A. Iwan Kapit
Menelusuri detil-detil cerita yang berkelindan dalam Tarian di Ranjang Kyai yang ditulis Yan Zavin Aundjand, membuat saya kembali mengingat memori usang masa kecil tentang pengalaman hidup yang singkat di Madura. Ada 2 kota yang sempat saya singgahi sejenak; Pamekasan dan Sampang. Kenapa sejenak? Karena tugas yang diemban orang tua saya pun tak berlangsung lama di tanah garam ini. Dalam rentang masa yang singkat tersebut saya masih menyimpan sekelumit ingatan dan potret tentang Madura. Udara panas, sapi coklat, masjid atau mushola yang selalu bermenara, kerupuk besar, sate lalat, soto, tempat wisata api abadi, tanah merah, bukit-bukit tandus, hutan-hutan bakau dan pantai di pinggir jalan, kamar pasir, bahasa serta dialek lokal yang sulit saya pahami dan kadang membuat saya tertawa karena merasa terasing.
Sebelum kami berpindah ke Madura, beberapa sanak famili dan tetangga santer berpesan supaya kami berhati-hati kalau hidup di Madura. Menurut desas-desus yang mereka dengar orang Madura itu beringas, mudah emosi, dan jangan sampe berurusan yang neko-neko dengan mereka. Bisa-bisa nanti diclurit atau disantet karena Madura terkenal dengan caroknya. Namun, hal itu tidak kami gubris. Terbukti selama bermukim di sana kami baik-baik saja. Orang tua saya berpikiran enteng. Selama kita bersikap santun dalam berhubungan dengan orang lain tentu orang lain akan bersikap baik pula. Tak peduli di mana pun tempat dan karakter sosialnya.
Dengan waktu yang singkat itu pun, tidak mampu bagi saya untuk mengenal lebih jauh dinamika sosial yang ada. Terlebih gambaran tentang adat, budaya, dan corak sosial pedesaannya. Benarkah bahwa desas-desus tentang orang Madura seperti apa yang digambarkan beberapa sanak famili dan tetangga dulu nyata adanya?
Hingga suatu waktu dengan perlahan saya memahami Madura ketika membaca Orang Madura Tak Mati Lagi: Roman Sapi dan Wanita yang ditulis Edi AH Iyubenu. Dalam roman tersebut digambarkan bagaimana sapi kerapan merupakan simbol kemuliaan orang Madura selain tembakau dan tanah. Semakin juara sapi yang dimiliki semakin agung pula pemiliknya. Roman ini berkisah tentang seorang janda kaya yang bernama Mariam. Ia diwarisi sepasang sapi kerapan yang bergelar Ponca Langgik(Puncak Langit). Di setiap perhelatan lomba kerapan sapi yang sangat bergensi, Ponca Langgik selalu tampil menjadi juara. Kemenangan demi kemenangan tersebut ternyata membuat Mariam menjadi tandak, simpanan banyak lelaki. Gambaran tokoh Mariam dengan seluk beluk kehidupan sosial serta percintaannya di roman ini membuat saya sedikit demi sedikit mengerti kultur Madura.
Pemahaman saya pun semakin bertambah ketika menamatkan Tarian di Ranjang Kyai ini. Bagaimana tradisi merantau menjadi kebiasan warga desa yang ingin memperbaiki kehidupan ekonominya. Bias gender yang secara tidak langsung sama-sama menindas kaum lelaki dan perempuan. Minimnya pendidikan masyarakat. Banyaknya pernikahan usia muda. Pendewaan terhadap tokoh agama yang berlebih karena dianggap sebagai sosok yang berpengetahuan luas dan tidak pernah salah. Walaupun terkadang bila melakukan perbuatan yang melenceng masih ada pembenaran dari masyarakat. Tradisi carok demi mempertahankan harga diri. Serta tradisi mistik yang masih langgeng. Semua itu tergambar dengan begitu jelas. Melengkapi sekelumit ingatan dan potret yang singkat tentang Madura yang telah lama terserak tak keruan.
Membaca novel ini, selain memberikan gambaran jelas tentang lokalitas ke-Madura-an, juga memberikan kesan yang dramatis, getir, dan tragis. Melalui tokoh Misnadi penulis langsung menohokkan kesan tersebut di awal cerita;
Kini, seorang Misnadi melakukan perantauan dari desanya, desa Sare ke Kalimantan, dengan berharap banyak suatu saat dia akan membahagiakan istri dan anaknya dengan hasil kerjanya di perantauan. Padahal, di tempat perantauan itu dia hanya jadi koli bangunan, itupun kalau ada yang membutuhkan tenaganya. Kadang juga ikut pemulung yang lagi beroperasi di lokasi sampah-sampah kota. Hasilnya pun hanya cukup untuk bisa menutupi lubang perutnya sehari-hari. (hal 2)
Hal yang serupa pun tergambar melalui tokoh Nisa’. Istri Misnadi yang sering uring-uringan karena merasa tak pernah tercukupi kebutuhannya. Tiap hari selalu ada saja yang diributkan. Namun, pada satu sisi, ia pun butuh perhatian yang lebih dari Misnadi. Terlebih ketika ia dihadapkan pada kenyataan pahit tentang kepergian suaminya selama beberapa tahun tanpa kabar dan tak seorangpun tahu keberadaannya. Di sini kita seakan dibawa larut dalam kesedihan yang dialami Nisa’;
Di dalam kaca itu kadang ia tersenyum dan kadang merasa kesal. Senyumnya, karena dia sudah ditakdirkan sempurna menurut pandangan kaum lelaki, tapi apa yang membuat Misnadi tak memberikan kasih sayang dengan sepenuh hati. Sebagai seorang istri dia merasa ditelantarkan dari belaian kasih sayang seorang suami, ditinggal pergi dan belum kembali. (hal 31)
Begitu gamblangnya penuturan cerita demi cerita bisa jadi karena kisah ini adalah sebuah folklor yang terjadi di desa tempat tinggal penulis atau wilayah di sekitarnya yang secara geografis dan sosiologis tidak terlampau jauh. Hingga menjadi satu dongeng yang terus melekat dalam benak masyarakatnya. Pun konflik-konflik yang ditampilkan sungguh kental sekali corak lokalitasnya sehingga membuatnya memikat. Lihat saja bagaimana cara Hosen mempengaruhi emosi Misnadi yang akhirnya justru semakin menjerumuskan kehidupannya.
”Kamu harus berani, Lek, mengambil keputusan. Kalau kata sesepuh-sesepuh kita, sebagai lelaki masalahmu ini sudah menyangkut harga diri. Ingatlah, kamu lahir dengan suara laki-laki, bukan suara perempuan…”
”…kalau kamu tidak punya apa-apa, di sini banyak. Kamu tinggal pilih, kamu mau bawa celurit, pedang, tombak, atau apa?…” (hal 116:118).
Begitu pula ketika sosok Misnadi ketika tiba-tiba berubah drastis menjadi sosok yang berangasan. Memimpin preman-preman untuk aksi kriminal. Begundal yang paling ditakuti namun tetap segan dengan sosok kyai. Di sinilah menurut saya salah satu kekuatan novel ini. Penampilan karakter yang bisa berubah dengan natural.
Tetapi sayang, beberapa ganjalan-ganjalan dalam menelusuri kelindan cerita di novel ini pun tidak sedikit saya temui. Pertama, yang membuat saya merasa kurang puas adalah detil penggambaran alam pedesaan yang menjadi setting cerita. Mungkin karena terlalu asyiknya menggambarkan karakter tokoh, penulis terlihat abai dalam menampilkan detil kondisi geografis desa. Sehingga pembaca kurang mampu menangkap bagaimana rupa desa hunian tokoh-tokoh dalam novel ini. Kedua, dari setting waktu cerita yang terlihat saling bertabrakan. Penulis begitu acak memberikan informasi waktu antara masa-masa sebelum, pada saat, serta sesudah perantauan tokoh Misnadi. Pada satu bab ia jelas memberikan info waktu, namun pada bab yang lain ia tidak konsisten. Akibatnya terjadi pengulangan-pengulangan informasi yang membuat sebagian cerita terasa membosan kan. Hal ini bisa kita ketahui pada narasi-narasi awal antara tokoh Misnadi dan Nisa’.
Ketiga, porsi suguhan klimaks yang sangat singkat dan kurang memikat. Hanya digam barkan bagaimana tokoh Nisa’ yang telah hamil selama 16 tahun(benar-benar keajaiban waktu di luar nalar yang sangat ‘mencengangkan’ bagi proses kehamilan seorang perempuan) tiba-tiba meninggal dunia karena kehamilannya tanpa sempat bertemu dengan Misnadi. Lalu pondok pesantren yang dibakar massa serta dibunuhnya kyai Slamet yang tubuhnya diikat di kayu(bukan disalib seperti yang tertulis dalam pengantar dan cover belakang buku). Keempat, akhir cerita yang terkesan kurang menarik dan terlalu dipaksakan; lahirnya anak yang dikandung Nisa’ dalam kubur serta lora Iqbal yang bunuh diri.
Demikianlah, hingga akhirnya segala apa yang membuat saya merasa puas dan tidak puas, menarik dan tidak menarik, terhadap pembacaan novel ini tentu hanya menjadi salah satu dari sekian banyak alternatif sudut pandang penilaian pembaca. Hingga kemudian saya pun bisa berbagi dan mengajak para pembaca lain untuk menarikan tarian di ranjang kyai ini. Hingga nantinya lahir sudut pandang-sudut pandang penilaian yang lebih beragam.
Jambu – Kediri, Juli 2011
MAKALAH GELADAK SASTRA # 17 | BEDAH NOVEL: “TARIAN DI RANJANG KYAI”