Hasif Amini
Kompas, 5 Sep 2010
Kadang saya membayangkan puisi sebagai peristiwa ketika kata-kata berlibur. Ketika bahasa beristirahat sementara dari tugas rutinnya sebagai ”kurir” atau pembawa pesan dalam proses komunikasi.
Dalam pekerjaannya sehari-hari, bahasa menjadi alat atau perangkat yang sibuk melayani para penggunanya (kliennya? tuannya?) untuk beragam keperluan. Di setiap ruang rapat atau ruang sidang, ruang kelas, laboratorium, rumah sakit, kantor berita, kedai kopi, toko serba ada, pasar ikan, pasar burung, ataupun pasar saham di pelbagai penjuru dunia, bahasa adalah instrumen komunikasi yang dipakai terus-menerus. Dan, tampaknya ia (sering) tak dibayar.
Ada saat bekerja, (mestinya) ada saat berlibur. Dalam liburan bahasa, kata-kata dan lain-lain anggota bahasa bisa melakukan aneka macam laku penyegaran diri. Tidur dan bermimpi. Bertamasya. Bercengkerama. Bernyanyi. Bergoyang. Memancing. Menyelam. Meneropong langit malam. Berziarah. Berkebun. Berpesta. Berolahraga. Bermeditasi. Dipijat. Berleha-leha.
Kata-kata ”berolahraga”, kemudian ”dipijat”? Tanda baca ”berleha-leha”? Tata bahasa ”tidur dan bermimpi”? Atau ”bertamasya”? Tentu sesuai kehendak dan kesukaan masing-masing. Atau karena manusia si pengguna bahasa memberinya waktu libur, membiarkannya atau mengajaknya bersantai, berendam, mendaki gunung, bermain bola, berdansa, dan seterusnya.
Terbebas dari tugas rutin, bahasa punya kesempatan menengok ke dalam dirinya sendiri, menemukan kembali misteri atau fantasi yang terpendam oleh hiruk-pikuk di hari-hari kerjanya. Kata-kata bisa mencoba mendekati atau menyentuh sunyi yang melatari hidup mereka atau bertualang menjelajahi relung-relung goa purba yang gelap. Tanda baca bisa bermain sulap, berjingkat-jingkat, bersembunyi. Gramatika bisa mengendurkan otot-ototnya, menekuk dan meregang persendiannya, merasakan aliran darah di dalam sekujur tubuhnya.
Tentu ada pula kemungkinan bahwa di saat-saat libur atau istirahat (yakni dalam puisi), bahasa terus saja bekerja keras menyampaikan pesan ini-itu. Barangkali ada kata-kata dan rekan-rekannya sesama anggota bahasa yang memang gila kerja dan tak kenal waktu ataupun lesu. Boleh juga, paling tidak sampai penyakit mematikan datang mendadak dan memagut.
Tetapi, kadang saya membayangkan seandainya bahasa bisa terus bekerja sekaligus bermain, memikul tugas seraya mematut diri, dari waktu ke waktu, atau sepanjang waktu. Alangkah ajaib. Atau alangkah aneh, barangkali. Manakala puisi sepenuhnya meresap ke dalam laku berbahasa sehari-hari, hadir dengan anggun, tenang, wajar, dan tak lagi dikenali sebagai puisi.
Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=178240602231273&comments