Apa Pentingnya Gaya Bahasa?

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH laman Mata Kata kembali hadir pada Kamis ke empat, bulan Mei 2011. Kali ini tampil penyair Salamet Muntsani (Bandung), I Putu Gede Pradipta (Bali) dan Restu Ashari Putra (Bandung). Ketiga penyair yang tampil dalam kesempatan kali ini, lepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, telah menunjukkan kemampuannya dalam menulis puisi, dengan tema yang beragam.

Bila kita sungguh-sungguh membaca puisi yang ditulis oleh ketiga penyair tersebut, maka akan segera terlihat bahwa mutu sebuah puisi tidak ditentukan oleh panjang dan pendeknya puisi yang ditulis, akan tetapi sangat ditentukan oleh seberapa jauh masing-masing penyair mampu mengolah bahasa, dalam menulis puisinya itu. Dengan itu, tak aneh kalau banyak kalangan yang mengatakan bahwa yang panjang itu belum tentu memuaskan. Tapi yang pendek, bisa mantap, dan segar. Lihat saja sejumlah puisi Haiku yang ditulis oleh para penyair Jepang pada masa-masa awal kelahirannya itu, memberikan angin segar bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi dunia.

Sebelum melangkah ke hal lainnya, saya kembali hendak mengatakan, bagi rekan-rekan yang ingin mengirimkan puisi ke laman Mata Kata, puisi harap dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com disertai foto dan biodata. Sayangnya, sejumlah puisi yang dimuat dalam laman ini, hingga hari ini belum bisa memberikan honorarium sebagaimana media induknya HU Pikiran Rakyat. Lepas dari itu, paling tidak laman ini bisa dijadikan ajang silaturahmi para penyair, disamping sebagai rumah untuk saling memperkaya diri dengan pengetahuan, yang mungkin bisa dipetik dan bermanfaat bagi kehidupan di masa kini maupun di masa mendatang.

Dalam kesempatan ini saya hendak menjawab sebuah surat pendek yang saya terima dari Arlina, yang berbunyi, apa pentingnya gaya bahasa dalam menulis puisi? Dengan tegas pertanyaan tersebut saya jawab, penting. Fungsinya tidak hanya mempertegas, mengkonkretkan, atau memperdalaman makna sebuah teks puisi, tetapi juga memperindah teks puisi itu sendiri. Gaya bahasa yang paling sering digunakan dalam menulis puisi, selain bahasa figuratif adalah pesonifikasi. Namun demikian, tentu saja hal tersebut tidak asal tulis. Sang penyair harus memperhatikan dengan cermat logika kalimat yang ada pada teks puisi yang ditulisnya itu. Almarhum Wing Kardjo mengatakan, harus memperhatikan lingkungan teks yang ada dalam puisi yang ditulisnya itu. Dengan baik, penyair Salamat Muntsani menulis puisinya seperti ini:

Cinta adalah kuburan
yang tak satupun tahu
apa terjadi di dalamnya!

Ketika cinta diandaikan atau disamakan, atau diibaratkan dengan kuburan, maka tak satupun orang yang tahu apa yang terjadi di dalam kuburan. Puisi di atas pendek memang, namun tafsirnya bisa ke mana-mana. Dunia cinta yang bagai kuburan itu, tentunya bukan hanya dunia yang tenang dan damai, tetapi juga boleh jadi merupakan sebuah dunia yang panas.

Pahit atau manis harus diterima orang yang tenggelam dalam cinta, dimabok cinta, atau dikubur cinta. Diksi cinta, kuburan, dan dalamnya itulah yang dimaksud lingkungan teks sebagaimana pernah dikatakan Wing Kardjo ketika ia mencontohkannya dengan sebuah teks yang berbunyi: cintaku kepadamu bagai cuka/ yang menghacurkan tembaga// Hubungan cuka dan tembaga bisa kita mengerti, ketika sifat cuka yang asam itu memang bisa merusak tembaga. Jadi dengan demikian, yang main di situ bukan hanya bagaimana membuat ungkapan dengan bahasa yang indah, tetapi juga memperhatikan dengan cerman bagaimana logika dan daya intelektual bekerja di dalamnya. Dilihat dari sisi semacam ini jelas sudah bahwa menulis puisi itu – sesungguhnya – tidak gampang.

Sehubungan dengan itu pula, jelas sudah jangan remehkan gaya bahasa. Untuk itu ada baiknya kita membaca lagi, apa dan bagaimana gaya bahasa itu dengan baik, yang mungkin hal itu, dulu pernah kita pelajari sewaktu masih sekolah di SLTP atau SMA. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***

Sajak-sajak Salamet Muntsani
MAKAN MAKNA

Cinta adalah kuburan
yang tak satupun tahu
apa terjadi di dalamnya!

LEWAT SAJAK

Lewat sajak kau memelukku
Lewat sajak kau mencumbuiku
Lewat sajak kau lukis hitamku
Lewat sajak kau kirim cinta untukku

Lewat sajak kau tabur kasihmu
Lewat sajak kau telanjangi aku
Lewat sajak kau belah heningku
Lewat sajak kau lulur rinduku

Lewat sajak kau menyetubuhiku
Lewat sajak kau memanggilku

Lewat sajak aku menjadi kau
Lewat sajak kau menjadi aku!

KAU

Kau tikam hatiku
Aku cium bengismu
Kau hancurkan rumahku
Kubawakan kapak untukmu
Kau butakan mataku
Aku terima cahayamu
Kau ludahi aku
Aku telan ludahmu

Kau tendang aku,
Aku diam!

Salamet Muntsani. Lahir di Sumenep, 11 September 1981. Saat ini kuliah di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tinggal di Jl. A.H. Nasution No. 505 Cibiru-Bandung. No. Kontak: 087822102020
***

Sajak-sajak I Putu Gede Pradipta
TIKUS DAN SEPOTONG KISAH

Tikus itu masuk ke dalam tubuhku. Ia tetaskan
matahari sembilan warna. Beragam rupa beragam
corak. Kukira juga dengan beragam cerita. Meski
tak mengikutkan hujan dan bau tanah yang asing.

Tepat di jantung ia lakukan semuanya. Dibuatnya
darahku panas mengalir. Kini tubuhku sudah api.
Siapa berani? Mari dekati.

Sekali lagi kuberi tahu. Tubuhku api. Siapa berani?
Mari dekati kemari.

Mari setubuhi aku. Makhluk tanpa kelamin. Yang
resah mencari liang yang risau mengejar bayangan
sendiri.

Aku mohon. Pada kalian. Dekati aku!
Agar lekas kurampungkan sepotong kisah ini.

16-4-2011

KEPALA BATU

Gadis itu meluncurkan belati tumpul ke tatapanku.
Setelah kukoyak bagian putih hatinya dengan racun
kata-kata paling biru.

Pisah sudah. Kita mesti berpisah!
Pecahkan etiket hati berwarna merah yang telah rekat
di dada ini. Karena setiap janji selau membenih cermas
menjalarkan risau dan mengudar deret keberpuraan.
Setiap kejujuran kerap ganjil dan tak pernah sekalipun
kasat untuk diterjemahkan.

Tetapi, meski berkali-kali kulontarkan kata pisah. Tetap
keras kemauanmu mengepal erat diriku. Lalu segudang
alasan klasik. Setumpuk alibi kontemporer. Selaksa
rayuan mendayu-dayu.

Di ujung sabar air mata pun tak dapat dibendung.
Tetap kau paksakan aku bersamamu.

2010- 2011

I Putu Gede Pradipta lahir di Denpasar, 18 Desember 1988. Pendidikan terakhir Mahasiswa Pendidikan Biologi (rela berhenti). Kini setia otodidak menulis puisi sesekali cerpen dan catatan kecil. Ebook puisinya bertajuk Sekumpulan Puisi I Gede Putu Pradipta (Evolitera, 2010).Email: putugedepradipta@yahoo.com
***

Sajak-sajak Restu Ashari Putra
MAHA SAMUDERA DESEMBER

akan kukembalikan
desember yang pernah
kau pinjamkan tempo dulu
saat kita menjarah bulan
di tepi pantai
yang arahnya tak tentu
dari selatan ke timur
tak habis habis kita memuja
maha samudera
padahal dada kita lebih lautan
membentang layar, menantang gelombang
sementara kita terus mencatat
badai demi badai yang menabrak
dinding perahu hingga kandas
hingga terhempas

?2010

SEHABIS DARI MANGGARAI

mulai malam ini
aku belajar menulis surat
undangan kematian
dan mengirimnya pada rumah,
gubuk-gubuk pinggir jalan,
pada lelaki renta
dan tongkatnya yang tua
mungkin nasib semacam angin malam
yang riuh dan berisik mengepakkan sayapnya
menabrak kaleng,
mengetuk tiang-tiang,
kemudian mengganggu tidur
para sopir di terminal
sedang jarum jam bagai kopi hitam
yang selalu membuat mata
tegang dan terjaga
sementara aku
kembali lagi belajar
mengirim undangan
khusus kepada ibu
yang sedang merebus batu
yang tertawa senyum-senyum
dengan bahagia
memerhatikan anak semata wayangnya
melilitkan tali di lehernya
lalu dengan penuh damai
mereka merayakan
makan malam bersama
tanpa lagu-lagu, tanpa nyanyian
dikelilingi anjing-anjing liar
yang lapar. matanya bengis.
mungkin nasib semacam angin malam
yang menendang kardus-kardus
menerbangkan koran-koran
mengapungkan harapan

2011

PADA SAJAK YANG KESEKIAN

pada sajak yang kesekian
aku baru mengerti
ternyata tubuhku adalah
potongan hujan
yang basah di halaman
rumahmu
dan setiap kali aku datang
aku baru paham
bahwa kau ingin menjaringnya
menjadi sekian kumpulan malam
yang amat pribadi dalam tubuhku
yang tak habis habisnya kaubaca kautelaah
sebelum bulan pudar di tengah kota
dan matamu tenang terpejam
sebagai doa

2010-2011

Restu Ashari Putra lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan jadi jamaah Majelis Sastra Bandung (MSB). Kini tengah merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung sambil belajar menulis puisi dan prosa. Puisinya singgah di antologi “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010) dan cerpennya dalam antologi “Bersama Gerimis” (MSB, 2011). Puisi-puisinya juga dipublish di blog pribadi: www.katarestu.wordpress.com. Tinggal di Jl. Merkuri Utara VIII No.1 Margahayu Raya, Bandung. Alamat surat restu_freedom@yahoo.com, No kontak: 085781660989.*

Bahasa »