Asarpin
Hidup punya takdirnya sendiri. Dan takdir juga punya ceritanya sendiri.
Pada suatu hari di bawah langit malam, aku berjalan ke negeri mimpi. Di sana aku berjumpa dengan nujuman lama Babilonia, tentang sosok Dewa muda yang tampan bernama Adonis. Riwayat mencatat: Adonis tumbuh menjadi remaja yang cemas memikirkan nasib negerinya yang tak maju-maju. Sejak itu ia banyak merenung dan melontarkan ide-ide yang segar tentang masa depan kehidupan. Pikiran-pikirannya tampak aneh dan asing. Bahkan tak jarang ia menyulut polemik di antara para Dewa lantaran pendapat-pendapatnya dianggap lebih “maju” dari rekan-rekannya.
Wajahnya tampak menggoda. Maka tak heran jika dewi Aphrodite—dewi cinta Babilonia—jatuh cinta padanya. Tapi bukan lantaran itu saja yang membuat Aphrodite tak berdaya ketika dekat dengan Dewa muda ini. Adonis ternyata Dewa yang punya segudang kelebihan di bandingkan Dewa yang lain. Di antara kelebihan itu adalah: keindahan tutur, semangat mencintai kebaruan, di mana kata-kata mesti berombak dan berontak.
Adonis menjadi dewa pemberontak terhadap segala kemapanan. Termasuk memberontak terhadap kemapanan pikiran. “Aku berontak, maka aku ada”, katanya. Bukan aku berontak, maka kita ada. Salah satu kesukaannya adalah: mendendangkan kata-kata yang bergelora-bergemuruh dengan efek yang jauh. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan perjuangan dan tanggungjawab sebagai pilihan. Tiap-tiap kata yang terucap dari individu berwawasan kemajuan, mesti dipertanggungjawabkan. Dan tiap-tiap karya sastra yang kita hasilkan, mesti dapat dipertanggungjawabkan kepada khalayak.
Di Libanon ada seorang sastrawan yang dipanggil Adonis. Dan sudah bisa diduga kenapa. Ia suka dengan nama itu. Padahal kedua orang tuanya memberinya nama Ali Ahmad Said. Tapi tak banyak yang tahu nama aslinya itu, karena ia sendiri selalu menggunakan nama Adonis.
Dalam sebuah riwayat dikatakan: ada seorang pemimpin partai di Syiria, yang mula-mula memanggil Ali Ahmad Said sebagai Adonis. Menurutnya, Ali Ahmad Said pantas menerima nama baru itu karena sepak-terjangnya dianggap cocok untuk mempersatukan budaya negara Syiria, Irak, dan Libanon. Tapi apakah yang dialkukan Adonis kemudian sesuai dengan harapan pemimpin partai itu?
Riwayat bercerita lain. Di Indonesia ada Adonis yang lain. Ambisinya sama bergelora-membahana. Namanya Takdir. Ia adalah sastrawan terkemuka yang, selain menulis novel, juga banyak menulis esai polemis. Banyak kata-kata yang telah jadi semboyan hidupnya, di antaranya adalah: maju, baru, individu, kebangunan, menjebol, menghancur-remukkan, menyala-nyala, berombak, mengalun, bergelombang. Kata-kata ini berhasil membetot pikiran para penggemarnya, terutama mereka yang gemar berseru tentang tanggungjawab sosial seorang sastrawan.
Dalam usia 27 tahun, Adonis kita yang satu ini telah menyulut polemik yang paling kritis dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Ke-Adonis-annya ditunjukkan dengan semangatnya yang ingin menyatukan ejaan bahasa Melayu antara Indonesia dan Malaysia. Bahkan cita-citanya untuk menyatukan ejaan Indonesia dengan Malaysia terhenti sebagai cita-cita. Dan keinginan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara, pun tak pernah terwujud.
Dengan mengikuti bangsa Jepang, Takdir berusaha mengimpor buku-buku Barat yang dinamis. Idenya untuk menerjemahkan karya ilmiah dan karya sastra dari Barat ke dalam bahasa Indonesia, agar api kebudayaan yang lama segera padam dan kebudayaan yang baru dan maju berkobar menyala-nyala, tak sepenuhnya terwujud. Hanya beberapa saja buku dari Barat yang diterjemahkan penerbit Dian Rakyat. Malah yang tak terduga, justru Yayasan Obor dan Pustaka Jaya yang banyak menerbitkan karya terjemahan yang jadi impian Takdir.
Sejumlah karyanya mirip rajutan kultural dari apa yang disebut—mengutip kata-kata Takdir sendiri—sebagai “benang yang tak putus-putusnya di rajut kembali di zaman kita” atau “tuntutan perasaan tanggungjawab yang terus-menerus tentang masyarakat dan kebudayaan”.
Pada suatu hari ia mengaku sebagai penulis yang menjelmakan semangat Adonis, yaitu “penulis yang bukan saja menjadi pembaca yang pertama, tetapi juga pembaca yang berulang-ulang membaca ciptaannya sendiri”. Takdir mencitrakan dirinya sebagai penulis sekaligus pembaca yang langka. Menulis dan membaca baginya adalah: panggilan takdir manusia yang menjadikan dirinya sebagai manusia.
Ada banyak pembaca yang lebih baik, tapi lebih langka dari penulis yang baik. Demikian pula sebaliknya. Kalau kita mengikuti pandangan Jorge Luis Borges, maka ada yang mirip dengan sikap Takdir. Ketika Borges membaca kembali Lelaki Pojok Jalan yang telah ditulisnya, ia memandang penulis dan pembaca sebagai pergantian kontinuitas yang sering kali mendadak, atau pemenggalan keseluruhan hidup seseorang hanya menjadi dua atau tiga babak. “Terkadang saya curiga bahwa pembaca yang baik adalah angsa yang bahkan lebih hitam dan lebih langka dari penulis yang baik”, tulis Borges dalam pengantar Sejarah Aib—terjemahan Arif Bagus Prasetyo.
Seperti halnya dengan Borges yang banyak membaca dan menulis, Takdir juga percaya bahwa membaca adalah laku yang muncul setelah menulis, yang menurutnya sering biasa-biasa saja, tak kentara, lebih intelektuil. Tak ubahnya “sebagai seorang Adonis yang girang menikmati bayang-bayang wajahnya dalam cermin”, tulisnya.
Tidak semua sifat Adonis Babilonia sama dengan watak Takdir. Takdir tidak dilahirkan sebagai anak haram jadah, sebagaimana Adonis dalam mitologi Babilon itu. Ia justru lahir dari keluarga terrpandang dari keturunan sultan Minang dan permaisuri Tapanuli. Sementara Dewa Adonis malah mirip dengan seorang Mevrouw Annelis dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Annelis lahir dari persetubuhan di luar nikah antara gundik Sanikem atau Nyai Ontosoroh, dengan Herman Mellema.
Khairon Abu Asdavi pernah meriwayatkan kehidupan Adonis Babilonia yang lahir melalui hubungan gelap antara raja Siprus dengan putrinya Myrrha—yang dalam legenda itu, Myrrha dikutuk jadi pohon dan dari akarnya lahirlah si Adonis, yang merupakan simbol bagi kehidupan baru yang bebas dari dosa dan nista. Seperti halnya keluarga Nyai Ontosoroh-Herman Mellema yang berantakan, dan kedua putranya begitu lemah jiwa dan moralnya, tapi kemudian muncullah sosok Nyai Ontosoroh yang sangat tangguh hingga melampaui kepribadian Kartini.
Sementara Adonis Indonesia tetap girang menatap wajhnya di cermin yang retak. Ketika pihak Jepang sedang asyik menyusun pusat kebudayaan dan banyak menarik seniman Indonesia, Takdir—sebagai penjelmaan sosok Adonis Babilonia itu—berharap agar seniman yang telah memperkaya dirinya dengan ukuran internasional, segera kembali ke sekitarnya; yaitu kembali ke akar, ke masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Tugas seorang seniman, kata Takdir, bukan cuma mencari bahan mentah sejarah, atau melap-lap warisan lama, tapi supaya jiwanya bisa tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya.
Dengan kembalinya sang seniman ke bumi manusianya sendiri, kelak akan datang suatu masa yang subur dan rimbun bagi kebudayaan Indonesia: suatu kebudayaan yang menjelma “seperti pohon beringin yang beribu akarnya menyelami bumi dan di bawah lindungannya bangsa Indonesia hidup jaya, dan berbahagia”.
Adakah harapan itu sudah terwujud?
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/