Judul Buku: Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid
Penulis: Mohammad Monib dan Islah Bahrawi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011
Tebal: cover + xxvii + 354 hlm.
Peresensi: Hasnan Bachtiar *
TIDAK BISA dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang guru. Ia bukan hanya profesor dan intelektual yang menguasai tradisi akademik Barat, tetapi juga ulama’, mufassir dan mujtahid yang mendalami keluasan khazanah Timur. Ia mengajarkan contoh-contoh dan perilaku nabi, pula dengan tuturan yang sederhana, bahasa yang dimengerti seluruh golongan. Gagasannya melampaui Timur dan Barat dengan segala kearifan qurani.
Cak Nur, begitulah akrab dikenal, adalah rujukan yang paling cocok untuk membaca nilai suatu agama, tanpa tendensi apapun, tanpa memaksakan kehendak untuk menganut suatu simbol-ideologi, bahkan Islam sekalipun sebagai agama yang dijunjung. Baginya yang terpenting bahwa, pesan mawas diri (taqwa) bisa merasuk ke dalam sanubari seluruh ummat.
Pesan takwa yang pernah disampaikannya adalah bahwa, “Manusia tidak boleh saling menindas, tidak boleh terjadi exploitation de’ l’homme par l’homme. Nabi menandaskan bahwa semua bentuk penindasan dan kezaliman di masa jahiliyah dinyatakan batal.” (Nurcholish Madjid, Memahami Kembali Makna Pidato Perpisahan Nabi, 1997).
Sebenarnya, pesan-pesan kenabian Cak Nur itu merupakan fundamen ajaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat berkesan. Di tengah silang sengkarut problem kemanusiaan yang menimpa negeri ini, menimba pesan agama (teologi) sangat relevan dilakukan untuk mempertajam kesadaran kemanusiaan kita.
Dalam bulan Ramadhan yang diberkati, membaca buku-buku, literatur, esai dan gagasan teologi Cak Nur, kiranya termasuk tadarus dalam artian yang sebenarnya(tadarus intelektual). Belajar untuk berubah menjadi manusia yang lebih manusiawi.
Ijtihad HAM Cak Nur
Dalam kancah akademis, ada literatur penting yang ditulis oleh Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, bertajuk “Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid”. Sepenuhnya buku ini menyari, membincang dan menafsirkan ide-ide tentang HAM Cak Nur.
Dalam bukuya, Monib-Bahrawi menulis, “Sebagai sarjana Muslim yang berlatar belakang keilmuan klasik Islam, formulasi pemikiran HAM-nya khas kaum teolog. Teks-teks suci Islam (al-Quran dan al-Hadits) menjadi rujukan.” (Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, 2011: 298). Dengan demikian, tidak heran jika Cak Nur tengah berupaya untuk melakukan kontekstualisasi dan reaktualisasi ajaran Islam.
Cak Nur sendiri menyampaikan bahwa, “Jelas sekali bahwa konsep modern tentang HAM dapat dipandang sebagai tidak lain dari pada penjabaran lebih lanjut nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama seperti Pidato Perpisahan Nabi.” (Ibid., 2011: 99).
Monib-Bahrawi mencatat bahwa HAM yang dipahami Cak Nur adalah manifestasi tauhid (akidah) dalam kehidupan seorang Muslim sehari-hari. Merujuk sejarah, memang benar jika nabi menitipkan nilai tauhid yang mulia pada umat penerusnya. Seluruh dimensi humanisme ada pada nilai tauhid tersebut. Pada haji terakhir (wada’), nabi berpesan bahwa hendaknya manusia memegang teguh misi kenabian, tegaknya tauhid. Dalam bahasa yang lebih mudah, tauhid sebenarnya adalah kemanusiaan yang manusiawi.
Kendati demikian, tak ada gading yang tak retak. Hanya saja tulisan Monib-Bahrawi terlampau fokus dan spesial ini belum membidik persoalan klasifikasi atau tipologi pemikiran Islam dan HAM. Kedua pemikir ini menguraikan Islam dan HAM secara mendalam, tetapi tidak menampilkan pula secara jelas peta pemikiran lainnya. Karena itu, sulit untuk mengidentifikasi gejolak dan dialektika pemikiran yang ada. Padahal intelektual Muslim yang memiliki spesialisasi di bidang Islam dan HAM cukup banyak.
Merujuk pada pemikir Islam dan HAM terkemuka, Fouad Zakaria (1985), pentingnya memilah pelbagai corak pemikiran ini adalah untuk revitalisasi nilai-nilai klasik yang masih baik dan transformasi nilai-nilai kontemporer (al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-ahdzu bi al-jadid al-ashlah).
Membincang tipologi secara lebih lanjut, model Islam-HAM menurut Niaz A. Shah memiliki kecenderungan pada empat model (Pradana Boy ZTF, 2010). Keempat model itu adalah: sekular, non-kompatibel, rekonsiliasi dan interpretif (model HAM Cak Nur).
Ide sekular yang digawangi oleh Reza Afshari menghendaki adanya adopsi nilai-nilai HAM sebagaimana termaktub dalam deklarasi HAM bagi umat Islam (Reza Afshari, 1996). Namun jika kita cermati, ada sejumlah perbedaan yang mendasar antara Islam dengan HAM.
Maka mengharap air dan minyak koeksis adalah mustahil. Tidak mungkin menyatukan hal yang tidak seimbang itu, lagipula hal ini akan menyulut api konservatisme sebagian umat dengan adanya tafsir al-Quran yang ekstrim.
Model yang kedua, non-kompatibel, umumnya diwakili oleh para penguasa negara-negara Islam. Mahatir Mohammad misalnya, berargumen bahwa HAM Barat kurang cocok dengan kultur masyarakat Islam-Timur, karena itu Deklarasi Universal HAM perlu dimodifikasi agar sesuai dengan “cita rasa Asia”. (Mohammed Barwin, 2002).
Dasar gagasan ini mengakomodir pemikiran benturan peradaban (Huntington) dan relativisme kultural. Di Dalam Islam, hak dan kewajiban tidak diciptakan manusia, tetapi bersumber pada Yang Ilahi. Pandangan terhadap HAM jelas bukan antroposentris, tetapi teosentris, karena itu bersifat abadi. Jadi, menyangkut hal yang paling asali, tidak ada yang mesti dimodifikasi.
Model yang ketiga adalah rekonsiliasi. Gagasan rekonsiliasi lebih kepada mencari-cari kesamaan atau paralelisme antara HAM-Islam dengan HAM-Barat. Sederet pemikir yang bergelut dengan ide ini adalah Bassam Tibi, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mahmood Monshipouri dan Mashood Baderin.
An-Na’im sendiri tatkala menegosiasikan Islam-Barat adalah dengan menampilkan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak konsisten dengan HAM Universal, lalu menafsirkan kembali dengan pelbagai dalil yang mendukung pelaksanaan HAM (Abdullahi Ahmed An-Na’im, 2007).
Cara yang cenderung memaksa ini, jelas sulit mendapatkan simpati dan dukungan dari kalangang Muslim sendiri. Dalam kerangka mental masyarakat Islam, masih terdapat ambivalensi menyangkut perasaan mereka terhadap modernitas Barat. Mungkin sebagian masyarakat tidak terlalu mempersoalkan penggunaan teknologi, tetapi pada saat yang sama mereka menolak untuk mengadopsi kebudayaan Barat.
Model yang terakhir adalah interpretif. Formulasi gagasan ini sangat menarik, dibanding dengan banyak pandangan yang cenderung antagonistik. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat modern, yang tidak sama dengan konteks tatkala al-Quran di turunkan.
Model interpretif ini sama sekali bukan bermaksud untuk mencari titik temu atau negosiasi, atau bahkan upaya untuk saling mengakali antara konsep qurani dengan HAM-Barat. Dalam kaitannya dengan HAM, interpretasi yang dimaksudkan adalah lebih kepada penjelasan bahwa al-Quran adalah teks yang terbuka tatkala hendak menghadapi tantangan zaman.
Interpretasi model ini, merupakan tafsir yang transformatif (al-tafsir al-‘ilmi). Jelas sekali pandangan demikian memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam, karena itu sangat baik untuk dipromosikan di tengah khalayak umum.
Gagasan Islam-HAM Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina ini kiranya temasuk dalam model pemikiran interpretif. Model ini adalah model yang paling baik di antara para cendekiawan Muslim lainnya. Dalam benak Cak Nur, segala teks al-Quran adalah korpus terbuka yang siap untuk mereproduksi makna-makna nilai untuk melayani umat. HAM adalah persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah di seluruh aspek kehidupan.
Singkat kata, HAM adalah praktik kehidupan Muslim yang saleh, menyongsong dan menelusuri jalan keselamatan, serta menyandang tantangan-tantangan kenabian. HAM secara nyata adalah wujud dari aplikasi teologi positif (amar ma’ruf), sekaligus kehendak untuk melawan dan menafikan segala bentuk teologi negatif (nahi munkar). Dengan kata lain, HAM adalah gairah juang pemihakan terhadap para marginal dan melawan seluruh gelombang eksploitasi, penguasaan, hegemoni dan dominasi sekelompok tertentu.
Di penghujung goresan pena, ada satu kutipan dari Cak Nur yang hendaknya kita renungkan, “Nabi menegaskan prinsip persamaan seluruh umat manusia, karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu (sama) dan ayah atau moyang seluruh manusia adalah satu (sama) yaitu adam.” (Ibid. Monib-Bahrawi, 2011: 90). Berdasarkan prinsip itu, semua manusia adalah sama, punya HAM yang sama, dan tanggungjawab kemanusiaan yang sama pula. Selamat Membaca!
_________
*) Hasnan Bachtiar, peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RëSIST) Malang, Komite Advokasi dan Informasi Rakyat Malang sebagai peneliti, ketua Lembaga Studi Terranova Malang di bidang kajian posmodernisme, anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.
**) Mengenang almarhum Hari Widjaja yang kerap kali menyebut Nurcholish Madjid di sela-sela diskusinya.