Paradoks

Eko Endarmoko
koran Tempo, 18 Sep 2009

Kata frustrasi sering benar kita temukan keliru ditulis (atau dilafalkan) menjadifrustasi, sebagaimana kata mengubah juga secara salah ditulis (atau dibunyikan) merubah atau merobah. Tentu saja kita tahu, yang betul adalah frustrasi, bukanfrustasi; dan mengubah, bukan merubah/ merobah. Kata frustrasi adalah serapan dari bahasa Inggris frustration, dan sejak semula bahasa Inggris tidak menuliskannya frustation. Kita juga dapat gampang memastikan, yang benar adalah mengubah, bukan merubah/merobah sebab bentuk itu bermula dari kata “ubah”, bukan “rubah”/”robah”, yang memperoleh imbuhan “me”.

Jadi, apa soalnya? Sepintas kilas kelihatannya tidak ada yang sungguh mengganggu, sebab kasus itulah yang disebut salah kaprah -satu soal yang boleh dibilang “lumrah” belaka dan tidak dengan serta merta mengganggu komunikasi. Apakah gejala yang dekat dengan anomali ini mengganggu atau tidak dalam sebuah proses komunikasi, saya tidak tahu persis. Tapi, inilah yang ingin saya sebut sebagai paradoks dalam berbahasa.

Adakah perbedaan apakah sebuah kata ditulis frustrasi atau frustasi?; mengubahatau merubah/merobah? Juga apabila sebuah kata yang seharusnya ditulis dengan menggunakan huruf awal kapital, tapi ditulis dengan huruf kecil -atau sebaliknya. Apakah ada beda pemaknaan pada kedua cara ungkap tersebut? Jawabnya pasti amatlah gampang: Tak ada beda alias sama belaka, idem ditto. Atau dengan lain perkataan, meskipun di sini kaidah bahasa diabaikan, proses komunikasi tidak menjadi terganggu.

Kedua varian pada pasangan-pasangan kata tersebut, dalam tindak berbahasa cukup kerap dipakai berganti-ganti dengan sesuka hati. Boleh jadi tidak banyak pengguna bahasa, dalam hal ini penutur dan lawan bicaranya, yang sungguh-sungguh peduli terhadap soal itu. Tidak penting, rasanya, bagi banyak orang itu, entah ditulis frustrasi atau frustasi, mengubah atau merubah/merobah. Atau dalam bahasa anak muda sekarang yang gemagah: “Kalau saya mau pakaifrustasi dan merubah, lalu kenapa?!” Tampaknya di sini berlaku asas yang sudah kita mafhumi itu: yang penting bisa dimengerti, artinya, betapapun pesan toh sampai ke sasaran.

Justru di situlah letak paradoks yang saya maksud. Para penulis dan terutama penyunting, termasuk kita dan para pengguna bahasa umumnya, yang sudah “berjerih payah” menyelaras-nyelaraskan bahasa yang dipakai dengan menuruti ketentuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar boleh jadi merasa kecewa dan gemas, sebab, cakrawala harapan mereka dan kita dalam berbahasa berbeda dari, bahkan sering bertolak belakang dengan, penerimaan dari sudut pembaca atau lawan bicara yang kebanyakan tak peduli tadi. Pada tataran ini jugalah kita bisa berbicara tentang sesuatu yang “mengganggu”. Mengganggu dalam arti, satu pihak merasa seperti bertepuk sebelah tangan di mana dalam sebuah proses komunikasi pihak A dan B tidak menempati posisi yang setimbang. Sebagai paradoks, gejala mendua seperti itu tampaknya lebih mudah kita dapati pada ragam bahasa tulis. (Tak terbayangkan, bukan, bila seseorang sesekali mesti menyebut bahwa kata-kata tertentu dalam ujarannya memakai huruf besar?)

Gejala yang di atas saya katakan dekat dengan anomali ini seakan-akan menghadapkan kita pada semacam kesia-siaan tersebab oleh ketiadaan, tepatnya penafian aturan-aturan bahasa. Saya sebut “paradoks”, sebab di satu sisi, ada desakan yang cukup kuat terhadap para pemakai bahasa (tulis) agar senantiasa waspada betul terhadap rambu-rambu kebahasaan. Namun pada saat yang sama, kewaspadaan dia itu tidak ditanggapi secara sepadan, tidak punya daya yang cukup untuk meyakinkan bahwa inilah bentuk yang patut dibangun, dan kemudian diteladani. Maka untuk apa sebetulnya kita bersikukuh, mengotot, mendesak-desakkan sikap normatif? Buat apa pula berpayah-payah menyelenggarakan tata kata, tata kalimat, dan tata bahasa yang tertib?

***

Bahasa ยป