Memantik Sastra, Membangkitkan Bangsa

Judul Buku : Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, November 2009
Isi : xxiv + 184 Halaman
ISBN : 978-979-709-452-2
Peresensi : Yasser Arafat
http://waspadamedan.com/

Sastra itu bukan racauan cenayang. Sastra adalah tabiat melek kebenaran, adab celik kebudayaan. Ia bertunas dari kesudian untuk mencari kebenaran dalam tindak membaca, menulis, dan mencipta. Sebagai gerakan, sastra mewujud dalam tindakan kolektif untuk berbahasa satu; bahasa kebenaran. Bukan bahasa politik kekuasaan. Bukan bahasa ekonomi keuntungan. Ingin bangkit? Bersastralah!

Itulah sari buku kompilasi tujuh esai karya Yudi Latif ini. Esai Kebangkitan dan Sastra (hal. 1-26) membahas sastra dan sosio-historisitas bangsa Indonesia. Esai-esai lainnya; Mendekatkan Teknologi Pada Puisi (hal. 27-62), Politik dan Sastra: Dekat Tanpa Melekat (hal. 63-76), Pendidikan Karakter & Sastra (hal. 77-96), Religio-Sosialitas & Sastra: Manifesto Religiositas Pujangga Tua (hal. 97-114), Spiritualitas & Sastra (hal. 115-134), Prasyarat Budaya Kebangkitan (hal. 135-160), masing-masing menelisik persenyawaan antara sastra dan teknologi, politik, pendidikan, religio-sosialitas, spiritualitas, dan etos kebangkitan.

Ada banyak pengulangan kata-kalimat dan teori di semua bahasan buku ini. Sebiji kata puisi pun tak ada termaktub di dalam esai Mendekatkan Teknologi Pada Puisi. Namun, penulis yang layak digelari sang ?aksiolog sastra? ini mampu memoles raut lemah itu dengan telusurannya ihwal sastra sebagai asal mula semua gala.

Memang, sastra, yang diragakan dalam kata dan buku, adalah ibu peradaban dunia. Peradaban modern ditonggaki oleh kata Cogito Ergo Sum-nya Rene Descartes. Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme, masing-masing dipahat oleh buku The Wealth of Nation-nya Adam Smith dan Das Kapital-nya Karl Marx. Bahkan alam semesta ini diasal-usuli oleh kata-mantra Kun! (Jadilah!)-nya Allah SWT.

Kejatuhan Karakter

Meski dunia mengguguskan Indonesia sebagai negara yang lulus berdemokrasi dan jaya memapas krisis ekonomi, tapi pengamat politik yang belakangan ini rajin berdemonstrasi mengatakan kalau sebenarnya bangsa Indonesia sedang mengalami kejatuhan karakter. Sewabah penyakit sejarah yang lebih destruktif dari hanya sekedar pemakzulan Presiden atau naiknya harga Sembako.

Tak perlu sensus opini publik untuk mengiyakan tesis itu. Cermatilah kata-kata; fitnah, Buaya, Cicak, kriminalisasi, koalisi, markus, adu domba, bangsat, Setan, Kambing Hitam, Kerbau, dan sebagainya yang kini menjadi ?bahasa pemersatu? kita! Tiliklah papan reklame (billboard) atau spanduk berisi rayuan iklan komersial dan hasutan tokoh politik yang mengkolonisasi ruang publik kita! Lalu tengoklah pusat kota yang disarati oleh panah penunjuk arah menuju arena perbelanjaan dan tempat rekreasi, bukan menuju museum atau perpustakaan!

Dari dalil bahasanya, mental bangsa ini terasa frustatif, rusuh, dan hewani. Dari fakta ruang publiknya, sosialitas bangsa ini tampak pragmatis dan hedonis. Inilah kejatuhan karakter itu! Pastilah sastra telah mati di dalam pikiran dan keberaksaraan bangsa besar ini (hal. 22).

Padahal, Indonesia lahir dari rahim gerakan berbasis kesastraan. Untuk menggangsir kolonialisme, sastralah yang dipakai oleh Soekarno, Sjahrir, Hatta, dan para bangsawan pikiran lainnya. Dengan keahlian bersastra, mereka menyuarakan isu kesetaraan, kemajuan pendidikan, modernisasi, keberhasilan hidup, dan kehormatan bangsa dalam kata; kemadjoean (hal. 5).

Puisi, jurnal, naskah drama, buku, bahkan pledoi dan pekik merdeka adalah bahasa dan isi ruang publik masa itu. Tak galat jika sastrawan Radhar Panca Dahana dalam kata pengantarnya menjuluki Indonesia sebagai anak revolusi kata. Hindia-Belanda, nama yang ditabalkan oleh pemerintah Belanda, diganti oleh generasi Soekarno dengan kata Indonesische.

Agar tak dicemari oleh ?sastra kolonial?, Indonesische pun diubah oleh para penggila buku itu menjadi Indonesia (hal. 14). Sejak itu, kata Indonesia menjadi ekor nama semua perhimpunan-pergerakan nusantara. Pada 28 Oktober 1928, dalam Sumpah Pemuda, Indonesia mengabadi.

Meremajakan Indonesia

Sayangnya, kini di tlatah nuswantara ini, tempat duduk sastra cuma ada di ruang ketang. Sastra semestinya menjadi pelajaran wajib di sekolah untuk membentuk karakter peserta didik. Namun, menurut Putu Wijaya dalam epilog buku ini, sastra justru hanya menjadi penumpang gelap dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Guru-gurunya -yang notabene cabutan dari disiplin lain- cuma mengajarkan sastra di sekitar tahun kelahiran dan kematian pengarang saja. Sementara elemen utama dalam pendidikan karakter; apresiasi sastra/buku, mengarang, dan merangkai kata, dilupakan (hal. 84).

Produk pendidikan tuna sastra, wangsa mati pikir cum risih rasa -yang oleh Taufik Ismail disebut generasi nol buku- itulah yang kini menjadi punggawa negeri hampir di semua lini. Di antara mereka ada abdi hukum yang cuma berani pada Nenek Minah tapi di saat yang sama takut pada Anggodo Wijoyo.

Ada akademisi atau sarjana yang karena tak mampu mengarang, tak cakap bersastra, lalu menjadi plagiator karya ilmiah. Ada eksekutif yang boros mengucurkan anggaran negara demi tegaknya patung Barrack H. Obama, tapi pelit untuk merawat museum, membenahi perpustakaan, dan merestorasi situs-situs (pra)sejarah.

Kejatuhan karakter ini tak boleh terus mewabah. Indonesia harus ditemukan kembali dan diremajakan (hal. 155). Sastra mesti dipantik lagi sebagai gerakan kebangkitan. Dengan bersastra, kebenaran akan menjadi bahasa bersama. Sebab ia pasti terus dicari, ditemukan, lalu dipertanyakan ulang baik melalui buku, penelitian, atau hanya sebaris puisi.

Dengan bersastra pula, bangsa ini akan mengerti sangkan paraning Indonesia. Kapan Indonesia diciptakan, bagaimana kabarnya sekarang, untuk apa ia dibela, serta bagaimana kelangsungan dunia ini dengan atau tanpanya.

Intelektual, politisi, dan birokrat yang bersastra adalah mereka yang mau menziarahi kebenaran dalam sejarah, kebudayaan, dan kemanusiaan. Mereka tidak segan untuk melahap modernitas tanpa menelan ekonomisme, proseduralisme demokrasi, positivisme hukum, dan instrumentalisme nalarnya. Mereka tak silau pada lelatu kebenaran dari hikayat I La Galigo-nya orang Bugis, Serat Kalatidha-nya R. Ng. Ronggowarsito, Demokrasi Kita-nya Bung Hatta, Tetralogi Pulau Buru-nya Pramudya Ananta Toer, sajak pamfletnya WS Rendra, bahkan Membongkar Gurita Cikeas-nya George Junus Aditjondro.

Itulah sastra. Memantik sastra adalah jalan membangkitkan bangsa. Lalu buku adalah sesuatu yang harus dibela. Tak ada sastra tanpa buku. Sebagaimana tak ada buku tanpa sastra. Maka kepal perlawanan pada rezim yang mensahihkan pembredelan buku adalah suatu keharusan. Selain bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945, ke(tidak)bijakan itu juga telah mengingkari perintah Tuhan tentang kesemestian bersastra dalam laku kebebasan beraksara (QS: 96: 1): Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. ***

Yasser Arafat adalah Pegiat Komunitas ?macakata? Medan.