Hadi dan Mursidah

Mahmud Jauhari Ali
Banjarmasin Post, 5 Okt 2008

Namaku adalah Misran Yahadi. Aku biasa dipanggil oleh orang-orang yang mengenalku dengan nama Hadi. Usiaku sudah lebih dua puluh enam tahun. Tiga bulan yang lalu aku menikahi seorang wanita bernama Mursidah. Dia seorang wanita yang baik hati. Aku menikahinya bukan hanya karena parasnya yang manis, tetapi juga ia seoarang wanita solehah yang membuat hatiku merasa tentram bersamanya. Pertama kali aku mengenalnya saat aku menghadiri pesta pernikahan temanku di kota lain yang cukup jauh dari kotaku. Saat itu dia mendapat tugas memberikan pelayanan kepada para tamu undangan yang hendak makan di pesta itu. Aku termasuk salah satu tamu yang mendapat pelayanannya.

“Hei jangan terlalu mamandangi wanita, nanti kamu jadi tidak bisa tidur!” kata temanku.

“Ah siapa yang memandangi wanita?” kilahku padanya.

“Dia memang manis, tetapi jika dipandangi terus bisa hilang nanti manisnya!” temanku itu kembali menggodaku.

“Terserah kamu sajalah, yang penting aku tertarik padanya.”, kataku pada temanku itu. “Aku berencana mangajaknya nikah.”, tambahku.

“Kamu serius dengan kata-katamu itu?” tanyanya.

“Tentu aku serius!” jawabku ketus.

Sejak pertemuan itu, aku mencoba mencari tahu siapa gadis idamanku tersebut hingga akhirnya kami menikah. Kami saling mencintai dan membutuhkan dalam hidup berumah tangga.

Setelah satu bulan menikah, kami berencana belajar hidup mandiri dengan tinggal berdua di rumah sewaan. Kami tidak ingin terus-menerus tinggal di rumah orang tua. Setelah kami mencari rumah sewaan keliling di kotaku, akhirnya kami menemukan satu rumah sewaan yang masih kosong. Pemilik rumah sewaan itu bernama Haji Marwan. Beliau menetapkan harga sewa rumah yang kami tinggali itu per bulannya 250 ribu rupiah.

“Tolong kalian anggap rumah ini sebagai rumah kalian sendiri ya!”, kata Haji Marwan saat menyerahkan kunci rumah yang akan kami tinggali itu.

“Insya Allah akan kami anggap seperti keinginan Bapak”, sahutku kepada pak Marwan.

Rumah yang kami diami itu sangat nyaman. Aku dan istriku sangat senang tinggal di rumah tersebut. Kami hidup dengan rukun di sana.

Kini aku tinggal bersama orang tuaku. Sudah dua hari aku tidak bersama istriku. Kesendirianku bukan karena kami bertengkar. Dua hari yang lalu tejadi kebakaran besar di area rumah sewaan kami. Saat peristiwa itu terjadi aku sedang berada di kantor. Aku tidak sempat menemani istriku di sana. Sungguh aku menyesal dengan diriku sendiri. Seharusnya aku tidak pergi ke kantor hari itu. Kasihan istriku sendirian menghadapi kobaran api di tempat itu. Setelah aku sampai di tempat kejadian, orang-orang termasuk istriku sudah mengungsi ke berbagai tempat yang aman. Aku datang terlambat karena telepon selularku tertinggal di rumah sewaan dan kutemukan teleponku sudah hangus terbakar bersama barang-barang kami lainnya. Istriku yang belum mengenal daerah di kotaku kemungkinan tidak dapat menuju rumah orang tuaku. Saat ini aku sangat bingung dengan keberadaan istriku.
***

Aku adalah istri kak Hadi. Saat ini aku sedang mengalami penurunan mental secara drastis. Aku belum pernah berada sedekat itu dengan kobaran api yang besar saat kejadian dua hari yang lalu. Barang-barang kami habis terbakar. Aku hanya dapat membawa diriku dan pakaian yang sedang kupakai. Saat kebakaran terjadi aku seperti kehilangan akal sehatku. Aku sangat panik dengan keadaan di sana. Saat itu aku sangat bingung harus berbuat apa. Untunglah tetangga-tetanggaku mengajakku mengungsi ke tempat yang aman. Aku yang saat itu sangat takut, hanya bisa menuruti kemamauan mereka hingga sampai di tempat ini. Kini aku tinggal di rumah bibi Rahimah. Beliau sangat baik kepadaku.

Bibi Rahimah merupakan adik bibi Salamah yang tinggal bersebelahan dengan rumah sewaan kami dulu. Aku saat ini sangat merindukan suamiku.

“Ya Allah, kapan cobaan ini berlalu dan aku dapat hidup bahagia seperti dahulu?” keluhku sebagai hamba yang lemah.

Aku kadang-kadang manangis sendiri di kamar. Dua hari ini aku lebih sering menyendiri karena aku ingin menenangkan diriku dulu. Besok aku berencana mancari suamiku.

“Sabar ya Dah!” bibi Rahimah membangunkanku dari lamunanku.

“Saat ini saya sedang sedih dan bingung sekali Bi.”, kataku kepada beliau.

“Sudahlah, kamu jangan terus larut dalam kesedihan!” pintanya kepadaku. “Bagaimana jika besok kita mencari suamimu?” tanya beliau.

“Sungguh Bi? Saya memang ingin mencari suami saya besok.”, kataku dengan bersemangat.

“Untuk apa aku membohongimu? Aku sungguh ingin menemanimu besok mencari suamimu.” beliau meyakinkanku.

Hatiku sedikit lega dan pikiranku mulai jernih kembali. Bibi Rahimah berhasil mengembalikan jiwaku yang sebelumnya sangat lemah untuk meneruskan perjalanan hidup ini. Aku jadi tidak sabar untuk menunggu datangnya hari esok.
***

Pukul delapan pagi bibi Rahimah dan bibi Salamah menemani Mursidah mencari suaminya.

“Dah, kamu masih ingat ‘kan dengan alamat rumah mertuamu?” tanya bibi Salamah kepada Mursidah.

“Alamatnya di jalan Hiu Tutul nomor sembilan.”, jawab Mursidah.

“Rumah mertuamu itu berjarak sebelas kilometer dari sini.”, kata bibi Rahimah.

“Kita naik apa Bi ke sana?” tanya Mursidah kepada bibi Rahimah.

“Naik mobil pak Muhibul saja”

Ketiganya berangkat dengan menaiki mobil milik pak Muhibul. Mursidah sangat bahagia karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan suaminya yang sangat dicintainya.

Sementara itu, Hadi masih mengadakan pencarian. Bahkan Hadi sudah memasang iklan keluarga di surat kabar harian berisi pencarian orang hilang, yakni istrinya. Hadi sangat terpukul dengan kejadian itu. Karena kejadian itu, ia harus kehilangan istri tercintanya. Sejak dua hari yang lalu Hadi jarang makan dan sering tidur larut malam. Keadaan jiwanya sungguh sangat gelisah.

“Hadi, janganlah kamu mondar-mandir seperti itu!” perintah ayahnya. “Duduklah di sini dan kita susun rencana kembali untuk mencari istrimu itu! tambah ayahnya lagi.

“Saya sungguh tidak tenang Yah. Sudah ke sana ke mari saya mencarinya, tetapi tidak ada hasilnya.”, kata Hadi.

“Sabarlah dulu Nak! Allah sedang mengujimu saat ini.”, ibunya ikut menenangkan Hadi.

Hadi saat itu memang sangat bingung dengan keberadaan istrinya. Hari itu ia putuskan untuk menyebarkan kembali foto istrinya kepada orang-orang untuk dapat menemukan belahan jiwanya itu.

Di tengah perjalanan mobil pak Muhibul yang ditumpangi Mursidah mengalami kerusakan mesin sehingga mereka tertahan di sana beberapa jam lamanya. Baru setelah pukul sebelas siang mereka meneruskan perjalanan kembali. Hati Mursidah kembali berbunga-bunga setelah sempat gelisah karena mesin mobil yang ditumpanginya rusak.

“Kita hampir sampai di Jalan Hiu Tutul Dah.”, bibi Rahimah memberitahukan Mursidah.

“Iya Bi, aku sudah kenal jalan ini.” sahut Mursidah.

“Belok kanan ya Pak!” pinta Mursidah kepada pak Muhibul.

“Rumah mertuamu ternyata bagus Dah.”, kata bibi Salamah.

Hati Mursidah sangat bahagia karena ia sudah berada di depan rumah mertuanya. Ia berharap dapat segera bertemu dengan belahan jiwanya. Rumah mertuanya terlihat sepi. Maklum Hadi dan sebagian orang rumah pergi mencari Mursidah. Di rumah saat itu hanya ada ibu mertuanya dan adik Hadi yang sedang memasak di dapur sambil menunggu kabar Mursidah.

Mursidah segera mengetuk pintu depan rumah mertuanya. Adik iparnya segera membukakan pintu dan menyambut Mursidah dengan suka cita. Ibu mertuanya dari dalam segera memeluk Mursidah dengan bahagia. Tidak lama kemudian peristiwa yang sangat mengaharukan terjadi. Hadi dan Mursidah saling menatap mata dan keduanya sangat bahagia. Hadi yang sempat berpikir tidak akan bertemu lagi dengan istrinya, kini ia benar-benar menyaksikan kekuasaan Allah yakni dipertemukan-Nya ia kembali dengan istri tercintanya. Saat itu semua yang ada di sana diliputi rasa bahagia dan haru. Senyum-senyum kegembiraan terlihat di bibir mereka.

***

Bahasa »