Zuriati
harianhaluan.com
Differance merupakan struktur dasar dari setiap teks. Derrida menolak mendefinisikan differance, karena ia bukanlah konsep atau apa pun yang merujuk pada isi (petanda) yang merupakan substitusi dari kehadiran. Ia hanyalah strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk melalui oposisi atau hierarki yang dibangun oleh teks. Oleh karena itu, menurutnya, differance bukanlah sesuatu yang hadir dan ada, tetapi ia juga bukanlah sesuatu yang absen (sebagai lawan dari kehadiran), melainkan permainan yang mengatasi kategori kehadiran/absensi. Ia bermain antara ada dan tiada, keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Ia membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, seringkali tidak terduga.
Dengan demikian, differance itu merujuk pada sebuah strategi untuk memperlihatkan perpedaan-perbedaan yang implisit, sekaligus, menyodorkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks. Sebagai sebuah strategi, ia dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran, sejarah, atau apa pun bentuk upaya untuk membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap realitas, atau menghadirkan satu pembacaan terhadap segala sesuatu. Bagi Derrida, semua itu adalah teks dan sejauh dipahami sebagai teks, ia akan terbuka untuk dibaca, dibongkar, dan ditafsirkan ulang secara tidak berhingga. Differance menggerakkan seluruh permukaan teks yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali ‘logika permainan’ yang direpresi oleh logika dominan (pengarang). Dengan differance, asumsi-asumsi yang mapan terus dipertanyakan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal dan paradoksal. Ia adalah ruang untuk mencari berbagai perspektif terhadap teks. Oleh karena itu, teks harus dibiarkan apa adanya; tidak stabil, ambigu, dan rentan dengan paradoks.
Pengaruh Dekonstruksi pada Kajian Budaya
Sebagai suatu metode pembacaan atau penafsiran teks, dekonstruksi Derrida sangat berpengaruh pada kajian sastra, terutama kajian terhadap karya sastra sebagai salah satu bentuk teks budaya. Dengan bahasa yang penuh ambiguitas, teks-teks sastra sangat memungkinkan dianalisis secara dekonstruksi. Melalui dekonstruksi, penafsiran atau pemaknaan terhadap satu teks sastra tidak lagi menghasilkan satu makna atau tema pokok sebagaimana yang dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya, tetapi dapat menghasilkan makna-makna atau tema-tema kecil, yang tidak dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya. Dengan dekonstruksi, tema-tema kecil yang kehadirannya sering tersembunyi dalam teks itu dapat menjadi sesuatu yang besar, meski kadangkala, menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan warga sastra.
Setuju dengan Hoed (2008: 15-16). dengan dekonstruksi, pemahaman teks sastra tidak dapat sekedar memahami secara sistematis, tetapi menunda kaitan antara unsur ekspresi teks (penanda) dan unsur isi (petanda). Hal itu dilakukan untuk memperoleh makna lain atau makna baru teks. Metode dekonstruksi yang bersifat ketat dapat meningkatkan nilai kritik sastra. Metode ini dapat mendorong pemikiran kritis dan dapat menghasilkan analisis yang handal. Ia dapat menghasilkan pemikiran yang sifatnya individual dan mungkin kontroversial, tetapi pembaharu dan kreatif.
Dalam perkembangannya, kajian budaya tidak melihat budaya sebagai objek keadiluhungan estetis (seni tinggi), seperti teks sastra tinggi sebagaimana yang dimaksudkan oleh penjelasan pada dua paragraf di atas. Begitupun, budaya tidak juga dilihat sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual, tetapi dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Pengertian budaya terakhir itu dikatakan mencakup dua pengertian budaya sebelumnya itu, yang juga dapat mencakup kajian budaya pop. Dalam konteks itu, kajian budaya menganggap, bahwa budaya bersifat politis, dalam arti yang spesifik, yakni sebagai ranah konflik dan pergumulan (Storey, 2008: 2-3).
Dalam konteks kajian budaya seperti yang dimaksudkan di atas, dekonstruksi banyak dipakai sebagai perangkat untuk membaca gejala-gejala budaya, terutama sebagai sebuah teks. Pembacaan dekonstruktif yang dilakukan terhadap teks-teks budaya itu telah melahirkan berbagai pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran baru, terutama berkenaan dengan nasional-poskolonial-transnasional-global, budaya pop, dan identitas budaya, seperti ras, gender, kelas, etnisitas, dan agama. Pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran atau makna-makna baru itu diperoleh melalui differance yang ada dalam teks-teks yang mengandung hal-hal tersebut. Dengan dekonstruksi, Hoed (2008: 103-108), misalnya, dapat menemukan pengertian baru terhadap kata globalisasi, yang berbeda maknanya dari makna yang sudah dipahami secara umum. Begitu juga, Budianta (2000), misalnya, melalui pembacaan dekonstuktif terhadap teks-teks media massa Indonesia tentang globalisasi dan identitas, menemukan, bahwa ada pertentangan pada pendapat-pendapat atau pandangan-pandangan orang tentang globalisasi. Ternyata, menurut Melani, globalisasi itu juga ada di dalam diri kita sendiri.
Pengaruh dekonstruksi itu tampak pula pada analisis terhadap teks-teks yang memuat tentang seksualitas. Konsep differance pada pembacaan dekonstruktif dapat menjadi alat analisis untuk menjelaskan dan memaknai bagaimana seksualitas itu terbentuk. Berkenaan dengan itu, menurut Derrida, segala sesuatu, termasuk seksualitas, dikonstruksi melalui prosedur logosentris. Dalam prosedur itu, heteroseksualitas bukan didasarkan pada kualitas yang inheren melekat padanya, melainkan berdasarkan pada pelabelan negatif terhadap praktik seksual lain yang nonprokreatif, seperti seksualitas sesama jenis dan masturbasi. Dalam logosentrisme, heteroseksualitas bukan hanya dibedakan, melainkan juga dianggap lebih tinggi derajatnya atas praktik nonhetero. Bentuk seksualitas yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan melalui strategi patologis, abnormalisasi, dan kriminalitas (lihat Alim, 2004: 37-38).
Sebagai penutup bagian ini, saya ingin menampilkan satu contoh sederhana pembacaan dekonstruktif terhadap sebuah teks dalam bentuk cerita bergambar, berjudul “(Huru-Hara) Hura-Hura Pemilu’99″, karya Benny & Mice. Penundaan makna atau differance pada teks itu difokuskan pada kata-kata (huru-hara) hura-hura. Dengan begitu, kata-kata itu merupakan differance dalam teks itu. Penulisan huru-hara dalam tanda kurung telah menggerogoti kata hura-hura yang ditulis sesudahnya. Sebagai sebuah pesta demokrasi, pemilu merupakan sebuah pesta yang penuh dengan hura-hura. Hal itu ditunjukkan oleh penggambaran situasi masyarakat yang bergembira menyambut dan menjalani pemilu itu dengan senang hati dan bergembira. Namun, adanya kata huru-hara dalam tanda kurung itu menjadikan makna itu ditunda, untuk kemudian muncul makna yang baru. Makna baru itu berbeda dengan makna yang terkandung dalam teks atau makna yang mungkin dimaksudkan oleh pengarangnya.
Melalui penggambaran yang sedikit, yakni tentang beberapa kekhawatiran jika pemilu dengan banyak partai berlangsung, makna lain dari pemilu itu tersembunyi dalam teks. Penundaan terhadap makna yang pertama menghasilkan makna yang baru, yang dikandung oleh kata-kata (huru-hara). Selain mengandung makna hura-hura, ternyata, pemilu itu juga bermakna huru-hara. Dengan begitu, teks itu mengandung makna yang ambigu, yang bertentangan. Pemilu bermakna hura-hura, sekaligus, bermakna huru-hara. Makna baru yang diperoleh dari teks itu merupakan makna baru yang, mungkin, bertentangan dengan pandangan umum yang sudah dipahami oleh masyarakat selama ini. (Habis)
*) Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI. /01 May 2011.