Berthold Damshauser
http://majalah.tempointeraktif.com/
Ini laporan tentang sebuah diskusi mengenai tema “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia“. Diskusi itu melibatkan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Bonn/Jerman dan dosennya (saya sendiri).
Pada salah satu kuliah bagi mahasiswa tingkat akhir program Master, saya berupaya menanam rasa bangga di hati mahasiswa yang sejak lima tahun dengan tekun dan tabah mempelajari bahasa Indonesia: “Tak lama lagi, Anda akan tamat. Perlu kiranya Anda ketahui bahwa bahasa yang kini cukup Anda kuasai, berpeluang besar untuk menjadi ‘bahasa dunia’, ‘bahasa internasional’, atau ‘bahasa peradaban dunia’. Tentang itu telah banyak tulisan di berbagai media Indonesia.”
Wajah segelintir mahasiswa mendadak cerah. Mereka menyimpulkan bahwa prospek baik bahasa Indonesia pasti akan meningkatkan prospek mereka di lapangan kerja. Namun, sejumlah besar wajah menunjukkan roman skeptis yang cukup mengganggu. Salah seorang skeptiswan angkat bicara: ”Bahasa Dunia atau lingua franca internasional adalah bahasa yang secara global digunakan dalam bidang diplomasi, hubungan dagang, juga penyebaran ilmu pengetahuan. Alangkah jauh bagi bahasa Indonesia untuk diterima sebagai bahasa yang berhak memainkan peranan itu.”
Dahi saya mengerut. “Jangan terlalu pesismis, dong. Harap diingat, penutur bahasa Melayu-Indonesia cukup banyak, jauh melebihi jumlah penutur bahasa Jerman atau Italia, misalnya. Bahasa itu digunakan di berbagai negara: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timor-Leste dan Muangthai. Harap jangan anggap enteng!.”
Skeptiswan itu langsung terdiam. Namun, skeptiswan lain dari sayap kiri langsung menyambar: “Bukankah yang menjadikan sebuah bahasa menjadi bahasa dunia adalah proses sejarah alias proses penuh paksaan. Harus menjajah dulu, baru bahasanya ikut berkuasa, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol …”
Mendengar itu, saya langsung memasang wajah bijak dan menjawab kalem: “Ingat! Masa kegelapan imperialisme sudah lewat! Karena itu, sama sekali tak masalah kalau bangsa Indonesia tak pernah dan takkan bersemangat imperialistis, baik politis-ideologis, geostragis maupun ekonomis. Pada masa kini, tingginya budi dan keagungan budaya para penutur yang menentukan kedudukan sebuah bahasa dalam pergaulan internasional!”
“Juga prestasi di bidang sains dan ilmu humaniora?” tanya seorang mahasiwi dengan berhati-hati. “Tentu saja” jawab saya seraya menambahkan: “Termasuk prestasi di bidang keberaksaraan modern, misalnya kesusastraan.“ Tak terduga, si mahasiswi mulai berprovokasi: “Memang budaya aksara modern sudah berkembang gemilang di Indonesia? Jumlah pembaca buku sudah banyak? Apakah bangsa Indonesia sendiri cukup bangga dengan budaya aksaranya? Bukankah yang disuguhkan ke manca negara biasanya budaya lisan, misalnya tarian atau musik tradisional?”
“Jangan bertele-tele”, saya menegur murid itu, “yang kita bicarakan adalah perihal bahasa, jangan menjauh dari itu!” “Baik, Pak”, saran mahasiswa yang termasuk paling pintar, “mari kita kembali pada bahasa Indonesia. Bahasa ini gampang dipelajari, dan ini potensial menjadi bahasa dunia. Sayang, kegampangan itu agak semu. Di kuliah sebelumnya kita belajar, bahwa memahami teks Indonesia agak sulit, justru karena kesederhanaan tata bahasa yang menyebabkan tingkat ambiguitas sangat tinggi. Kadang-kadang, teks hukum saja kurang jelas. Ingat teks Pancasila, khususnya sila keempat yang membicarakan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’?“
Ia melanjutkan bahwa ia meminta teman-teman Indonesia untuk menjelaskan maknanya dan betapa mereka kesulitan susah menjawab hanya karena memiliki tafsir yang berbeda-beda. Selain itu, paling sedikit menurut kesannya „bahasa Indonesia yang digunakan para penulis Indonesia, termasuk wartawan dan politikus, jauh dari baik dan benar, bahkan sering mengabaikan logika kalimat. Tak jarang kami putus asa mengurus teks demikian.”
“Iya”, jawab saya, “yang Anda katakan ada benarnya juga. Tapi, bagaimana pun kita jangan melupakan perkembangan luar biasa yang ditempuh bahasa itu sejak hampir seadab. Sudah banyak sekali kemajuannya. Patut dihargai upaya bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi bahasa persatuannya!“
“Menjunjung tinggi? Beberapa minggu yang lalu saya membaca laporan Tempointeraktif berjudul ‘Pidato Presiden Bertaburan Istilah Inggeris’. Hanya ada dua kemungkinan: Kosakata bahasa Indonesia tidak mencukupi untuk menyampaikan hal-hal pelik, atau yang berpidato lebih suka kepada bahasa dunia sejati, bahasa Inggris.”
Saya terdiam. Merenung. Tak mungkin saya berdalih bahwa cara berpidato adalah hak prerogatif, hak indidivu, atau hak asasi yang lain. Sambil menghempaskan diri ke kursi saya menjawab lemah tapi tegas: Kosakata Bahasa Indonesia tentu mencukupi! Masak tidak!
„Nah, kalau begitu“, sindir suara dari belakang ruang kuliah, „segala kemungkinan masih terbuka. Bapak masih ada harapan menjadi dosen sebuah bahasa dunia.“
Aduh, saya pikir, ini sudah keterlaluan. Saya tidak mau terpancing. Dengan anggun, saya katakan: „Begini, ya. Kota Roma tidak dibangun dalam sehari. Semua hal membutuhkan kesabaran dan kerja keras. Bangsa Indonesia tentu menyadarinya. Mereka sanggup memilih jalan terbaik. Kini sedang diupayakan untuk menjadikan bahasa Indonesia bahasa resmi AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly). Mana mungkin orang Filipina, Myanmar, Laos dan negara Asean lainnya tega menolak usul itu. Oke, diskusi ini kita lanjutkan pada kesempatan lain.”
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia, Universitas Bonn; Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/berthold-damsh%C3%A4user/ini-teks-lengkap-dari-tulisan-saya-bahasa-indonesia-sebagai-bahasa-dunia/10150386058037423