Memikirkan Indonesia: Dari dan Untuk Tan Malaka [1]

Fadly Rahman [2]

Bila revolusi dalam sejarahnya dikatakan acapkali “memakan anaknya sendiri”, maka itu ungkapan, mengena benar untuk Tan Malaka. Sosok yang rekam jejaknya nyata, ada, namun kemudian seakan memitos karena dihilangkan/ditiadakan dalam sejarah pembentukan dan perkembangan republik ini. Setelah masa reformasi sosoknya mengemuka kembali. Ada yang masih mengidentikannya sebagai seorang komunis –dipahami awam sebagai negatif; bahkan sebaliknya, ia dikultuskan melalui berbagai ekspresi budaya pop berupa kaus, pin, dan pamflet (mungkin bisa saja kelak nyaris senasib dengan si ikon revolusi dari Amerika Latin, Ernesto ‘Che’ Guevara).

Pada masa kolonial Belanda, Tan Malaka dikenal sebagai pedagog, pemikir, hingga petualang politik yang menjadi ancaman serius bagi politik kolonialisme. Tan pun diburu oleh agen-agen spionase di dalam dan luar negeri. Dan hingga selepas masa revolusi, sekalipun Tan telah tiada, jati dirinya malah tenggelam (baca juga: ditenggelamkan) dalam masa pemerintahan Orde Lama (Orla) hingga Orde Baru (Orba). Fakta-fakta seputar avonturisasi pemikiran dan politiknya sejak masa pergerakan nasional hingga masa revolusi menguap dalam buku-buku pelajaran sejarah. Wajar, nama Tan Malaka pun menjadi tabu dibaca apalagi untuk lebih diketahui. Selibat pengalaman pribadi yang pernah bersentuhan dengan dunia penyuntingan naskah-naskah pelajaran sejarah, hanya sedikit saja nama Tan Malaka didapati dalam materi pergerakan nasional Indonesia; itupun paling hanya di seputar hubungannya dengan ISDV, PKI, dan peristiwa pemberontakan 1926. Pada materi pendudukan Jepang hingga kemerdekaan, namanya langka/nyaris tak banyak ditemukan. Padahal hingga 1949 (tahun Tan dieksekusi), perannya dalam upaya menggapai kemerdekaan hingga jejaknya dalam masa revolusi sangatlah penting.

Hingga masa reformasi pun tabu itu masih hidup. Buktinya saja warta belakangan ini seputar pelarangan Opera Tan Malaka yang diputar di stasiun televisi lokal (di Batu, Kediri, dan Sumenep) yang mana “disarankan” untuk tidak ditonton. Agaknya alasan klise: Tan komunis. Premisnya, jika ia dibaca dan ditonton, dicemaskan ideologi kiri itu kembali berkembang di Indonesia. Kenyataan yang sebetulnya kontras dengan pemikiran anti-dogmatis Tan terhadap ideologi apapun itu. Pemikirannya inilah yang menjadi asas ideal Tan mengonsepsi kebangsaan Indonesia sebagaimana terbaca dalam karya-karyanya. Wajar jika Muhammad Yamin (1990) menjulukinya sebagai: “Bapak Republik Indonesia.”
***

Nama Ibrahim Datuk Tan Malaka atau Tan Malaka memang tertelan oleh kebesaran nama seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir yang lebih dikenal sebagai founding fathers republik ini. Tan yang terlahir di Minangkabau –sebagaimana dikatakan sahabatnya Djamaludin Tamin– pada Juni 1897[3], dari segi usia lebih tua dari Soekarno (lahir 1901), Hatta (1902), dan Sjahrir (1909). Begitupun dengan kiprahnya berorganisasi dan kisah petualangan politiknya malang-melintang di dalam dan –lebih banyak dihabiskan– di luar negeri itu, membuat kisah Tan lebih menarik perhatian Hasbullah Parindurie untuk menuangkannya dalam cerita bersambung bertajuk Spionnage Dienst dalam surat kabar Pewarta Deli sepanjang Juli – September 1934.

Cerita bersambung itu pun dibukukan dalam tajuk Patjar Merah Indonesia; novel yang berkisah kehidupan (setengah) nyata Tan di Thailand, Singapura, Kamboja, dan Hongkong sepanjang 1930 – 1932. Sebegitu rawannya jika bersentuhan dengan Tan termasuk membaca tulisan-tulisannya yang agitatif, membuat Hasbullah mesti menyamarkan nama Tan Malaka dengan nama-nama Vichitra, Tan Min Kha, dan Patjar Merah.[4] Hasbullah sendiri membuat pseudonim untuk dirinya selaku penulis novel tersebut dengan nama Matu Mona.[5]

Meski Soekarno, Hatta, dan Sjahrir sama-sama merasakan dibui dan menjadi eksil karena terjerat hukum politik pemerintah kolonial Belanda, perjuangan politik Tan memang paling dramatik. Sebagai avonturir di Hindia dan mancanegara, ia merasakan hidup dari penjara ke penjara. Itulah yang membuat Hasbullah terpikat meromankan perjuangan politik Tan.

Sebagai seorang Minang, Tan kecil hidup dalam dan ditanamkan nilai-nilai tradisi Islam yang kuat. Selepas menamatkan Kweekschool pada 1913, kemudian ia melanjutkan studinya ke Haarlem, Belanda. Di Belanda itulah Tan mulai mengenal dunia politik (baca: sosialisme). Sekembalinya ke Hindia pada 1919, ia mulai menerapkan pengetahuan politiknya untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda. Tan mulai menapaki dunia politik di Hindia. Diskusi-diskusinya dengan Semaun (wakil ketua Indische Sociaal Democratische Vereeniging) seputar pergerakan revolusioner menginspirasinya untuk melawan kolonialisme di Hindia Belanda. Cara yang dilakukannya adalah mengorganisasi para pemuda, memberi pendidikan politik bagi anggota Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Islam (SI).

Pendidikan lebih diutamakan Tan ketimbang bernafsu mengumpulkan massa, sebagaimana dikatakannya dalam Dari Pendara ke Pendara (jilid I, 2000), bahwa; “mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting.” Pergerakannya di ranah pendidikan dilakoninya sejak menjadi guru bagi anak-anak buruh di perkebunan teh Belanda di Deli, lalu diteruskan pada 1921 dengan mendidik anak-anak anggota SI di Semarang. Pendidikan bagi Tan adalah pemberi jalan bagi para muridnya untuk mendapatkan: pekerjaan di lingkungan kapitalisme, kebebasan mendirikan perkumpulan-perkumpulan, dan perbaikan nasib hidup. Tan memandang pendidikan sebagai jalan bagi kemerdekaan jiwa-jiwa orang Indonesia untuk menggapai kemerdekaan bangsanya.

Hal menarik dari Tan adalah tidak taklidnya ia terhadap nilai suatu ideologi tertentu sebagai sarananya untuk menggapai kemerdekaan yang dicita-citakannya. Gelagat mental dan pemikirannya boleh dikatakan terbangun dari alam pikiran akan nilai dan tradisi Islam masa kecilnya. Maka itu, menginjak usia 50 tahun dengan pengetahuan isi kepalanya yang makin memejal, pandangan kritis Tan atas ideologi perjuangannya tersirat dalam Islam dalam Tinjauan Madilog (2000 [1948]). Menjadi realistis jika membaca pandangan Tan atas Pan-Islamisme yang menyeruak di dunia Islam yang menurutnya suatu kesempatan untuk dikolaborasikan dengan komunisme melawan kezaliman dan kelaliman kolonialisme.

Hanya saja, pandangannya acap tak sejalan dengan rekan-rekan komunisnya. Tak heran jika dalam sebuah tulisannya, Alfian (1977) menajukinya Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian. Meski lebih sebagai seorang berwatak soliter, aktivitasnya yang berupaya menggabungkan komunis dengan Islam tetap menjadi ancaman serius bagi pemerintah Hindia Belanda yang lalu menangkap dan mengasingkannya ke Belanda pada 1922. Sejak itulah petualangan politik Tan dimulai di Eropa. Kecakapan Tan berideologi dan berpolitik teruji dengan nyarisnya ia menjadi calon kuat anggota parlemen Partai Komunis Belanda. Tan bahkan juga ditunjuk sebagai wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk kawasan Asia Timur. Sejak 1923 – 1925 Tan berpindah ke Kanton dan di sana ia menuntaskan bukunya Naar Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, 1924).

Posisinya yang penting di Komintern dimanfaatkan benar oleh Tan dalam kongres Komunis Internasional untuk memberikan advis bagi para peserta kongres akan pentingnya kerjasama komunisme dengan Islam dalam menghadapi kapitalisme kolonial. Meski mendapat aplaus meriah, namun gagasannya tak didukung kongres. Sama halnya dengan reaksi rekan-rekan komunisnya di Indonesia tatkala Tan tidak sejalan dengan rencana gerakan tahun 1926; tahun yang bertepatan tatkala Tan yang tengah berada di Singapura menulis buku Massa Actie. Dalam perhitungan politik Tan, gerakan itu belumlah memadai jika baru sebatas berlandas pada situasi revolusioner, soliditas kepemimpinan PKI dan massa yang mendukungnya, serta program-program revolusi. Tan mengatakan gerakan itu sebagai tindakan abortif yang diramalkan berbuah kegagalan, sebagaiman dalam Massa Actie (Aksi Massa [2000])-nya dikatakan:

“selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan ‘putch’ atau anarkisme, hal itu ‘hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.”

Maka itu Tan memutuskan hubungan dengan tokoh-tokoh sentral PKI: Sardjono, Musso, dan Alimin yang melalui Keputusan Prambanan merekayasa rencana gerakan. Alhasil, kalkulasi Tan atas gerakan 1926 terbukti sebagai prematur yang hasilnya: “bunuh diri” bagi pergerakan nasional. Pemerintah kolonial dengan mudahnya memadamkan gerakan itu serta menangkap dan menahan para penggiat politik, meskipun nyatanya tidak semua adalah elemen PKI. Tak sedikit yang diasingkan ke Digul. Pun tak sedikit pula yang disiksa dan dibunuh.

Kecewa atas kepandiran rencana tokoh-tokoh PKI yang berbuah kelumpuhan seluruh pergerakan nasional, membuat Tan yang ketika Juni 1927 tengah berada di Thailand mendirikan Partai Repoeblik Indonesia (Pari) bersama sahabatnya Djamaluddin Tamin dan Soebakat. Lagi-lagi konsepsi “Repoeblik Indonesia” menyembul, menegaskan kembali gagasan Tan sebagaimana tertera dalam bukunya yang terbit tiga tahun sebelumnya (baca: Naar Republiek Indonesia).

Penerawangan Tan atas masa depan Indonesia melalui buah pikirnya ini mendahului para calon pendiri Republik Indonesia yang saat itu masih berpilin di tataran organisasi, belum mengonsepsikan secara terang-terangan istilah “Republiek Indonesia.” Dus, wajar saja Muhammad Yamin (1990) menjulukinya “Bapak Republik Indonesia” dan memisalkan Tan tak ubahnya Thomas Jefferson dan George Washington merancang Republik Amerika Serikat atau Andrés Bonafacio dan Jose Rizal meramalkan Philipina sebelum revolusi di negara itu pecah.

Selama kurun 1927 – 1942 Tan berpindah-pindah, dari Filipina, Shanghai, Hongkong, Pulau Amoy, Burma, dan Malaysia. Setelah 1942 barulah Tan kembali ke Indonesia dengan sebagian besar hayatnya dihabiskan di Pulau Jawa. Sebagai seorang pelarian politik, Tan juga incognito ulung yang mengoleksi berbagai nama: Elias Fuentes, Estahislu Rivera, Hasan Gozali, Ossario, Oong Soong Lee, Tan Ho Seng, Ramli Hussein, dan Ilyas Hussen; pun dengan beragam profesi (wartawan, guru, hingga kerani).

Tan bukan berarti tenang selepas 20 tahun ia meninggalkan Indonesia dengan banyak malang-melintang di dunia politik mancanegara. Kegelisahannya atas nasib perjuangan kemerdekaan Indonesia belum bisa pupus, sebagaimana pemikirannya tertuangkan dalam Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika). Sebuah karya filsafat yang dikerjakannya di sebuah gubuk di Rawajati, Jakarta, terhitung delapan bulan, 720 jam, atau kira-kira tiga jam sehari (15 Juli 1942 – medio tahun 1943). Madilog adalah cara berpikir Tan yang menautkan ilmu bukti melalui penyesuaian dengan akar kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan mondial. Tidak sepenuhnya memang Tan menyelisihi filsafat materialisme yang sebatas menganggap materi dan kenyataan menampak (fisikiah) sebagai yang ada dan utama; namun dalam Madilog, Tan menekankan bukti (meliputi budi, kesatuan, pikiran, dan inderawi) sebagai yang utama. Bukti merupakan fakta. Adapun fakta menjadi fondasinya ilmu bukti. Melalui Madilog, Tan bukan cuma memikirkan realita Indonesia pada masa hidupnya. Namun layaknya seorang futuris, ia membenturkan kontemplasi filsafatnya ini untuk masa depan Indonesia. Dan gagasan dalam Madilog-nya menerap dan jalin-menjalin sebagai sebuah pola yang konsisten dan konsekwen (ilmiah dan Indonesia sentris) melalui karya-karya lainnya yang secara holistik memikirkan berbagai permasalahahan Indonesia berikut implementasinya. Maka boleh dibilang pemikirannya tidak lekang dimakan jaman.

Avonturisasi politiknya di mancanegara selalu licin. Tapi ironis, di tanah airnya sendiri Tan justru tetap bergerak secara klandestin. Tak banyak diketahui dalam buku-buku pelajaran sejarah bahwa Tan-lah yang menggerakkan massa untuk menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Soekarno mengagumi pemikiran Tan yang banyak menginspirasi perjuangan Revolusi Kemerdekaan. Dalam salah satu artikel Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi yang dimuat Majalah Tempo edisi khusus Tan Malaka (2008), disebutkan begitu kagumnya dengan pemikiran Tan Malaka, Soekarno pernah membuat sebuah testamen ahli waris revolusi untuk Tan jika terjadi sesuatu pada diri Soekarno – Hatta.[6]

Ketika masa Revolusi Kemerdekaan, Tan lebih memilih jalannya sendiri membentuk Persatuan Perjuangan (PP) pada 1 Januari 1946 untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan sekutu. Namun niatnya disalahartikan sebagai sebentuk jalan mengkudeta Soekarno – Hatta. Tan dibui, berpindah-pindah di penjara Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga lepas pada September 1948 sejalan dengan tuntasnya naskah Dari Pendjara ke Pendjara yang ia tulis.

Sebagai responsnya atas situasi politik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati (1947) dan Renville (1948), Tan merintis Partai Murba pada November 1948. Tan –lagi-lagi– dituding mengkudeta pemerintah. Pada 21 Februari 1949 akhirnya Tan tewas di tangan orang sebangsanya sendiri dan di tanah airnya sendiri.
***

Sejatinya, sejarah tentang seorang tokoh pendiri bangsa lazimnya menyampaikan pesan-pesan moral dan edukasi untuk generasi sesudahnya. Tapi bukanlah sejarah namanya jika kepentingan atas masa lalu sarat juga dengan kepentingan-kepentingan politis yang memungkinkan citra tokoh itu untuk dibelokkan, dikaburkan, bahkan dihilangkan.

Asa hidup di alam kemerdekaan berupa keterbukaan dan kejujuran mengungkapkan masa lalu pun kadang terhadang oleh narasi-narasi besar (grand narratives [baca: negara]). Sebagaimana hal itu didapati dari sepinya jejak pemikiran Tan Malaka dalam buku-buku pelajaran sejarah seputar gagasannya mewujudkan republik ini. Sebagai sosok pejuang sekaligus pemikir yang lain dari keumuman eksponen pergerakan nasional, jalan hidup Tan yang asing dan banyak mengasing itu pun membuat Matu Mona mengiaskan dalam karya Patjar Merah Indonesia­-nya dengan julukan mysteryman. Senyata dengan jejak kehidupannya yang asing dan banyak mengasing.

Dan dalam penulisan sejarah Indonesia modern, memori kolektif masyarakat Indonesia –khususnya siswa-siswa sekolah– terhadap sosok Tan Malaka tidaklah sebagus dibandingkan terhadap Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Konteks bagus itu pun tak lebih hanya sebatas mengenal nama, kedudukan, dan momen seputar sang tokoh. Jejak pemikiran para tokoh pendiri bangsa sebagai hal yang lebih hakiki untuk diteladani justru menguap dalam teks-teks pelajaran sejarah yang diproduksi untuk kepentingan pendidikan nasional.

Meski begitu, dalam wacana sejarah selama beberapa dasawarsa terakhir ada pergeseran nilai terkait subjek, perspektif, dan pendekatan masa lalu yang menjauhi narasi-narasi besar. Pergeseran itu dimaklumi juga terjadi karena ketidakpuasan terhadap narasi besar dalam mengendalikan dan memproduksi teks-teks sejarah. Ketika teks tidak berbunyi sebab ada yang ter/di-sembunyikan, maka medium seni visual (seperti fotografi, film, dan teater) menjadi alternatif menggali hakikat dan pemahaman masa lalu melalui pendekatan subaltern (Nordholt & Steijlen [2007]; rujuk juga Nordholt, Purwanto, & Saptari [2007]). Jelas ini menjadi penting sebagai sebentuk penyi(ng)kapan terhadap narasi besar dalam menarasikan masa lalu, yang mana salah satunya menyangkut citra tokoh semisal Tan Malaka ini.

Setidaknya patut disyukuri adanya ikhtiar menempatkan Tan Malaka berdasarkan sejarah dalam konteksnya (historicizing history), selain melalui teater juga film sebagai alternatif yang baik untuk membangunkan masyarakat dari amnesia sejarah. Saya tidak ada hasrat berlebih untuk terlalu menyoalkan masih ditemukan kelemahan historical mindedness dalam film karya kawan-kawan dari Institut Kesenian Jakarta tersebut. Tapi dengan menyisipkan beberapa perkataan yang lekat dengan cerminan jiwa dan pemikiran Tan Malaka dalam mengecam taklid buta dan fanatisme sempit terhadap ideologi atau kepercayaan apapun dalam fragmen-fragmen film tersebut, telah menyambung lidah “bapak republik” itu untuk mengedukasi mental dan sikap rakyat Indonesia yang hidup pada alam kekinian. Misalnya perkataan Tan (adalah pola pikir madilognya [rujuk juga perkataan ini dalam Alfian. 1977]) di hadapan anak-anak kecil yang diajari berhitung:

“Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian dapat belajar dari orang Barat. tapi jangan sekali-kali kalian meniru dari orang Barat. Kalian harus menjadi murid-murid dari Timur yang cerdas…”

Secara generis, perkataan itu sebetulnya akan terus patut dan layak dipakai kapanpun sebagai pandangan dan kedudukan bangsa Indonesia untuk menilai, menghadapi, dan terlibat dalam kumparan masalah nasional dan dunia. Tidak terjerembab dalam banalitas hubungan kebudayaan Barat dan Timur serta punya prinsip dalam menghadapi benturan peradaban antarkedua kutub tersebut.[7] Relasi ideal antara Barat dan Timur memang menjadi salah satu pokok pemikiran Tan Malaka. Seperti halnya juga Sutan Sjahrir[8] atau Sutan Takdir Alisjahbana,[9] Tan Malaka –seperti halnya Sjahrir– agaknya gelisah juga dengan tabiat dan sikap kaum bumiputra yang mana satu pihak begitu mengagungkan adiluhungnya dominasi Barat secara taklid sehingga tanpa disadarinya merendahkan diri sendiri sebagai seorang Indonesia. Pihak lain terpenjara dalam kekolotan alam pikiran Timur yang masih dikuasai mitos dan menolak sama sekali segala hal berbau Barat sebagai yang dinilai sesat dan menyesatkan. Permasalahan itu pun kini masih hadir dalam wajah baru, tapi esensinya tak banyak berubah jika menyelami dalam-dalam perkataan Tan Malaka tersebut.

Sejarah yang memihak untuk Tan Malaka jelas melebihi apresiasi pemerintah yang pada 1963 sebatas memberinya gelar pahlawan kemerdekaan nasional. Menghadirkan kembali gagasan-gagasan jenialnya tentang Indonesia, tentunya jauh lebih penting melebihi gelar kepahlawanan. Pemikirannya yang mengajarkan: anti-dogmatisme, berpikir kritis, anti-kekerasan sebagai siasatnya melawan kezaliman dan kebodohan pada masa hidupnya, amatlah patut direnungkan untuk memikirkan Indonesia yang saat ini mendambakan integrasi bangsa. Dan jelas, dengan mengubur pemikirannya sama saja ibarat mengubur kebangsaan Indonesia yang masih berlanjut ini.

Rujukan:

Alfian. 1977. “Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian,” dalam Prisma No. 8 Agustus 1977.

Huntington, Samuel P. 1996. Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.

Jarvis, Helen. 2000. Tan Malaka, Pejuang Revolusioner atau Murtad?. Yogkakarta: Cermin.

Malaka, Tan. 1999. Madilog, Materialisme Dialektika Logika. Jakata: Pusat Data Indikator

______. 2000. Islam dalam Tinjauan Madilog. Jakarta: Komunitas Bambu.

______. 2000. Aksi Massa. Yogyakarta: Teplok.

______. 2000. Dari Penjara Ke Penjara (jilid 1). Yogyakarta: Teplok.

McVey, Ruth. 1965. The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University Press.

Mona, Matu. 2010. Pacar Merah Indonesia; Petualangan Tan Malaka Menjadi Buron Polisi Rahasia Kolonial. Yogyakarta: Beranda.

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari. 2007. “Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds.) dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Obor.

Nordholt, Henk Schulte & Fridus Steijlen. 2007. “Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisuali Kehidupan Sehari-Hari di Indonesia pada Abad ke-21” dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds.) dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Obor.

Poeze, Harry A. 2000. Tan Malaka: Perjuangan Menuju Republik 1897 – 1925. Jakarta: Grafiti.

______. 2007. “Memuliakan, Mengutuk, dan Mengangkat kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka” dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds.) dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Obor.

Sjahrir, Sutan. 1990. Renungan dan Perjuangan. Jakarta: Djambatan & Dian Rakyat.

Yamin, Muhammad. 1990. Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia. Jakarta: Massa.

Majalah Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan: Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan, 17 Agustus 2008.
Catatan akhir:

[1] Makalah untuk Diskusi Tan Malaka, ITB 23 April 2011.

[2] Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Unpad

[3] Versi lain menyebut tahun kelahirannya adalah 1893 dan 1894 (McVey, 1965).

[4] Selain Tan Malaka yang disamarkan adalah Muso dengan Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alimsky, Darsono sebagai Darsonoff, Semaun sebagai Semounoff, Soebakat sebagai Soe Beng Kiat, dan Djamaluddin Tamin sebagai Djalumin.

[5] Informasi seputar riwayat Patjar Merah Indonesia dapat dibaca dalam pengantar Harry A. Poeze “Di Antara Fakta dan Fiksi” untuk buku Pacar Merah Indonesia; Petualangan Tan Malaka menjadi Buron Polisi Rahasia Kolonial (2010).

[6] Berdasarkan kesaksian S.K. Trimurti sebagaimana ditelusur Tempo (2008), setelah Tan Malaka tiada, testamen mandat kepemimpinan republik yang pernah dibuat Soekarno untuk Tan Malaka akhirnya dimusnahkan karena kecemasan Soekarno bahwa itu testamen akan berbuah masalah suatu hari nanti.

[7] Jika pada masa Perang Dingin yang berseteru adalah Blok Barat (kapitalisme liberal) dan Blok Timur (komunisme), kini beralih pada seteru Barat dan (fundamentalisme) Islam [lebih dalam silah rujuk Benturan Antar Peradaban-nya Samuel P. Huntington, 1996].

[8] Sejalan dengan Sutan Sjahrir dalam Renungan dan Perjuangan (1990 –diterjemahkan dari Indonesische Overpeinzingen [1950]), yang memasalahkan persepsi dangkal ‘Timur’ memandang ‘Barat’, dan sebaliknya. Selain menyindir borok kolonialisme, Sjahrir juga ketus menyindir kelakuan orang-orang pribumi (baca: Indonesia) yang tersesat memahami Barat, seraya berujar, bahwa orang-orang pribumi yang dididik Barat bahkan menjadi berubah melebihi tabiat Barat sekalipun.

[9] Mengingatkan pada konsep kebudayaan nasional yang dipikirkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan-nya.

***
Biografi singkat Fadly Rahman: Penikmat buku. Kadang menulis di Kompas dan Republika. Juga peminat sejarah makanan. Pernah menjadi kontributor The Oxford Companion to Southeast Asian Food. Buku hasil riset saya mengenai sejarah rijsttafel telah diterbitkan Gramedia (Juli 2011).

Bahasa »