Mahmud Jauhari Ali
Tabloid Serambi Ummah, 15 Agus 2008
Aku masih teringat dengan kata-kata pak Hamid soal pernikahan adikku. Lelaki berusia setengah abad itu dengan teganya menolak adikku menjadi menantunya hanya karena uang seserahan yang belum dapat kami berikan sesuai permintaannya. Adikku sebenarnya sudah ingin sekali memiliki seorang wanita yang menemaninya dengan setia. Sudah dua tahun adikku berhubungan dengan Mia, anak pak Hamid. Aku sebagai kakaknya tidak ingin keduanya terjerumus ke jurang maksiat. Ketakutanku muncul saat aku melihat mereka bergandengan tangan di samping musala sehabis salat Tarawih satu bulan yang lalu. Hatiku sakit melihat adikku yang kini tidak semangat menjalani hidup gara-gara penolakan pak Hamid tempo hari.
Kadang kulihat dia termenung sendiri di serambi rumah kami. Aku tahu bagaimana perasaannya. Dengan permintaan pak Hamid sebesar lima belas juta rupiah, kemungkinannya baru satu tahun lagi adikku dapat menikah. Dia memang sudah bekerja sebagai penjahit, tetapi berapalah pendapatan seorang penjahit yang baru membuka usahanya.
“Assalamualaikum…. ”, sapa ustadz Karim dengan suara yang lembut kepadaku
“Wa’alaikumussalam”, jawabku.
“Bapak sedang ada masalah ya? tanya beliau
“Ah Ustad tahu saja kalau saya sedang punya masalah”
“Ya, soalnya Bapak kalau setiap kali ada masalah, Bapak sering duduk tafakur di musala ini”
“Benar Ustad saya sedang ada masalah. Saya belum memiliki uang untuk membatu adik saya menikah”
“Memangnya sudah berapa tabungan Bapak dan adik Bapak itu?
“Baru sembilan juta Ustad.”
“Cukup sudah uang itu sebenarnya untuk menikah. Bukankah rasulullah sendiri mengadakan pesta pernikahan dengan sederhana? Bahkan rasulullah menyuruh umatnya agar menikah walaupun dengan mas kawin berupa cincin dari besi.”
“Kami pun sebenarnya ingin seperti itu, tetapi pihak mempelai wanitanya meminta uang seserahan sebesar lima belas juta”
“Masya Allah! Besar sekali?”
Azan Juhur pun berkumandang menghentikan percakapan kami. Kami segera berwudu dan setelahnya kami pun salat berjamaah. Ustad Karim menjadi imamnya. Aku dan tiga orang lainnya mengikuti gerakan beliau dari belakang.
Aku segera meninggalkan musala setelah memanjatkan doa kepada Allah agar dimudahkan-Nya menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi.
***
Kulihat istriku sedang asyik memberikan makan ayam-ayam kami. Kulihat ia juga ikut memikirkan masalah pernikahan adik kandungku itu.
“Assalamu’alaikum…!” sapaku pada istri tercintaku
“Wa’alaikumussalam” jawabnya dengan dengan sangat lembut .
“Dari mana Yah hari Minggu baru pulang?” tanyanya.
“Aku habis dari musala. Pak ustad tadi mengajakku berbincang.”
“Soal apa?”
“Soal adik kita.” jawabku. “Pak ustad juga menyayangkan pihak mempelai wanita yang meminta uang seserahan dengan jumlah banyak”, tambahku.
“Apa nasehat pak ustad kepada Ayah?
“Aku diminta beliau membicarakan sekali lagi kepada pak Hamid soal uang seserahan itu karena dalam Islam tidak ada hukumnya meminta uang seserahan kepada pihak mempelai pria, apalagi dengan jumlah yang banyak.” “Beliau juga menambahkan bahwa dalam Islam hanya ada pemberian mahar yang tidak ada ketentuan jumlah dan ukurannya dari mempelai pria kepada mempelai wanita.”
Istriku pun mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kataku itu. Pembicaaan kami terhenti saat adikku Fajriansyah datang dari tempat kerjanya. Kami lihat wajahnya sangat lelah. Ia tersenyum ke arah kami.
“Assalamu’alaikum….” sapanya.
“Wa’alaikumussalam …”, jawab kami.
“Karena sudah berkumpul, ayo kita makan bersama! Pinta istriku kepadaku dan Fajriasnyah.
Dengan lahapnya kami menyatap makanan di meja makan. Perut kami langsung kenyang dan mata kami pun mulai mengantuk.
***
Tidak terasa sudah pukul setengah empat sore. Aku beranjak dari tempat tidurku untuk bersiap-siap salat Asar di Musala. Dalam pikiranku masih saja melekat masalah pernikahan adikku. Kuputuskan setelah salat aku akan menemui kembali pak Hamid. Dengan sepeda motor aku melaju ke rumah tempat tinggal gadis pujaan adikku. Di sana kami berbicara cukup lama dan sangat alot karena pak hamid tetap pada pendiriannya. Aku pulang dengan tangan kosong karena aku tidak berhasil meyakinkan pak Hamid soal pernikahan yang Islami.
Dalam perjalanan pulang aku mampir di pasar. Aku tadi dipesani istriku untuk membeli gula merah dan kacang hijau. Katanya dia ingin memasak bubur kacang hijau. Saat aku membeli gula merah dan kacang hijau, aku mendengar percakapan para penjual di pasar itu.
“Bi, kemarin habis berapa untuk biaya berobat di rumah sakit?”
“Kalau ditanya habis berapa, habis-habisan Dik”
“Memang Bi, sekarang tidak ada yang murah.”
“Kami kemarin habis delapan juta untuk biaya operasi usus buntu anak kami.”
Akibat percakapan para penjual di pasar tadi, aku jadi berpikir kalau aku harus segera membiayai adikku untuk menikah. Jika harus menunggu satu tahun lagi, aku takut adikku menjadi stres berat. Biarlah habis biaya banyak dengan resiko jual sana, jual sini. Mengharapkan kesadaran pak hamid terlalu lama. Pak Hamid juga berpikiran sekarang tidak ada yang murah, apalagi soal anak gadis tentulah mahal. Pemikiran yang salah masih melekat dalam pikiran masyarakat kita saat ini soal pernikahan, pikirku.
***
Dengan hati yang ikhlas, aku dan istriku memutuskan menjual sepeda motor kami dan beberapa barang lainnya termasuk perhiasan istriku untuk biaya adik kami. Semula adikku menolak keputusan kami, tetapi akhirnya dia pun menuruti permintaan kami. Kami tidak bisa mengubah adat perkawinan yang sudah lama mengakar di daerah kami soal uang seserahan dalam pesta perkawinan. Kami akui, masih banyak orang di daerah kami yang belum paham betul dengan tata cara pernihakan yang Islami, salah satunya adalah pak Hamid. Pernikahan pun berlangsung dengan meriah. Aku dan istriku sangat bahagia dengan pernikahan itu. Kebahagian kami bukan datang dari meriahnya pesta, melainkan datang dari kebahagian yang sedang dirasakan oleh adik kami tercinta yang terlihat dari senyum dan tawanya.
***