Malingisme

Rakhmat Giryadi
Radar Surabaya, 10 Juli 2011

Jarak kampung Suka Miskin dengan kota tidaklah jauh. Kata para tetua di kampung, hanya berjarak satu tarikan napas. Namun, sejak kota Suka Maju berkembang pesat, kampung Suka Miskin, bertambah kelihatan miskinnya dan jarak antara kampung dan kota seperti bertambah jauh. Seperti ada jurang curam yang harus ditempuh penduduk kampung Suka Miskin untuk menuju ke kota Suka Maju.

Ketika malam hari tiba, kota Suka Maju, terlihat seperti planet lain. Lampu-lampu warna-warni yang berpijaran tampak seperti bintang-bintang. Kota itu tampak seperti mahkota yang berpendaran jika dilihat dari kampung Suka Miskin yang muram dan gelap. Suara musikpun, sering berdegum keras, sampai di kampung Suka Miskin. Kembang api sering berledakan di langit dan anak-anak yang belum terlelap tidur bersorakan melihat hiburan gratis itu.

Pada pagi harinya, kampung Suka Miskin sering mendapat kiriman sampah. Orang-orang yang pulang dari kota sering membuang sampah dari dalam mobil mewahnya. Orang-orang yang pulang dalam kondisi mambuk, memuntahkan isi perutnya ke pinggiran jalan kampung. Tak jarang, mayat orang-orang kalah dari kota ditemukan bersimbah darah di perbatasan kota.

Memang, sejak kota Suka Maju menjadi metropolitan, kampung Suka Miskin seperti tempat sampah yang berada di sudut kota. Dan kini, tidak saja sampah-sampah yang menggunung yang dibuah ke kampung Suka Miskin, tetapi harta benda yang melimpah, juga mengalir ke kampung Suka Miskin.

Sejak harta benda orang-orang kota Suka Maju mengalir ke kampung Suka Miskin, tiba-tiba kampung itu menjadi geger. Betapa tidak, harta benda yang mengalir ke kampung dibawa oleh para maling yang merasa kasihan melihat kemiskinan di kampung Suka Miskin.

Dan sejak terjadi peristiwa kemalingan demi kemalingan di Suka Maju, kampung Suka Miskin jadi sasaran penggeledahan. Seolah-olah kampung itu menjadi sarang maling. Setiap kali terjadi tindak pencurian, kampung itu diobrak-abrik oleh puluhan keamanan kota.

Peristiwa itu sudah berkali-kali terjadi. Sudah berkali-kali juga orang-orang kampung, menjadi sasaran tuduhan keamanan kota. Kang Sarib, Giono, Dakram, Pardi, Kodrat, pernah digebuki petugas keamanan kota hanya gara-gara tampangnya mencurigakan. Untung mereka dilepaskan. Tak jarang, mereka yang ditangkap petugas keamanan kota, pulang tinggal nama.

“Tampangmu itu tampang maling,” gertak petugas keamanan kota, ketika menangkap Kang Dakram.

Meski sudah digebuki, mereka dilepaskan, karena memang tidak ada bukti. Orang-orang kampung memang tak pernah mempermasalahkan main tangkap dan main tuduh petugas keamanan kota.

“Ini sudah nasib orang bertampang maling,” kata Giono yang juga pernah jadi sasaran tuduhan mencuri.

***

Sejak terjadi pencurian di kota, akses jalan menuju ke kota dijaga ketat. Setiap orang yang melintas jalan itu, harus melalui pemeriksaan ketat. Jangan harap yang tidak punya KTP bisa melintas pintu gerbang kota.

Yu Tumi, Kang Rebin, Sulik, Misnadi, menjadi korban ketatnya pemeriksaan. Mereka tidak bisa pergi ke pasar hanya gara-gara tidak bisa ke kota, karena tidak punya KTP.

Hal itu tidak menjadi soal. Kini yang menjadi persoalan besar, para maling semakin berani membagikan hasil jarahannya pada orang-orang kampung yang tidak mampu. Bayangkan, dengan gagah berani, beberapa maling, setelah menyatroni kota, pada keesokan harinya, membagikan hasil jarahannya di kampung.

Uniknya, para maling seperti mengerti kebutuhan orang-orang kampung. Pernah suatu hari, seorang maling membawa satu pick up beras, gula, telor, dan mie. Barang jarahan itu, diberikan pada orang-orang kampung yang sedang kesulitan sembako.

Waktu harga minyak tanah melambung, seorang maling membawa tiga truk tangki berisi minyak tanah. Begitu juga ketika harga cabai melangit, pada keesokan paginya satu truk membawa cabai. Orang-orang kampungpun pesta sambal.

Tidak hanya itu, seorang maling datang membagikan pakaian dalam untuk ibu-ibu, hanya gara-gara Sutini ketahuan seorang maling tidak memakai celana dalam. Begitu juga ketika Yu Jinab tidak bisa membeli pembalut, besuknya, satu pick up pembalut dibagi-bagikan.

“Ini memancing kecurigaan petugas keamanan!” seru orang berwajah klimis.

“Kampung kita dikira kampung penadah!” seru berwajah tirus.

“Kita menjadi terisolasi. Gara-gara maling, kita tidak bisa melintas gerbang. Padahal itulah satu-satunya jalan keluar menuju kota!” geram si Gigi Ompong.

Kini perbuatan para maling, tidak hanya meresahkan penghuni perumahan elit tetapi juga orang-orang kampung yang menjadi sasaran maling untuk membagi-bagi hasil jarahannya. Kampung terpecah menjadi dua blok. Blok pertama, terdiri dari orang-orang yang sedikit berpenghasilan tapi sok moralis. Mereka mengutuk perbuatan maling yang kurang ajar itu. Tetapi, blok orang-orang miskin yang tinggal di bantaran sungai atau di balik tembok-tembok pabrik, memihak perbuatan maling yang membagikan jarahannya kepada mereka.

“Ini kan urusan kita mau terima atau tidak. Kenapa mereka pada sewot,” kata si Gembrot sambil menjinjing satu karung beras, hasil pemberian maling yang membagikan jarahan.

“Ini sudah meresahkan!” seru si Gigi Putih yang tidak setuju atas perbuatan maling.

“Ini bukan soal kemiskinan, tapi moral!” seru orang berkopyah dengan nada bergetar. Orang-orang mengerutkan kening, seakan merenungkan kata-kata orang tua berkopyah itu. Apakah benar, orang-orang yang mendapat jatah dari para maling itu sudah tidak bermoral? Tak ada jawaban.

***

Tingkat ketegangan pro dan kontra semakin memuncak, bahkan cenderung terjadi bentrokan fisik. Orang-orang yang kontra, mengecam tindakan maling yang tidak manusiawi. Sementara yang pro tetap berharap datangnya para ‘juru selamat’itu.

Tidak hanya itu, jalan akses menuju kota, di tutup total. Kalaupun ada, orang-orang kampung harus mencuri waktu. Tak jarang, orang-orang kampung nyogok petugas keamanan untuk membuka pintu gerbang.

“Ini memang sudah keterlaluan. Kita harus habisi para maling yang merugikan kita ini,” kata si Pemberani.

Alangkah anehnya, belum lagi berita itu menyebar separuh kampung, seorang yang gagah berani itu ditemukan mayatnya, terpotong-potong menjadi enam bagian. Peristiwa itu cukup membungkam orang-orang yang kontra.

Namun seperti tidak mempedulikan apa yang terjadi, para maling itu malah membagikan jarahannya secara demonstratif. Mereka mengadakan upacara penyambutan di lapangan sepak bola. Ada acara pidato pernyataan terima kasih dari pihak maling atas dukungannya. Ada pidato pernyataan terima kasih dari pihak penduduk, atas bantuan dari para maling. Aparat keamanan kota tak berdaya melihat peristiwa itu.

“Masya’Allah!” keluh orang berkopyah.

Menanggapi peristiwa ini, Pak Lurah bicara cukup antusias di depan para wartawan. Wajahnya di televisi dan dikoran-koran tampak sekali sengaja dipasang sok bijaksana. Dengan gestur yang cukup diatur dan bicaranya cukup ditata, ia mengatakan: “Kita harus berantas maling yang telah meresahkan masyarakat desa. Apapun alasannya, perbuatan ini sudah mengganggu stabilitas desa.”

Untuk mencegah perbuatan yang lebih meresahkan, Pak Lurah membentuk pasukan ‘Anti Maling Dermawan’ disingkat AMD. Pasukan yang diberi wewenang penuh ini, diharapkan bisa mengakhiri peristiwa ini.

“Ini sudah menyebabkan instabilitas!” komentar kepala keamanan kota yang kali pertama, di ruang kerjanya.

Sayangnya keterangan kepala keamanan itu sering tak terbukti. Nyatanya, selama maling-maling itu membagi-bagikan hasil jarahannya tak pernah terjadi keributan, bahkan cendrung tenang, aman, damai, tak ada kerusuhan yang menyebabkan stabilitas kampung terganggu.

“Benar-benar keterlaluan. Ini penghinaan bagi mereka yang lemah. Bayangkan, mereka disamakan dengan hewan peliharaan saja. Ditidurkan di kandang sambil menunggu datangnya “rezeki”. Masya’Allah, sangat tidak manusiawi!” kata orang berdasi disebuah layar televisi.

Pak Lurah dan pejabat AMD yang dulu sangat antusias bisa membasmi para maling, hanya bisa tertegun dan berpangku tangan di kursi masing-masing, sambil membaca berita di koran yang memberitakan peristiwa itu besar-besaran. Pak Lurah tak berani mengambil tindakan karena maling-maling itu seperti pahlawan yang diagung-agungkan oleh sebagian rakyatnya.

***

Bertahun-tahun lamanya, peristiwa itu terus berlangsung. Para maling tumbuh silih berganti. Ibaratnya, mati satu tumbuhlah seribu.

Tidak hanya itu, kota Suka Maju yang menjadi sasaran pencurian, kini malah membuka diri untuk dijarah. Pintu gerbang yang dulu dikunci rapat-rapat kini dibiarkan terbuka lebar. Rumah-rumah elit, toko, bank, mal, pasar, plaza, atm, sengaja tidak dijaga agar para maling mudah menjarah harta benda.

Pak Lurah dan pejabat AMD membiarkan para maling membagikan hasil jarahan ke kampung Suka Miskin. Papan nama, spanduk, baliho, poster bertuliskan: Galakan ‘Anti Maling Dermawan!’ diturunkan. Pejabat keamanan kota bayak yang menjadi beking para maling. Orang-orang kampung yang kontra, kini malah mau menerima hasil jarahan para maling. Alasannya sederhana, “Kalau mereka ikhlas memberi, kenapa kita harus menolaknya,” kata si Hidung Pesek.

Bahkan kini ruang jarahan para maling semakin luas. Para maling itu bisa menjelma menjadi apa saja. Pada suatu waktu, mereka bisa menjadi direktur perusahaan, sejam kemudian mereka menjadi manager bank atau menjadi salahsatu direktur perusahaan milik pemerintah kota.

Ketika makan siang ia bisa menjadi pialang saham. Sambil mencukil slilit mereka bisa menjadi anggota dewan, politikus, ketua lembaga swadaya, menteri, bahkan kalau dikehendaki mereka bisa jadi presiden.

***

Sejak dibebaskan seluruh kota dijarah, para maling malah kebingungan mencari sasaran jarahannya. Seluruh penduduk kampung Suka Miskinpun sudah pandai mencuri. Bahkan diantara mereka sudah jamak saling mencuri dan membagikan hasil curiannya kepada sesama pencuri sekalipun.

“Kini kita tidak perlu lagi malu-malu mencuri,” kata Kang Rebin

“Siiippp. Apa kau sudah mencuri hari ini,” jawab Giono.

“Tentu sudah!”

“Wow…keren!” teriak orang-orang kampung sambil mempertontonkan hasil jarahannya.

“Aku sudah mencuri…!” teriak Gaprak, mantan satpam perumahan elit.

“Apa yang kau curi hari ini?” seru kang Rebin.

“Aku mencuri televisi,” jawab Giono.

“Jancuk, itu kan televisiku,” seru Gaprak.

“Nah, itu kan juga mesin cuciku!” sahut Giono.

“Haaaa…haaaa…hhhaaaa…!” Mereka tertawa bersama-sama.

“Haiiii…itu istriku!” teriak Juki, sambil mengejar Sugik yang menggondol istrinya.

“Kembalikan dulu istriku, nanti kita tukeran,” teriak Sugik disambut gelak takwa orang-orang.

Sejak mencuri dihalalkan dan menjadi maling dilegalkan kampung Suka Miskin menjadi lebih tenang. Kampung itu tidak lagi menjadi sasaran tuduhan sebagai sarang maling. Penduduk kota pun juga menjadi tenang, karena pencurian yang terjadi di kotanya, dilakukan atas dasar suka sama suka atau mau sama mau.

“Sesama maling dilarang mendahului,” seru Dakram, disambut tertawa ngakak orang-orang kampung.

“Malinglah aku, kau ku maling,” sahut Misnadi.

“Begitu saja kok repot!” sela sebuah suara yang akrab di telinga.

Orang-orang seluruh kota dan seluruh kampung tertawa. Tertawa riang sekali!

Surabaya, 2011

Biodata: Rakhmat Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Pernah mengajar seni drama di almamaternya selama setahun. Tetapi kemudian dia lebih memilih ‘mengajar’ teater di Sanggar Teater Institut Unesa, sembari memberikan workshop kepada para guru pengajar seni budaya dan pelatih teater di SMP dan SMA.
Selain bergiat di teater ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Suara Indonesia, Bende, Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah Budaya Kidung, dll.
Kumpulan cerpennya : Mimpi Jakarta (2006), Dongeng Negeri Lumut (2011)
Kumpulan naskah dramanya : Orde Mimpi (2009), Dewa Mabuk (2010)
Puisinya terkumpul dalam antologi bersama: Luka Waktu (DKJT, 1998), Malsasa (Malam Sastra Surabaya, 2005-2010), Duka Atjeh, Duka Kita Bersama (DKJT, 2005)