Deddy Arsya
harianhaluan.com
‘Para penjahat’ atau ‘kaum kriminalis’ adalah kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari struktur sosial. Mereka ada sepanjang masa dan turut mempengaruhi sejarah masyarakat. Bahkan tidak jarang peristiwa besar meledak karena dipicu oleh kelompok ini.
Gerakan Padri, di antaranya terjadi karena merebaknya begundal-begundal pengadu ayam dan pejudi, maling-samun, para rampek-rauik dalam masyarakat adat pedalaman Minangkabau akhir abad ke-18. Cristine Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri mencatat bahwa akibat menanjaknya gelombang kriminalitas ini, laju-gerak perdagangan antar pekan jadi terganggu. Pasar tidak aman lagi. Pamor penghulu turun karena tak mampu mengembalikan ketentraman. Bahkan tidak jarang beberapa elit adat sendiri terlibat dalam praktek kejahatan itu. Di saat seperti itulah beberapa ulama padri muncul menggantikan peran penghulu menyelesaikan persoalan kriminalitas ini. Turun-tangannya kaum padri dalam memberantas para bandit ini menurunkan pamor politik para penghulu. Sehingga memunculkan ketegangan di antara keduanya di kemudian masa.
Setelah kekuasaan kolonial tegak-berdiri, upaya mengendalikan penjahat-kriminalis atau para begundal ini tetaplah merupakan agenda utama elit-elit nagari. Tuanku Laras dan Angku Palo menempatkan ‘keamanan nagari’ sebagai prioritas kebijakan. Dalam buku Kelah Sang Demang: Jahja Datoek Kajo dikatakan, bahwa keberhasilan pejabat kolonial dinilai dari, di antaranya dan yang terpenting, keberhasilan menjaga keamanan negeri dengan menekan angka kriminalitas ke titik paling rendah di daerah kekuasaan masing-masing.
Setelah lepas dari kolonial, keberadaan kaum kriminalis ini tetap menjadi perhatian masyarakat dan negara. Dalam sejarah Orde Baru, pada tahun 1983-1985, negara mensponsori penembak misterius untuk menanggulangi kriminalitas. “Gelombang pasang kejahatan”, tulis M. C. Ricklefs dalam kitab Sejarah Indonesia Modern, “dihadapi dengan pembunuhan negara tanpa jalur pengadilan terhadap 5.000 tersangka kriminal di seluruh negeri”. Penembakan Misterius ini dilaksanakan oleh polisi dan militer, yang kemudian membuang mayat-mayat di tempat umum sebagai peringatan. Soeharto dalam otobiografinya menyebut ini sebagai ‘terapi kejut’.
Namun sejarah seringkali melupakan, misalnya, siapa begundal-begundal ini, atau bagaimana kisah kejatahan mereka, dan serta bagaimana mereka diperlakukan kekuasaan? Sejarah lebih suka mencatat para ‘hero’. Sehingga kelompok masyarakat seperti penjahat (baik bandit, garong, maling, begundal, preman, dan lain sebagainya) hanya dilihat sebagai bayang hitam di tengah cerita orang besar.
Maka tulisan ini akan menuturkan tentang beberapa penjahat-kriminalis pada suatu rentang periode kolonial di Minangkabau, bagaimana kebijakan pemerintah menghadapi mereka, dan nasib mereka setelah itu. Tulisan ini hanya bersifat selayang-pandang.
Urang Bagak dan Para Parewa
Di Minangkabau, urang bagak sering meresahkan masyarakat nagari. Mereka (baik berkomplot atau perorangan) membuat rusuh, melakukan perampokan, pembunuhan, dan terkadang penyiksaaan. Atau tidak jarang memungut iuran dengan sewenang-wenang di pasar. Penduduk takut kepada mereka. Korban mereka terutama adalah kaum pedagang yang seringkali menjadi korban rampok-rampas. Pepatah Minang tentang yang terakhir ini menyebutkan, “galeh takambang urang bagak datang!”
Urang bagak kadang disebut juga dengan istilah parewa. Dua istilah ini berkonotasi negatif, digunakan untuk menyebut ‘para penjahat’, kriminalis, atau bandit-begundal di Minangkabau. Sekalipun pernyataan ini tidak sepenuhnya tepat, sebab sebagian dari parewa pernah menjadi tokoh yang menggerakkan perlawanan terhadap penjajah atau orang kaya yang menjerat masyarakat kecil dengan hutang. Menurut Gusti Asnan dalam Kamus Sejarah Minangkabau, parewa itu di antaranya bernama Patai (? – 1927) yang memimpin sekelompok pemuda Pauh membunuh beberapa pegawai Belanda, menyerang kantor polisi, dan mengancam akan menduduki Padang.
Namun, masih dalam masa kolonial, sebagian dari parewa (yang biasanya memiliki ilmu hitam dan suka berjudi) banyak difungsikan ke arah yang mirip fungsi preman masa sekarang. Mereka dimanfaatkan oleh orang kaya, cukong China, dan penguasa Eropa sebagai kaki tangan untuk menjual candu, memungut hutang, terlibat sindikat perdagangan gelap, dan sebagai tukang pukul. Itulah kenapa parewa dimasukkan ke dalam golongan pelaku kriminal.
Angku Palo dalam kaba-klasik Minang, Gadih Rantih, misalnya, memanfaatkan para urang bagak untuk menyingkirkan Bujang Saman, tunangan Gadih Rantih. Urang bagak suruhan Angku Palo itu berhasil mengirim Bujang Saman berodi ke Malalak. Tidak disebutkan memang siapa nama urang bagak yang diupahi itu.
Dalam Sengsara Membawa Nikmat, Kacak yang “Angku Muda dan Orang Kaya kemenakan Tuanku Laras” mengupah seorang parewa untuk membunuh Midun. Parewa itu bernama Lenggang. Sekalipun tak berhasil membunuh Midun, tapi dia berhasil membuat Midun dipenjara di Muaro Padang selama empat bulan. Sementara dia sendiri juga di penjara di tempat yang sama sebelum dibuang ke Betawi.
Satria Panjang Tangan
Di antara golongan kriminalis lain yang terkenal di tengah masyarakat Minangkabau adalah “satria panjang tangan”; baik itu urang maliang, pencacak (pencuri, dalam orang ramai), pentatak, maupun penyamun.
Dalam kaba Lareh Simawang, yang dituliskan dalam bentuk prosa beruntai oleh Syamsoedin St Rajo Endah, maling yang terkanal itu bernama Si Amaik. Lakunya: sarupo musang jantan/siang lalok malam bajago. Akibat prilakunya: banyak urang nan kahilangan/kain tarampai ilang/ tandeh sagalo ayam di kandang/ cubadak pupuih dari batang.
Melihat kerjanya itu, Si Amaik, menurut tukang kaba, tiada lain harus tangkap dan dipenjarakan. Disebutkan, cingkariang elok dikuduang/ pado marimbo dalam padi/ urang maliang elok dikurung/ pada manyeso dalam nagari.
Si Amaik akhirnya memang dilumpuhkan. Para dubalang Tuanku Laras berhasil menangkapnya. Dia lalu dikirim dan dikurung di paseban Bukittinggi. Di sana, Si Amaik: marasai badan patang-pagi/ dicambuik disipak Angku Jaksa/ sakik sagalo pasandian/ ramuak sagalo tulang badan//.
Dalam Sengsara Membawa Nikmat, maling yang “dikenal di mana-mana karena kejahatannya” bernama Ma Atang. Ma Atang, tulis Tulis St. Sati, “kebal dan tidak luput oleh senjata … kepandaiannya bersilat sebagai terbang di udara”.
Ma Atang yang sudah tiga kali jadi orang rantai karena perampokan dan pembunuhan itu, sekali, bersama komplotannya Ma Atang merampok rumah Kacak. Midun dan Maun melumpuhkan mereka, dihadapkan ke Angku Jaksa di Fort de Kock untuk diadili. Tidak jelas nasib Ma Atang setelah itu, tapi melihat gejala kekerasan dalam tansi masa itu, barangkali nasibnya tak akan jauh berbeda dengan Si Amaik.
Beberapa Kriminalis Lain
Beberapa kriminalis lain dicatat oleh seorang pengarang Roman Pergaoelan yang pernah menjadi tahanan politik (Politiek Isolatie) Belanda. Maisir Thaib dalam outobiografinya Pengalaman Seorang Perintis Kemerdekaan Generasi Terakhir Menempuh Tujuh Penjara menuliskan bahwa dia pernah satu penjara dengan beberapa kriminalis di penjara Muaro Padang. Kriminalis itu adalah: Tiga orang maling dan seorang perempuan yang menjadi tukang tadah hasil curian.
Martha juga mengisahkan tentang seorang kepala nagari yang bergelar Datuk Rajo Bulan yang tertuduh korupsi pajak sebanyak 300 Gulden. Kisah yang terakhir ini rasanya agak lucu. Uang korupsi telah dikembalikan ke kas negara oleh sang kepala negeri. Sementara beberapa ekor kerbau dan sawah telah pula dijual untuk membayar advokat. Sudah habis tandas kekayaan untuk mengurus pengadilan. Namun sang kepala nagari itu tetap juga diganjar hukuman tiga bulan penjara.
Sang kepala nagari yang di kampungnya biasa dihormati dan hidup senang dengan 4 istri, dalam penjara dibuat ‘menangis malam’, terisak-isak karena perlakukan para sipir. Sebab di penjara dia dikerja-paksa sepanjang hari sambil telanjang seperti para kriminalis bisa lain. Tidur di lantai dingin tanpa tikar dan makan nasi-jagung yang berkutu. Nah, bagaimana jika dibandingkan dengan koruptor masa sekarang? Wallahu’alam.
*) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Unand, Padang. 08 May 2011