Perempuan dan Imaji Sensual

Sunlie Thomas Alexander
http://suaramerdeka.com/

BENARKAH bayangan sensual berada di dalam kepala? Ia tak lain khayalan menggairahkan yang dikonstruksi “pikiran jorok” lelaki? Jadi, pada suatu adegan dalam serial sinetron Montir-montir Cantik, misalnya, bintang seks Sarah Azhari pun menantang lelaki yang “terangsang” oleh penampilannya, “Yang porno itu pakaian saya atau pikiran Anda?”

Saya pun teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, yang mengajak kita merenungi persoalan itu secara estetis. Alkisah, ada perempuan muda suka bernyanyi setiap mandi. Tanpa sadar dendangnya merangsang khayalan menggairahkan lelaki se-RT. Akibatnya, ibu-ibu pun berang dan mengadu pada Pak RT. Sebab, akibat nyanyian yang mungkin tak terlalu merdu itu, suami mereka menjadi dingin di tempat tidur.

Kendati menjelaskan si wanita tak bersalah, apalagi melanggar hukum, sang ketua RT akhirnya terpaksa mengimbau perempuan muda itu tak menyanyi di kamar mandi demi kepentingan orang banyak. Selesai? Tidak. Para suami tetap membayangkan suaranya yang serak-serak basah dan adegan erotis setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur dari kamar mandi. Ah, apa ada yang salah dengan sistem imajinasi kita? Begitulah pikiran sang ketua RT.

Sesungguhnya stigma penggoda telah lekat dengan sosok perempuan sejak purba, bahkan mendapat legitimasi teologis. Tragedi Taman Firdaus dan kisah Samson dan Delilah dalam Alkitab, misalnya, jelas menunjukkan hal itu. Celakanya, dalam perkembangan zaman, perempuan dan citra keindahannya terus terbuai oleh laju industri yang dikendalikan obsesi lelaki.

Dari masa ke masa, standardisasi kecantikan (dan keseksian) perempuan ditentukan oleh industrialisme dan selera pasar. Maka, dalam nafsu kapitalisme, perempuan dan tubuhnya terperangkap ketegangan eksistensial antara perayaan dan ketertindasan.

Pada zaman Victorian, perempuan — dapat kita lihat dalam lukisan-lukisan — dianggap cantik jika berperut dan paha agak berlemak dengan rambut ikal. Namun pada zaman modern ini, kemolekan perempuan ditandai oleh kelangsingan, kulit putih, dan rambut lurus dengan wajah agak tirus.

Sadar atau tak sadar, tirani pasar membuat perempuan merayakan tubuh sebagai objek demi pemujaan diri dan pemuasan obsesi seksual lelaki. Di bawah kolonisasi patriarkilah, perempuan dan tubuhnya terseret arus konsumtivisme begitu rupa, berikut tradisi yang merajam tubuh identik dengan pornografi. Selanjutnya, perempuan, tubuh, dan suara, serta cara berpakaian mereka dipandang melulu negatif. Tak pelak, perempuan acap dianggap sumber perusak akhlak, bahkan pemicu pemerkosaan.

Cantik Itu Salah Dalam film Malena besutan sutradara Giuseppe Tornatore (2000), misalnya, kita dapat menyaksikan perempuan (karena kecantikannya) jadi korban dan obsesi seksual lelaki. Malena adalah sebuah kisah Perang Dunia II, ketika diktator flamboyan Benito Mussolini membawa Italia ke kancah peperangan bersama mimpi kebangkitan Kerajaan Romawi.

Berlatar Sisilia, film itu mengangkat konstruksi sosial budaya di Italia masa perang serta pandangan dan perilaku stereotipe masyarakat terhadap perempuan cantik yang jadi janda, yang diisukan selalu menggunakan kecantikan dan keindahan tubuh untuk meluruhkan hati laki-laki.

Diceritakan, Malena (Monica Belluci), perempuan muda yang ditinggal pergi sang suami ke medan perang, harus hidup sendirian dan menjadi objek fantasi seksual setiap lelaki di desa. Tak cuma lelaki dewasa yang mabuk kepayang. Sekelompok remaja pun memandang wanita itu penuh gairah, terutama Renato Amaroso (Giuseppe Sulfaro), anak lelaki kecil kurus yang selalu membuntuti Malena dengan sepeda.

Dari kacamata Renatolah, film itu memotret keperempuanan Malena. Bocah 12 tahun enam bulan pada musim semi 1940 itu tak sekadar mengagumi kejelitaan Malena. Dia terobsesi kemolekan Malena, sehingga bersama teman-temannya setiap hari menunggu di depan rumah perempuan itu.

Sebagai perempuan modern, cantik, dan modis, Malena harus menerima “kutukan sosial” lantaran kecantikan dan status janda yang memaksa dia dijadikan objek seks. Segala cemooh dan gunjingan sebagai pelacur, perusak rumah tangga, dan perebut suami yang mesti dia terima dari para perempuan di desa itu — yang berpuncak pada penyeretan, pemukulan, dan penganiayaan.

“Satu-satunya kesalahan perempuan ini adalah kecantikannya,” ujar pengacara yang membela di pengadilan tatkala dia diadukan istri seorang pejabat yang hendak menggaulinya. Toh, pengacara itu pun meminta bayaran dengan tubuhnya.

Perlakuan masyarakat yang tak adil membawa Malena memasuki dunia prostitusi dan menjadikan dia gundik perwira Jerman. Ya Malena, seperti cerpen Seno, boleh dikatakan sebuah cerita ketika perempuan dan tubuh perempuan dilihat dari perspektif seksual lelaki, yang sekaligus berempati. Karena itu, sepanjang kisah kita melihat Renato bermimpi tampil sebagai pahlawan bagi kemalangan Mlena. Di antara fantasi seksualnya, Renato berhasrat melindungi Malena — sebagai Tarzan, koboi, atau serdadu.

Kemarahan-kemarahannya atas perlakuan orang terhadap Malena — yang tak terlepas dari dorongan libido masa puber ala Freudian — dia wujudkan, misalnya, dengan melempari pintu kaca lelaki yang merayu Malena dan mengencingi tas wanita yang menggosipkan bidadarinya.

Cantik Itu Luka Luka Malena mengingatkan saya pada novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Berlatar sejarah alternatif dalam balutan realisme magis, Cantik Itu Luka mengisahkan penderitaan perempuan yang serupa. Alkisah, Dewi Ayu lantaran kecantikannya dipaksa jadi pelacur oleh tentara Jepang. Meski tak seekspresif Malena, Eka berupaya mengantar kita memasuki psikologi perempuan yang jadi korban (dan dikorbankan).

Di kota imajiner Halimunda, kecantikan bagai pisau bermata ganda: anugerah sekaligus malapetaka. Kehidupan suram sebagai pelacur yang dijalani Dewi Ayu pascakemerdekaan tak hanya menjadikan dia pelacur idola yang diburu setiap lelaki hidung belang, tetapi juga memberi dia tiga anak gadis cantik. Maka, tatkala mengandung anak keempat, dia berharap anak itu bakal lahir buruk rupa karena kecantikan membuahkan kesengsaraan .

Malena, Cantik Itu Luka, atau “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” bisa jadi merupakan upaya melahirkan teks perempuan di tengah arus sejarah (history) yang ditulis untuk lelaki, sekaligus mempertanyakan “kelelakian” lewat keperempuanan yang tertindas. Namun, apakah penulisan yang berempati pada perempuan dapat ditulis lelaki? Mengingat, sebagaimana ujar Elaine Showalter dalam Feminist Cristism in the Wilderness (via Aquarini Priyatna Prabasmoro), ada pengalaman spesifik perempuan yang tak dialami lelaki.

– Sunlie Thomas Alexander, cerpenis, periset Parikesit Institute Yogyakarta
07 Juli 2010