Ahmad Zaini*
Aku tak mengerti apa yang diucapkan gadis yang berteduh di pendopo desa. Ia seperti meracau mengucap ke sana ke mari yang tidak jelas maksudnya. Dengan menahan hawa dingin aku hanya mendengarkan dan memperhatikan bibirnya mengucap yang ia suka. Kadang ia menangis, kadang ia tersenyum sendiri, kadang juga wajahnya mengekspresikan kemarahan pada seseorang.
“Maaf, Neng! Situ tidak apa-apa?” tanyaku.
Ia tak sedikit pun menoleh kepadaku. Ia terus meracau yang semakin tidak jelas maksudnya.
Bibir yang sejak tadi bergerak kulihat tampak semakin pucat. Rambutnya yang begitu rapi kini tampak basah oleh belaian butiran hujan yang tersapu angin. Tangannya mengepal terkadang disilang di dada. Tubuhnya menggigil kedinginan. Tas yang bergantung di pundaknya diletakkan di samping tubuhnya kemudian ia duduk bersandar pada tembok pendopo.
Hujan yang mengguyur bumi tak henti-henti. Kutatap langit masih hitam menggumpal dengan mendung yang bergelatungan di akar-akar langitnya. Kilat bersabung diiringi petir yang menggelegar. Hatiku semakin kecil karena aku hanya berdua dengan gadis yang terus meracau di pendopo.
“Neng, pakailah jaket ini!”
Ia melihat perlahan ketika kusodorkan jaket hitam untuk melindungi tubuhnya yang semakin menggigil. Tapi ia tak segera mengambil jaket yang kusodorkan itu. Kemudian aku perlahan menutupkan jaket ke tubuhnya yang duduk meringkuk bersandar di tembok pendopo desa.
“Neng, jangan engkau membuatku penasaran! Sebenarnya Neng itu siapa dan mau ke mana?”
“Herman! Awas kau!!” jawabnya dengan raut muka yang mendadak merah padam.
Aku semakin heran pada gadis ini. Antara pertanyaan dan jawaban tak berhubungan. Ia terus mengepal-ngepalkan tangannya seakan mengancam nama Herman yang diucapkannya tadi.
“Herman siapa?”
“Kurang ajar kau Herman! Kau telah menganiaya batinku hingga seperti ini. Silakan kau hidup dengan perempuan gatal itu. Tapi ingat aku tidak akan tinggal diam. Tunggu pembalasanku!!” ancamnya dengan suara yang semakin serak.
Aku mendengarkan dan selalu memperhatikan apa yang ia perbuat dan apa yang ia ucapkan. kalau mendengar apa yang diucapan sepertinya gadis ini adalah korban dari rasa cemburu pada kekasihnya. Ia mengalami depresi yang luar biasa hingga ia tak sadar dengan dirinya saat ini. Ia berkata seperti bukan kemauannya sendiri. Ia kuajak bicara juga tidak sambung.
Hari semakin petang namun hujan belum menunjukkan akan segera reda. Lampu-lampu di jalan depan pendopo juga sudah mulai menyala. Di jalanan juga sudah mulai sepi tak seperti tadi masih terlihat anak-anak dan para remaja desa itu berlari-lari sambil berhujan-hujan. Si gadis berdiri kemudian memandang ke atas. Ia lantas melemparkan jaket itu kepadaku lalu pergi tak mempedulikan hujan yang belum mereda.
“Neng, mau ke mana?” teriakku.
“Herman…! Aku datang…!”
Tak lama kemudian ia tak tampak di telan lebatnya hujan dan petang.
“Siapa dia? Aneh. Ia selalu memanggil-manggil nama Herman. Siapa dia sebenarnya. Dan ada hubungan apa dirinya dengan Herman?”
Suara hujan yang sejak tadi mengetuk atap pendopo desa terdengar semakin jarang. Tampaknya hujan akan segera reda. Jaket hitam kulit yang kupakaikan gadis tadi kemudian kupakai lagi. Telapak tanganku kujulurkan ke luar atap pendopo memastikan apakah hujan sudah benar-benar reda atau belum. Tetesan hujan masih mengenai tanganku tapi tidak sesering sewaktu gadis tadi masih di sini. Menunggu hujan benar-benar reda juga tidak pasti kapan redanya. Ah, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang saja.
Di tengah perjalan, penduduk desa berkerumun di pinggir jalan. Mereka seperti berebut melihat sesuatu. Aku berhenti dan ingin melihat apa yang sedang terjadi.
“Ada apa, Pak!”
“Mayat,” jawabnya.
Aku semakin penasaran. Kemudian kuterobos orang-orang yang bergerombol di pinggir jalan untuk bisa melihat mayat seperti yang dikatakan laki-laki tadi. Bau amis darah menyapa hidungku hingga perutku terasa mual. Kututup hidung dengan sapu tangan yang agak lembab terkena hujan. Dengan perasaan yang cemas kuperhatikan mayat yang tergeletak di pinggir jalan.
“Ya, Tuhan! Gadis itu,” ucapku kaget.
Para penduduk kemudian memperhatikanku semua.
“Apakah, Mas kenal dengan mayat ini?”
“Tidak. Tadi sewaktu hujan ia sempat berteduh di pendopo desa dengan saya,” jawabku.
Kemudian aku ceritakan semua kepada polisi yang datang di lokasi itu. Sikapnya yang aneh dan tidak bisa di ajak berkomunikasi.
“Ia selalu menyebut-nyebut nama Herman, Pak!”
Ketika kusebut nama Herman, para polisi yang menginterogasi saya seperti kaget.
“Ada apa, Pak?”
“Herman adalah pelaku pembunuhan mutilasi tiga hari yang lalu. Korbannya adalah seorang wanita yang diindikasi sebagai kekasih gelapnya. Hingga kini Herman masih menjadi buronan polisi. Dengan keterangan Anda tadi, kami menduga bahwa pembunuh gadis ini adalah orang yang sama yaitu Herman. Terima kasih atas keterangan Anda!”
“Sama-sama, Pak!”
Mayat gadis malang itu kemudian diangkat ke ambulance untuk diotopsi di rumah sakit. Para penduduk pun buyar meninggalkan tampat kejadian.
Dalam perjanalan pulang pikiranku masih terbayang gadis yang jadi korban pembunuhan itu. Wajahnya polos, cantik, dan lagi, ia suka meracau. Bau sedap parfumnya masih tercium dari jaket yang kukenakan ini. Kemudian aku teringat ketika ia menggigil kedinginan kubalut dengan jaket kemudian saat ia akan pergi, jaket ini dilemparkan begitu saja di pangkuanku. Tanpa ada ucapan terma kasih atau paling tidak kata pamit untuk pergi terlebih dulu.
Jujur saja ketika aku menatap mata sayunya hati ini tertarik untuk lebih mengenal dirinya. Namun apalah daya ia sulit diajak berkomunikasi. Bola mata yang sebenarnya bening yang kini tampak keruh, liar memandang sekitar. Sesekali aku melihat dirinya menatap diriku yang berdiri di sampingnya dengan pandangan tajam. Mungkin ia membayangkan diriku ini dengan lelaki yang selalu disebut-sebutnya itu.
Pagi harinya, pada halaman pertama surat kabar wajah gadis peracau tergambar dengan pose yang sangat menantang. Dalam headline surat kabar tersebut tertulis bahwa gadis itu adalah korban pembunuhan yang dilakukan oleh Herman, pamannya sendiri. Ia diberitakan bernama Selasih umur 25 tahun. Menurut pengakuan orang tuanya yang tertulis dalam berita, ia pergi dengan pamannya lima bulan yang lalu. Ia dijanjikan sebuah pekerjaan di kota. Namun setelah sampai di kota janji pamannya tak terwujud. Malah ia dijual pada seorang germo untuk dijadikan sebagai wanita pelacur. Selasih memberontak kemudian ia mengalami penyiksaan hingga depresi seperti itu. Untuk menghilangkan jejak atas perbuatannya, Herman kemudian mencari Selasih untuk dibunuh agar ia tidak bercerita kepada orang tuanya yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Namun akal busuk dari pamannya terkuak oleh kesaksian seorang pemuda. Menurut pemuda itu Selasih selalu menyebut-nyebut nama Herman. Akhirnya polisi berhasil menangkap Herman yang juga pelaku pembunuhan mutilasi pada korban lain tiga jam setelah pertistiwa tersebut. Demikian berita yang tertulis pada surat kabar pagi itu. ***
Wanar, Pucuk, Lamongan
___________________
* Ahmad Zaini, lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.