tak sungguh sungguh jelas
Tapi sampai pada hari ini hanya hujan
Yang mengabarkanmu. Bila penyair
Mengirimimu kisah serdadu. Tentang lelaki
Yang bersenjata itu, maka dekaplah segala
Yang kau miliki
3. Batu mengekalkan tetesan air matamu
Beberapa ayat kerinduan mengelilingi lehermu
Dan kau Hera, tak ada yang merinduimu
Hingga berdarah darah selain
Aku: serdadu dihatimu
Melabuhkan Potongan Waktu
Aku pijak kulitmu, perempuanku. Melabuhkan potongan waktu di tubuhmu. Dua pekan aku mengagumi senyummu. Lelakikah aku, menyesal telah melirikmu tiga kali?
Mana darahmu? Biar ku tato dengan namaku. Biar kujahit dadamu, yang sobek karena terhunus rinduku. Tak ada lelaki yang mampu menidurkan matamu. Selalu berkobar.
Perempuan Dalam Cangkir
Begini menjadi perempuan: Tangan penuh akar serabut. Sekali rengkuh, beberapa jiwa mukim. Kengerian pada secangkir kenangan. Tegukan asin, pahit, jauh dari manis. Secangkir menelanjangi ingatan. Hujan yang menghunus kepala hingga isi perut.
Seorang bertandang padanya:”perempuan dilarang menjadi penyair. Selama masih menyembunyikan kekasih gelap dalam sajaknya.”
bisik lelaki senja
Dia menjadi perempuan dalam secangkir kenangan. Sedikit air hangat dan asinnya mata
Kepada Dulla
Dia menangkap angin menyilet tubuh. Mengalir aroma tubuh lelaki bercampur perempuan.
Cairan itu mengalir di paha, betis, kaki jenjang perempuan. Detak jam memburu nafas, menghijau digemerisik jendela kamar. ”jangan takut, perempuanku”
Sobekan cinta kau selipkan dikuping. Semacam orang Bali menghidupkan tubuh. Dupa dan kemenyan jadi suguhan. ”aku sudah menjadi lelaki, perempuanku”
Dimana bulan bersemedi? perempuan telah mencuri bulan. Dia simpan ditubuhnya.
”aku curi bulan, ketika lelakiku telah kalah. Akan meretas bulan yang berwarna dari rahimku”
Aku Bulan Kecilku
Kau padatkan malam. Keringkan keringat kasih sayang, gugurkan bunga pohon duri. Kau dimalamkan tangisku: bulan kecilmu.
Jika potongan waktu membelah dunia. Kau kancingi bajumu serapi mungkin. Menenteng harapan bertahun tahun kedepan. Mengikat tali sepatumu.
”Nak, kau itu Bulan kecilku. Ayah tahu kau suka kue serabi. Tapi musimkah kue itu ketika angka usiaku memudar?”
Milik Beberapa Lelaki
ini semacam melipat waktu. Meniduri busa di bak mandi. Mencuci daki hati.
Cukup penting!
Semalam beberapa kali lelaki menidurinya dengan bermacam kembang. Ada yang berambut ikal, berkacamata, filsuf, pembalap, asisten dosen, wartawan juga milyoner dikampungnya sendiri.
Semacam beginilah: perempuan suka melipat waktu. Melipat kenangan seperti baju tidak penting.
: O, kekasih. Yang mana darahmu? Aku telah menetaskan anakmu semalam. Pun aku mengandung masa depanmu.
Goris
Maghrib jatuh dikaki. Senja menggempuri tubuh. Dadong Nilam mengemas dagangannya. Daun pisang lima ikat. Daun singkong tiga ikat. Daun sirih tujuh ikat. Buah pinang enam biji.
Senja ranta dipikul Dadong Nilam dalam keranjang dagangannya. Hatinya bergumam
:daganganku sudah laku semua. Yang aku bawa pulang adalah bayangannya.