Nasib Sastra di Sekolah

Suheri
Lampung Post, 16 April 2011

…wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca/bila kami tak mampu mengembangkan kosakata/selama ini kami hanya diajar menghafal dan menghafal saja/mana ada dididik mengembangkan logika/mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda/dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra, Pak Guru/sudah lama sekali/mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi/tapi mata kami kan nyalang bila menonton televisi. (Taufiq Ismail, Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang)

CUPLIKAN puisi tersebut, meskipun ditulis tahun 1997 dan merupakan refleksi Taufik tentang pengajaran sastra di sekolah waktu itu, aromanya masih kental tercium sampai saat ini. Pengakuan bila siswa rabun novel, drama, cerpen, dan puisi tersebut merupakan indikasi, bila si pengampu mata pelajaran (baca: guru Bahasa dan Sastra Indonesia) pun terjangkit penyakit tersebut. Bahkan, Taufik menyatakan bila kita sedang “rabun membaca dan lumpuh menulis”.

Padahal, Eko Triono dalam Lampung Post, 25 November 2010, menulis bila dalam dunia pendidikan, tonggak sastra adalah guru dan calon guru. Namun, tonggak itu tidak berdiri dengan gagah dan kokoh menancap dalam, hal ini karena si pemegang tonggak itu justru menjauh dari dunia sastra itu sendiri, maksudnya aspek berbahasa lebih dominan disajikan semestara aspek bersastranya dikesampingkan. Kalaupun guru mengajarkan sastra hal yang disampaikan yaitu tentang pengetahuan tentang sastra (definisi, tokoh, dan karya, periodesasi dsb.), bukan membedah karya sastra (membaca, membicarakan, menulis esai, dan kritik, dsb).

Masalah Sastra di Sekolah

Patut dicurigai ada beberapa masalah yang dihadapi guru dan siswa sehingga mereka menjadi rabun sastra. Problem itu antara lain: 1. kompetensi guru dalam bersastra, 2. kurang/tidak tersedianya buku sastra di perpustakaan sekolah, 3. sastra dipandang sebelah mata/kurang bergengsi, dibanding mata pelajaran MIPA.

Kompetensi guru dalam bersastra dapat dicurigai masih rendah, hal ini disebabkan guru berhenti membaca karya sastra dan berhenti pula menulis. Indikasinya terlihat kala berbincang sastra, ia akan menghindar, tidak nyambung, atau hanya menjadi pendengar saja. Indikasi yang lain, hanya sedikit guru yang aktif mengikuti lomba sastra, menulis masalah sastra (baca: puisi, cerpen, esai, artikel, resensi) di media massa. Kesibukan sebagai guru merupakan alasan bagi guru untuk berhenti membaca dan menulis, terlebih bila guru memang tidak menyukai sastra sehingga penyakit rabun membaca, lumpuh menulis, kian menjalar kepada guru yang efek dominonya berjangkit kepada siswa.

Kompetensi guru yang jalan di tempat itu, tertinggal jauh dengan perkembangan di dunia sastra, konsekuensinya guru kian jauh tertinggal, makin gagap bila menyoal sastra, baik di kelas, sekolah, maupun dunia nyata. Bandingkan dengan apa yang dilakukan Merry E. Fowler dalam Taufiq Ismail (2003), siswa belajar mengarang dengan banyak. Banyak membaca dan dibimbing mengarang, dibarengi saran, guru merevisi hasilnya, kemudian didiskusikan serta akhirnya mengalami perbaikan.

Untuk mewujudkan hal itu, tentunya guru lebih dahulu membaca dan menulis sehingga mempunyai bekal yang cukup untuk memberi saran dan merevisi hasil karya siswa. Begitu pula terhadap sastra, bedah puisi bedah cerpen, novel, drama, karya siswa dilakukan guru dengan siswa, tentunya guru harus terlebih dahulu mempunyai wawasan yang cukup untuk memberi penilaian kelebihan dan kekurangan karya siswa tersebut.

Benar dalam standard isi pada ruang lingkup, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (KTSP) ada kalimat yang mengatakan bahwa pada akhir pendidikan di SMA/MA peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Sebagai asumsi buku sastra 7 buah, buku nonsastra 8 buah. Kelas X membaca 3 buku, kelas XI 3, kelas XII 1 buku sastra. Masalah yang timbul bukan hanya tidak adanya ketegasan guru menugaskan siswa membaca buku sastra, membuat esai dan atau kritik, lalu diuji oleh guru, melainkan juga buku yang dimaksud tidak ada di perpustakaan sekolah.

Bandingkan dengan peserta didik dari Thailand, yang wajib membaca 5 judul buku sastra, Malaysia 6 judul, Singapura 6 judul, Brunei Darussalam 7 judul, Jepang 15 judul, Belanda 30 judul, Amerika serikat 32 judul. Sebagai pengingat, zaman penjajah Belanda. Algemeene Midllebare School (setingkat SMA), AMS-A, wajib membaca 25 judul, dan AMS-B wajib membaca 15 judul buku sastra. Wajib membaca itu dapat dilaksanakan karena buku yang dimaksud terdapat dalam perpustakaan sekolah.

Tampaknya kecerdasan logika lebih diutamakan sehingga kecerdasan majemuk tidak mendapat porsi yang sepadan dari sekolah. Hal ini terlihat dari penyediaan sarana dan prasarana. Laboratorium IPA berserta alat praktek dan peraga tersedia lengkap. Namun, laboratorium bahasa, terlebih ruang praktek teater, kesenian, belumlah tiap sekolah menyediakan sarana tersebut. Kecerdasan linguistik dipadang sébelah mata sehingga kecerdasan ini tidak ditumbuhkembangkan layaknya kecerdasan logika. Terlebih perlombaan-perlombaan yang bersifat lokal, nasional, internasional, masih mengagungkan IQ, sebagai puncak kecerdasan manusia.

Kondisi ini membuat siswa berduyun-duyun menggeluti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, sementara sastra sekadar numpang lewat saja.

Kondisi tersebut bila dibiarkan akan membuat nasib sastra di sekolah kian merana. Untuk itu, sudah keharusan bila guru bahasa dan sastra kembali lagi ke jalan yang benar, dengan membaca dan lalu menulis tiada henti, menebarkan benih sastra di ladang hati siswa, melalui puisi, cerpen, drama, novel, esai, dan kritik. Pelajaran sastra bukan menyiapkan siswa menjadi sastrawan atau penyair, melainkan menanamkan humanisme, melembutkan hati, menyemai budi pekerti. Menyeimbangkan fungsi otak kiri dan otak kanan (logika dan emosi).

Marilah kita latih anak-anak bangsa kita terbang/ke angkasa pemikiran dan perenungan/melalui kemampuan dan kecintaan mengarang/membaca, membaca, membaca/mengarang, mengarang, mengarang. (Taufiq Ismail, sajak Membaca Buku dan Mengarang, Kakak-Adik Kandung Tak Terpisahkan)

Suheri, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMAN 1 Sukadana Lampung Timur
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/nasib-sastra-di-sekolah.html

Bahasa »