Asarpin
Beberapa waktu lalu ada dua orang teman alumni IAIN yang diterima sebagai guru pegawai negeri sipil. Yang satu diterima melalui jalur Departemen Pendidikan Nasional (Diknas), dan yang satunya melalui Departemen Agama (Depag). Yang pertama lebih percaya diri dan meledek yang kedua. Jadi guru lewat jalur Diknas, katanya, lebih menjanjikan ketimbang lewat jalur Depag. Tapi ketika ditanya apanya yang lebih menjanjikan, ia tak bisa menjawab.
Banyak cerita nyata maupun khayal tentang pendidikan di Indonesia yang memang sudah lama dikapling-kapling itu. Selama ini ada dua departemen yang mengkapling lembaga pendidikan: Diknas dan Depag. Untuk urusan pendidikan, dua departemen ini berebut, saingan. Lalu yang terjadi kemudian, Depag tetap tersisih dan Diknas akan terus diuntungkan.
Sejak lama persoalan ini masih terus dipersoalkan. Terutama oleh para dosen dan mahasiswa IAIN. Mereka merasa, yang namanya pendidikan itu di mana-mana sama, tapi di Indonesia ternyata IAIN diperlakukan beda. Tapi yang disayangkan, titik tekan protes yang dilakukan para dosen IAIN selama ini hanya berkisar soal pembagian rezeki dan tidak beranjak memperoalkan isi dan kebijakan pedagogi itu sendiri.
Memperlakukan pendidikan sebagai dua entitas terpisah adalah tanda kekerasan hati. Para pengambil kebijakan masih saja menganggap persoalan ini tak terlalu mendasar dan karena itu perlu dipertahankan. Padahal, di balik kebijakan menjadikan dua departemen untuk urusan pendidikan itu, terkandung sikap yang sewenang-wenang.
Saya tak tahu adakah negara lain juga mengerahkan dua departemen untuk urusan pendidikan. Padahal yang namanya pendidikan itu di mana-mana satu. Lembaga yang mengelolanya pun cukup satu. Selama pendidikan kita masih ditangani oleh dua departemen, maka selama itu pula praktek diskriminatif akan berlangsung.
Sama sekali tidak masuk akal untuk memisahkan pendidikan pada perguruan tinggi seperti IAIN/UIN dengan perguruan tinggi seperti Unila. Belum lagi soal pengangkatan CPNS untuk guru, ternyata sampai sekarang masih menggunakan jalur Diknas dan jalur Depag. Sudah tentu mereka yang diangkat lewat jalur Diknas lebih diuntungkan dengan mereka yang diangkat lewat jalur Depag. Padahal apakah ada perbedaan yang mencolok di situ? Bukankah keduanya sama-sama lembaga pendidikan? Mengapa pemerintah masih saja menempatkan IAIN/UIN di bawah Depag?
Dulu, ketika beberapa IAIN berubah jadi UIN, kebijakan pun akan ikut berubah. UIN akan sama dengan perguruan tinggi umum. Tapi ternyata tidak. UIN Syarif Hifayatullah Jakarta yang seharusnya sama statusnya dengan UI atau UNJ menjadi tidak sama karena masih di bawah Depag. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya mengapa hal ini masih saja dipertahankan.
Beberapa hari lalu saya sempat membaca draf APBN 2010 tentang anggaran pendidikan. Harian Lampung Post (26/9/2009) juga memberitakan tentang alokasi anggaran pendidikan untuk Diknas tahun 2010 sebesar 54 triliun lebih, sementara untuk Depag 23 triliun lebih. Pemerintah bisa saja mengelak dengan mengatakan bahwa pendidikan di bawah Diknas lebih banyak di bandingkan di bawah Depag, dan karena itu anggarannya pun lebih besar.
”Sementara dana besar telah kita belanjakan untuk pendidikan, kita telah gagal mengembangkan aktivitas mental, intelektual dan moral yang baik”, tulis Alexis Carrel dalam Misteri Manusia. Bisa jadi, gara-gara alokasi anggaran untuk pendidikan di APBN 2010 yang sangat besar itu, maka para pengamat tampak bertanya-tanya. Walau pun anggaran pendidikan begitu besar, namun mutu pendidikan di negeri ini tetap menyedihkan. Sekali pun gaji guru dan dosen sudah dinaikkan ke tarap yang lebih baik dari lima tahun lalu, namun tidak akan berpengaruh bagi peningkatan profesionalisme guru dan dosen.
Bambang Eka Wijaya mengeluh di Buras (27/9/2009): pendidikan kita baru menjelma ”pedagogisme yang semu, baru sebatas legal-formal anggaran, sedang pada realitasnya dalam dunia pendidikan masih jauh panggang dari api”. Sekali pun anggaran pendidikan sudah begitu besar, namun tidak akan membuahkan hasil sebanding. Maka jangan mimpi kalau pendidikan bisa menjadi lokomotif yang mendorong perubahan.
Terus terang sejak dulu saya prihatin dengan kenyataan ini. Pengkotak-kotakan pendidikan sudah bukan jamannya lagi. Jauh lebih baik jika dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum selama ini ditinggalkan. Bukankah cara semacam ini adalah warisan kolonial Belanda?
Ketika Christiaan Snouck Hurgronje datang ke Indonesia, mula-mula yang ia lakukan adalah memisahkan hubungan agama dan politik sedemikian rupa dengan mendidirkan apa yang disebut Kantor Urusan Pribumi yang merupakan pendahulu dan pelopor berdirinya Departemen Agama RI. Jadi, Depag itu didirikan oleh Belanda atas kepentingan Belanda pula. Jika sampai saat ini masih ada orang Depag yang mati-matian mempertahankan nama ini, sungguh tidak belajar dari sejarah.
Depag memang didirkan setahun setelah proklamasi kemerdekaan karena ada kebutuhan untuk mengelola keragaman agama di Indonesia. Tapi dalam perjalananya ternyata melebar hingga ke persoalan pendidikan. Sekarang sudah saatnya kita belajarlah dari kenyataan reformasi, sehingga masalah yang seharusnya sudah tidak perlu diperdebatkan panjang-lebar lagi masih akan terus jadi persoalan. Kapan kita beranjak dari diskusi yang lebih jauh kalau soal pendidikan masih ditangani dua departemen. Selama pendidikan masih dikelola dua departemen, selama itu pula akan ada masalah ketidakadilan di bidang distribusi anggaran, perlakuan dan macam-macam.
Pilihan paling radikal adalah membubarkan Depag, sebagaimana pernah semarak dicanangkan saat Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden. Lagi pula Depag tak pernah mewakili semua agama di Indonesia. Depag hanya untuk Islam. Kalau tidak, biarkan pendidikan dikelola oleh Diknas sendiri, lalu urusan keagamaan dikelola oleh Depag. Tapi apakah pilihan ini cukup realistis dan strategis?
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/