Kolase genit sastra indonesia

Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/
DARI PERISTIWA KE IMAJINASI: WAJAH SASTRA DAN BUDAYA INDONESIA
Oleh: Umar Junus
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 175 halaman

DUA puluh karangan dalam bunga rampai ini bisa dianggap benar-benar mewakili penulisnya, setidaknya dalam gaya bahasa dan cara berpikir. Anak judulnya, Wajah Sastra dan Budaya Indonesia, mencerminkan perhatian pengarang yang luas, meski sebenarnya pokok bahasan Umar Junus adalah sastra.

Umar Junus memang pengarang yang subur, dan mungkin yang paling banyak menulis dan menyiarkan karyanya di antara pengamat sastra Indonesia dewasa ini. Kesuburan itu membuktikan kecekatannya mengajukan masalah, dan sekaligus ketergesaannya menarik kesimpulan- atau kadang merumuskan persoalan.

Karangan dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Bagian I, “Realitas dan Imajinasi”, Bagian II, “Karya Sastra dan Pembaca”, dan Bagian III, “Hakikat Suatu Karya”. Untuk kumpulan karangan ini, Taufik Abdullah menulis sebuah kata pengantar – karangan yang justru paling menarik dalam bunga rampai ini.

Dalam pengantarnya, Taufik berusaha sebaik mungkin merumuskan pokok pikiran karangan Umar Junus usaha ini merupakan hal yang tidak mudah. Sebab, Umar Junus adalah seorang pengamat sastra yang gaya tulisannya khas memiliki “kenakalan”, “kesombongan”, dan “kegenitan” – meminjam istilah yang dipakai Taufik Abdullah.

Dalam hubungan ini, perlu dicatat bahwa Taufik memberikan nilai positif terhadap ketiga pengertian itu. Jumlah halaman yang hanya 175 untuk 20 karangan menunjukkan bahwa pokok pikiran Umar Junus hanya sempat diuraikan dalam karangan yang ringkas.

Ringkasnya karangan itu sangat terasa karena sebenarnya pengarang berusaha menunjukkan – dan meyakinkan pembaca – hal-hal baru sehubungan dengan teori mutakhir tentang sastra. Bagaimanapun juga – terutama kalau kita memasukkan “jenis” pembaca di Indonesia ke dalam pertimbangan kita – hal-hal “baru” seperti yang disampaikan oleh Umar Junus dalam bukunya membutuhkan ruang lebih luas untuk menjelaskannya.

Dalam ruang sempit, yang berupa karangan ringkas, tentu pelbagai konsep yang diajukan Umar Junus menjadi berdesak-desak. Dan banyaknya konsep dalam ruang sempit memberikesan pikiran yang meloncat-loncat. Karangan yang berjudul “Maka Terjadilah Sebuah Collage” bisa dipergunakan sebagai contoh. Karangan ini, yang menghabiskan 12 halaman, merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjelaskan novel Putu Wijaya, Stasiun.

Untuk menunjukkan bahwa Stasiun merupakan kolase, Umar Junus memulai karangannya dengan serentetan nama, kutipan, serta konsep pengamat dan budayawan Barat. Penyebutan tersebut menyebabkan karangan itu terasa meloncat ke sana kemari. Bagaimanapun, ruang yang begitu sempit tidak akan bisa dipergunakan sebaik-baiknya untuk menjelaskan konsep-konsep yang susul-menyusul.

Loncatan-loncatan itu juga terasa karena tampaknya konsep tersebut tidak disusun secara bertahap. Semacam kolase saja. Masalahnya, karena yang disampaikan Umar Junus itu merupakan semacam pembelaan bagi teknik Putu, maka ia harus bisa meyakinkan pembaca. Barangkali benar bahwa Stasiun adalah kolase – suatu hal yang sudah diuji Umar Junus lewat serangkaian konsep sastra dan kesenian mutakhir. Namun, tentu tidak seharusnya pembelaan itu berbentuk kolase konsep pula.

Perlu ditekankan lagi bahwa Umar Junus adalah pengamat yang subur. Barangkali situasilah yang menyebabkan kesuburan itu menghasilkan karangan ringkas semacam yang dikumpulkan dalam bunga rampai ini. Hal itu tidak begitu menguntungkan. Sebab, pada dasarnya, pelbagai masalah yang diajukan pengarang menuntut ruang lebih luas. Bukan suatu kebetulan bahwa karangan yang relatif panjang dalam buku ini seperti “Unsur Luar dalam Novel Indonesia”, “Anakronisme dalam Karya Sastra”, dan “Puisi yang Mantra di Indonesia: Suatu Interpretasi”, merupakan yang paling berharga.

Mungkin Profesor Teeuw benar, pendekatan Umar Junus ini memberi ‘harapan bagi kritik sastra Indonesia. Namun, agar harapan itu terkabul, Umar Junus masih harus menyeleksi pendekatan dan peralatan kritik yang paling dikuasainya, dan kemudian mencobakannya dalam karangan yang (jauh) lebih panjang – yang ditulis dengan lebih tenang, dan dalam gaya yang tidak terlalu melelahkan.

____________________05 November 1983
Dijumput dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1983/11/05/BK/mbm.19831105.BK45052.id.html

Bahasa »