Gempa mengusung Ka’bah
barangkali gempa yang mengusung ka’bah
seperti tanah batin yang rentan berpindah
ber-hala pada jenis dan ganda
manakah retak atas fitrah
kaca dipenuhi warna, bentuk, dan matra
memudar, menghalau lebih luar
dari wajah terdalam, terpesona pada bianglala
oh, bianglala, bianglala
indahmu biasan terik dan hujan
udara membumbung ragam warna
seperti dunia yang memenuhi kilau mata
laiknya, metrologi hanya memberi garis dan angka
seperti ka’bah yang menjadi satu tanda atas arah
pun segala arah dipenuhi wajah yang sama
Lamongan, 2010
Vonis yang Tertulis dalam Sejarah
-John Wansbrough
inikah nasib dari tradisi, bahasa, dan kisah
bahwa segala bermula dari yang datang pertama
adalah satu-satunya vonis yang tertulis dalam sejarah
tapi, siapakah yang kuasa berdiri di luar
bahkan tuhan pun disejarahkan, dikisahkan
dalam huruf, aksara, kata, dan tanda baca
sebelum diberangkatkan ke sidratul muntaha
apakah hanya dengan menjadi bagian kisah ini
lantas dengan semena-mena ditera sebagai imitasi
tanpa bersama bukti 200 tahun tradisi
bukankah pada manusia, sosialisasi-internalisasi, juga
mengekalkan dalam otak dan hati, adalah langkah sempurna
ketika pena berbelok-belok sekehendak arah
sekali-kali tak ada kata untuk menjadi bagian tersendiri
sebab kata ini adalah kata yang sama sejak pertama
seterusnya, pun tampak berbeda bentuknya
bukankah mata kabur oleh sakit dan renta
di sini, bilakah kalam akan terkabarkan
maka, bukan hijaiyyah yang tertulis dan terbaca
tapi, hanacaraka yang dianggap suci menjadi kaligrafi
dan barangkali beliau pun akan memakai batik jawa
dengan benjolan blangkon di belakang kepala
—atau lainnya—
dan, bagaimana akan menyebut tentang manusia
bersama pengingkaran atas partikularitas
timur dan barat adalah gelindingan bola
adam dan hawa menjadi orang tua pertama
pada kebenaran, siapa yang hendak meniru
meski bermacam pintu untuk bertemu
inikah vonis tertinggi dari sebuah imitasi yang terterakan
kata-kata menyemburkan katrina yang menitikkan gamang
hanya pada debu-debu yang biasa beterbangan
tapi, syukurlah tidak ada yang setenar tuhan
meskipun atas manusia, wajahnya kerap alpa
Lamongan, 2010
Para Pengantar Kabar
-Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
telah hadir kabar-kabar, di depanmu di depanku
berlompatan, menjalin satu persatu, individu
matarantai-matarantai peritiwa dulu
utusan adalah titik penyandaran, hamba yang patuh
tanya mana yang mengantarkan pada ragu
—bahkan ingkar— bahwa segala itu palsu?
sungguh, selaiknya kita patut bertanya
bagiku bukan ragu, tapi, kita adalah para pembukti
para pemisah, karena antara benar dan dusta
tak mungkin menjejak di kaki yang sama
dan bilakah itu, merusak warna semata, kelabu
barangkali hanya duduk semeja dalam ilmu, dalam hikmah
demikianlah, dalam tradisi ini, tiga-lima generasi adalah nyawa
dari hidupnya sebuah kabar atas hadirnya seorang utusan
maka, sedari awal pun telah dipersiapkan, tanya-tanya
tak memihak, kecuali pada kebenaran
dan barangkali kau pun tahu, selain itu kehendak
segalanya kan tenggelam, batal dan rusak
Lamongan, 2010
Biodata Penulis
Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (Pustaka Pujangga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).