Igk Tribana
http://www.balipost.co.id/
HUT ke-59 Kemerdekaan RI baru saja lewat. Tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia tentu karena pengorbanan para pahlawannya. Jiwanya dikorbankan demi kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan. Ketika para kesuma bangsa ini berjuang, tidaklah terbetik dalam jiwanya untuk mendapatkan tanda jasa apalagi imbalan berupa materi. Perjuangan dilakukan murni untuk melepaskan bangsa ini dari penjajah. Karena itu, semua warga wajib menghargai jasa para pahlawan seperti kata orang bijak, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
DI mata sastrawan, jasa para pahlawan dikongkretkan lagi dalam sebuah karya sehingga bisa membangkitkan semagnat nasionalisme pada penikmatnya. Katakanlah karya-karya Chairil Anwar, ”Diponegoro, Kerawang Bekasi” telah dapat membangkitkan semangat untuk membela tanah air. Pun beberapa sastrawan yang lain telah banyak pula mengangkat keheroikan para pahlawan yang menjadi kesuma bangsa. Namun, di antara deretan para kesuma bangsa itu masih bisa dihitung dengan jari tangan sosok wanita pahlawan yang diangkat.
Sesungguhnya figur wanita tidak dapat dipandang sebelah mata dalam peperangan. Misalnya, jika saja Srikandi tidak ikut dalam perang besar (cerita Mahabharata), pihak Pandawa tidak akan bisa mengalahkan Kurawa karena begitu sakitnya Bisma yang menjadi panglima perang. Tanpa Srikandi, Arjuna tidak bisa berbuat banyak sebab Bisma punya kesaktian tanpa tandingan. Begitu pulalah perang kemerdekaan pada bangsa Indonesia, pastilah jasa wanita pahlawan memberikan andil yang sangat besar, sekurang-kurangnya memberikan semangat kepada sang suami yang akan terjun ke dalam kancah peperangan.
Sagung Wah, telah tercatat sebagai Srikandi yang gagah berani ketika mengusir Belanda dari Bali. Tampaknya kepahlawanan Sagung Wah menjadi motivasi pahlawan-pahlawan yang gagah berani pada generasi berikutnya, entahlah pria atau wanita. Kepahlwanan Sagung Wah telah diapresiasi oleh para sastrawan kelahiran Bali. Putu Wijaya, dalam cerpennya yang berjudul ”Kartini” (buku ”Kumpulan Cerpen Bali”, 2004) telah mensejajarkan Sagung Wah dengan Cut Nya Dhien. Kemudian sastrawan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (1996) telah menuangkan dalam bentuk puisi berbahasa Bali sosok wanita pahlawan itu. Potret kepahlawanan Sagung Wah pun tampaknya lebih kongkret dalam puisi-baca buku ”Sagung Wah”, terbitan Majalah Canang Sari (2002).
***
Berbicara masalah sosok Sagung Wah, memang beberapa waktu yang lalu sempat menjadi polemik di media massa. Namun, tulisan ini bukan soal polemik itu, melainkan bagaimana potret heroik (kepahlawanan) Sagung Wah dalam sebuah karya sastra khususnya karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Sebagai generasi yang menghargai jiwa kepahlawanan, kita berhak untuk mengapresinya walau dengan kemampuan yang terbatas. Bagi masyarakat Bali, kepahlawanan Sagung Wah lebih tepat didiskusikan — pada konteks kekinian — sehingga diketahui bahwa wanita Bali pun tidak kalah gagah beraninya dengan wanita lain di nusantara ini.
Samar Gantang menulis puisi yang berjudul ”Sagung Wah” (puisi berbahasa Bali) tampaknya beda dengan karya Samar Gantang yang lain. Penulis puisi ”Sagung Wah” bukan semata penghargaan kepahlawanan versi ekspresi seorang penyair semata, melainkan berdasarkan sumber pustaka. Karena itu, kadar kebenaran fakta dalam karya sastra ini dapat dijadikan pegangan walau tidak seratus persen. Memang apa yang ada dalam karya sastra, misalnya latar sering kurang dapat dijadikan fakta dalam diskusi sejarah, apalagi berkait dengan keberadaan seorang tokoh yang patut dihargai jasanya. Jadi, karya Samar Gantang ini patut dijadikan bahan apresiasi sastra bernuansa sejarah perjuangan bangsa. Tampaknya karya Samar Gantang ini adalah fakta sejarah yang diramu dengan sentuhan rasa seni (sastra) sehingga enak dibaca. Persoalan serius (sikap menghargai jasa para pahlawan) yang disajikan dengan memikat dapat menjadi enak dinikmati oleh generasi penerus. Di dunia pendidikan sering persoalan serius (dalam pelajaran sejarah) dihapal begitu saja atau diingat untuk ujian semata. Idealnya, sikap menghargai jasa para pahlawan menjadi materi pelajaran yang tidak perlu dihapal, melainkan dihayati sehingga tumbuh penghargaan terhadap sikap kepahlawanan. Apa yang ditulis oleh Samar Gantang tampaknya dapat dijadikan bahan kajian bahwa wanita Bali berperan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia khususnya di Bali.
Puisi ”Sagung Wah” berkisah tentang kesombongan Belanda yang ingin menguasai Bali khususnya Tabanan. Diawali dengan kisah kedatangan Corle de Houtman dan Keyzer untuk menguasai Bali (tahun 1817) dari utara. Kedatangan ini disertai oleh Van Den Broek, Van Roes, Lt Lotze. Tahun 1824 didatangi oleh Pangeran Sahid Hasan al Habeschi. Kedatangan mereka yang berpura-pura berdagang ini telah diketahui. Utusan Belanda terus berlanjut tahun demi tahun untuk menundukkan Bali (termasuk Tabanan) dengan berbagai cara.
Namun, semua itu dihadapi dengan sikap gagah berani lewat peperangan. Dengan kondisi peralatan perang yang seadanya pastilah tidak mampu mengimbangi meriam-meriam pihak Belanda. Akhirnya, pada 28 September 1906 Tabanan runtuh. Kala itu Sagung Wah tampil melawan pihak Belanda yang ingin menjajah. Ia menggalang pasukan sekaligus menghunus Pusaka Watu Karu. Beserta pasukannya dari Wongaya, Jati Luwih, Sangketan, Bongli, Tegayang Tegal Linggah, Cangkup, Rejasa, Penatahan, Sagung Wah pantang menyerah. Terjadilah perang di utara Tuakilang. Pasukan Belanda kewalahan menghadapi pasukan Sagung Wah. Namun, pada perang berikutnya dengan peralatan perang yang tidak seimbang akhirnya Sagung Wah ditawan di Pura Manik Selaka Dauh Pala, selanjutnya dibawa ke Lombok.
***
Keberanian Sagung Wah telah memberi kobaran api semangat untuk berjuang demi kemerdekaan bangsa. Begitulah, tanah air ini direbut dengan pengorbanan yang sangat besar dari para kesuma bangsa. Semogalah sikap gagah berani Sagung Wah menjadi pengobar bagi generasi penerus khususnya para pemimpin bangsa dalam mengatur jalannya pemerintah sekarang ini, bukan sebaliknya mengeruk keuntungan untuk pribadi atau kelompok dari kekayaan tanah air ini.
22 Agustus 2004