Saut Situmorang: Ngotobiografi Lewat Puisi? (2)

Wawan Eko Yulianto *

Pertama adalah sajak-sajak di bawah sub judul “cinta”. Ya, sebenarnya pada bagian ini sajak-sajaknya bukan cuman saja cinta. Mungkin, kalau boleh dikasih sub judul yang lebih merangkul, saya akan menyarankan “otobiografi” karena dari penandaan tingkat sekian kita akan menemukan cukup banyak informasi tentang kedirian si penyair (hehehe… tapi what’s in a subtitle? yang penting bagian itu berisi sajak-sajak yang lahir dari luapan kata hati nan murni yang tanpa kepentingan politik apapun, tak ingin mengungkapkan protes, tak ingin mencari duit, hanya kata hati … dan kebayakan dilandasi cinta, weissss…).

Dari puisi-puisi awal seperti “Tidurlah Cicak”, “Sajak Cicak”, “Boraspati”, kita akan bisa melihat dengan gamblang kalau Saut adalah jenis penyair yang sangat menggemari musikalitas puisi. Sajak pertama dan kedua yang saya sebutkan di atas sangat kentara sekali bermusiknya, kata-kata diulang-ulang dengan nyaman, dsb. meskipun IMHO makna yang ditawarkan tidak terlalu mendalam, kecuali untuk “Sajak Cicak” yang salah tiga barisnya berbunyi “mengapa anjing ribut tadi/menggonggong terus menggonggong/setelah membakar rumahmu”. Saat kali pertama baca sajak ini sih biasa-biasa saja, tapi setelah membaca sajak 1966 (dua versi, Inggris dan Indonesia) di mana salah tiga barisnya berbunyi “anjing-anjing setan gentayangan di jalanan/mendobrak rumah rumah/dan membunuh dan membunuh dan membunuh” saya jadi sadar, seperti yang dibilang di “Sajak Cicak” itu mengacu ke “anjing-anjing yang sama”. Musikalitas ini terasa pada banyak sajak Saut, meskipun tidak semuanya (oh ya, saya pertama kali mencurigai Saut suka musikalitas sajak saat baca esai pembuka “Tradisi dan Bakat Individu” yang dalam sebuah posting di satu milis dikatakannya sebagai kredonya itu, hehehe… esai nyambi kredo,:D ).

Satu hal lagi yang tampak jelas dari sajak-sajak Saut di bagian ini adalah KEBEBASANnya. Ada dua tingkat sih kebebasan dalam sajak-sajaknya: kebebasan di permukaan dan kebebasan di isinya.

Di permukaan, kita bisa jelas melihat betapa Saut dengan sangat bebas dalam menggunakan bahasa. Bahkan dalam sajak-sajak yang berbahasa Indonesia pun, seringkali Saut keceplosan mengeluarkan kata-kata bahasa Inggris. Dari situ, saya mensinyalir bahwa dia melakukannya asal kata itu dia rasa cocok dan bisa mewakili apa yang diinginkannya dan saat tiba-tiba keceplosan menggunakan bahasa Inggris, misalnya, seperti dia melakukannya karena kata yang berbahasa Inggris lebih bisa menghadirkan (bunyi) kata atau imaji (dua hal ini merupakan kegemaran Saut sebagaimana dia sebutkan dalam wawancara proses kreatifnya yang dimuat di majalah Imajio). Berbeda dengan GM (lagi-lagi GM, maklum lah, dia kan musuh politiksastranya bang Saut ini), yang suka membuatkan ejaan Indonesia untuk kata-kata berbahasa Inggris yang ingin dia selundupkan ke sajak-sajaknya (misalkan kata “rekes” atau “mineur” yang kali ini untuk mengepaskan dengan rima, atau kata-kata lain yang seringkali nyelempit di catatan pinggir), Saut lebih suka membiarkan kata-kata itu apa adanya. Lihat saja baris-baris ini: “ah, jangan menangis lagi kau untukku, francis!/do you like basketball, berangere?” atau “’maaf, pak, saya cari bemo saja’/thanks anyway, for my fucked up identity!” atau “menemaniku menyusuri/hangover gang gang Kuta-Legian”, “spring sudah tiba dan jarum kompas. Dan banyak lagi yang lainnya…

Kebebasan di permukaan lainnya adalah kebebasan Saut dalam memilih bentuk sajaknya. Ada kalanya sajak yang tercipta adalah sajak-sajak liris dengan bentuk standar, berrima di tempat-tempat yang semestinya, dst. dsb. Ada kalanya juga sajaknya bermain tipografi (contoh paling ekstrimnya adalah pada sajak “dongeng enggang matahari” [yang ini sangat mengingatkan pada sajak “cat” punya ee cummings] dan “sajak hujan”) di mana selain memberikan bahasa yang memaksa kita mengimajinasikan artinya, ada juga gambar ala kadarnya yang membantu mengarahkan imajinasi kita. Ada juga permainan tipografi yang dipakai tidak dalam keseluruhan sajak, hanya pada saat diinginkan saja, misalnya di sini:

“adalah kelopak mawar merah di atas meja
yang menetes
j
a
t
u
h”

Bisa juga kita temui sajak yang hanya terdiri dari satu kalimat “di kepalaku ada gempa”, tapi diulang-ulang teruuuuuus sampai 83 kali, seperti orang wiridan (sajaknya sendiri adalah doa, “bapa kami yang ada di sorga”), yang pastilah buat publik sastra Indonesia akan mengingatkan “tanah, tanah, tanah, tanah, dst.” dalam Adam Ma’rifat. Selain ini, silakan temukan juga bentuk-bentuk lain: berbentuk dua kolom, berbentuk rata tengah (diformat ctrl+e), atau bait-bait yang menjorok, atau kata-kata yang menjorok, yang mana, menurut saya, sangat dipengaruhi gerak hati si penyair sendiri.

Masih di tingkat permukaan, ada lagi kebebasan Saut mengutil-ngutil kata-kata dari sajak-sajak yang pernah dia baca, sepertinya tanpa pretensi. Mungkin ini hanya tuduhan semata, sementara ini saya baru lihat pada sajak “gondang gaib memukul mukul kelima indraKu” di mana ada “karena para pelacur menolak dibayar dengan sajak sajaknya/karena kemaluannya sendiri o bulan di atas kuburan”. Nah, semua orang kayaknya kenal “bulan di atas kuburan” Sitor yang baru saya sadar juga Situmorang. Atau, cobalah baca ini: “apalah arti sebuah batu/walau nisan/yang, mungkin, kan bertuliskan” yang pada awalnya dari karya sastra tapi sekarang sudah menjadi puisi mati. Atau sajak aku ingin yang, bukannya sendu nan bijak seperti aku inginnya pak Sapardi, malah berbunyi: “aku ingin mencintaiMu dengan membabi buta”. Sepertinya kesadaran sepenuhnya si penyair atas intertekstualitas bisa menjelaskan ini.

Demikian kebebasan permukaan si penyair. Sekarang kebebasan isinya:

Untuk kebebasan ini, sepertinya kita tidak perlu banyak-banyak bicara sebab, saya yakin, kita semua tahu sama tahu seperti apa kebebasan pandangan seorang seniman bohemian. Dia tak terlalu diberati oleh ada tidaknya Tuhan. Lihat saja betapa dia memainkan huruf kapital untuk Mu dan Ku yang, sebagaimana konvensi, hanya digunakan untuk mengacu kepada You-know-who, Dia, Allah, Tuhan. Di sini, saya mensinyalir bahwa yang mendapat kehormatan disebut dengan memakai huruf kapital adalah hal-hal atau orang-orang yang dia puja: kekasih, dirinya sendiri, botol bir, arak bali, dst. Bacalah “sentimentalia sebuah nama” yang diawali dengan baris pertama “selalu aku memberangkatkanMu/dengan puisi dan botol botol bir kosong”, atau “aku ingin kau mencintaiKu dengan membabi buta”, atau “aku tak mau Kau meninggalkanKU”. Ya, di situ ada puja kepada hal-hal lain, tapi tampak juga puja kepada dirinya sendiri. Hmmm…

Selain itu, sangat terasa juga nadanya yang selengekan. Mungkinkah seperti ini syair-syair generasi beat Amerika? Bahasa yang dipakai tak jauh-jauh dari bahasa sehari-hari yang bisa berbunyi kasar ataupun halus. Namun tetap saja, di sana-sini bahasa yang down-to-earth itu memunculkan imaji-imaji touchy seperti “airmata anak anak seperti gelas tumpah/sebuah sapu tangan putih/tak cukup/untuk mengeringkannya”

Keselengekanan Saut ini juga kelihatan dari betapa cueknya dia masukkan kata-kata secara manasuka. Atau, di sini bisa dibilang bahwa Saut percaya sama kejujuran bersajak yang meliputi pemilihan kata-kata. Atau lebih kongkrit lagi, Saut ini bukan model penyair yang repot-repot mencari kata-kata bahasa Melayu untuk menjadikan puisinya (seolah-olah) indah. Tak perlu lagi dia repot-repot menghadirkan kata “lindap” (:D), “sangsai”, “elan” atau apalah kata-kata melayu yang mengesankan kecantikan karena ketidakmudahdipahamiannya itu. Hehehe… Saut santai saja memakai imaji “ketombe yang luruh”, dsj. untuk mengungkapkan isi hatinya. Yah, sepertinya Saut senada dengan Mikael Johani dalam hal kejujuran ekspresi ini: kalau memang sekarang jamannya orang chatting, kenapa pula kita terus-menerus mengambil imaji “ilalang di tengah padang” yang sebenarnya tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari orang Jakarta, atau “masak jaman sekarang imaji-imajinya tetap ‘dahan, kayu, dst’”.

Nah, sementara begitu dulu. Tetap degan semangat yang sama (agak thrilling…dan biar blognya kelihatan diisi tiap hari), saya akan lanjutkan bagian ketiga ngimpi tentang Saut Situmorang. (to be continued…)
have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…

18 Feb 2008

*) Wawan Eko Yulianto, lulusan sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa penerbit: GPU, Jalasutra, Ufuk Press dan Banana Publisher. Aktif di Bengkel ImaJINASI dan OPUS 275.