Dekonstruksi Derrida dan Pengaruhnya pada Kajian Budaya (II)

Zuriati
harianhaluan.com

Differance merupakan struktur dasar dari setiap teks. Derrida menolak mende­fini­sikan differance, karena ia bukanlah konsep atau apa pun yang merujuk pada isi (pe­tanda) yang merupakan subs­titusi dari kehadiran. Ia hanya­lah strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk melalui oposisi atau hierarki yang dibangun oleh teks. Oleh karena itu, menurutnya, differance bukan­lah sesuatu yang hadir dan ada, tetapi ia juga bukanlah sesuatu yang absen (sebagai lawan dari kehadiran), melainkan per­main­an yang mengatasi kategori kehadiran/absensi. Ia bermain antara ada dan tiada, keber­adaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keber­adaannya. Ia membayangi setiap teks dengan kemung­kinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, seringkali tidak terduga.

Dengan demikian, differance itu merujuk pada sebuah strategi untuk memperlihatkan perpe­daan-perbedaan yang implisit, sekaligus, menyodorkan tan­tangan terhadap totalitas makna dalam teks. Sebagai sebuah strategi, ia dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran, sejarah, atau apa pun bentuk upaya untuk membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap rea­litas, atau menghadirkan satu pembacaan terhadap segala sesuatu. Bagi Derrida, semua itu adalah teks dan sejauh dipahami sebagai teks, ia akan terbuka untuk dibaca, dibong­kar, dan ditafsirkan ulang secara tidak berhingga. Differance menggerakkan seluruh permu­kaan teks yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali ‘logika permainan’ yang direp­resi oleh logika dominan (pengarang). Dengan differance, asumsi-asumsi yang mapan terus dipertanyakan dan meng­ujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal dan paradoksal. Ia adalah ruang untuk mencari berbagai perspektif terhadap teks. Oleh karena itu, teks harus dibiarkan apa adanya; tidak stabil, ambigu, dan rentan dengan paradoks.

Pengaruh Dekonstruksi pada Kajian Budaya

Sebagai suatu metode pembacaan atau penafsiran teks, dekonstruksi Derrida sangat berpengaruh pada kajian sastra, terutama kajian terhadap karya sastra sebagai salah satu bentuk teks budaya. Dengan bahasa yang penuh ambiguitas, teks-teks sastra sangat me­mungkinkan dianalisis secara dekonstruksi. Melalui dekon­struksi, penafsiran atau pemak­naan terhadap satu teks sastra tidak lagi menghasilkan satu makna atau tema pokok seba­gai­mana yang dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya, tetapi dapat menghasilkan makna-makna atau tema-tema kecil, yang tidak dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya. Dengan dekonstruksi, tema-tema kecil yang kehadirannya sering tersembunyi dalam teks itu dapat menjadi sesuatu yang besar, meski kadangkala, menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan warga sastra.

Setuju dengan Hoed (2008: 15-16). dengan dekonstruksi, pemahaman teks sastra tidak dapat sekedar memahami secara sistematis, tetapi me­nunda kaitan antara unsur ekspresi teks (penanda) dan unsur isi (petanda). Hal itu dilakukan untuk memperoleh makna lain atau makna baru teks. Metode dekonstruksi yang bersifat ketat dapat mening­katkan nilai kritik sastra. Metode ini dapat mendorong pemikiran kritis dan dapat menghasilkan analisis yang handal. Ia dapat menghasilkan pemikiran yang sifatnya indivi­dual dan mungkin kontrover­sial, tetapi pembaharu dan kreatif.

Dalam perkembangannya, kajian budaya tidak melihat budaya sebagai objek keadi­luhungan estetis (seni tinggi), seperti teks sastra tinggi seba­gai­mana yang dimaksudkan oleh penjelasan pada dua paragraf di atas. Begitupun, budaya tidak juga dilihat sebagai sebuah proses perkem­bangan estetik, intelektual, dan spiritual, tetapi dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Pengertian budaya terakhir itu dikatakan men­cakup dua pengertian budaya sebelumnya itu, yang juga dapat mencakup kajian budaya pop. Dalam konteks itu, kajian budaya menganggap, bahwa budaya bersifat politis, dalam arti yang spesifik, yakni sebagai ranah konflik dan pergumulan (Storey, 2008: 2-3).

Dalam konteks kajian buda­ya seperti yang dimaksudkan di atas, dekonstruksi banyak dipakai sebagai perangkat untuk membaca gejala-gejala budaya, terutama sebagai sebu­ah teks. Pembacaan dekon­struktif yang dilakukan terhadap teks-teks budaya itu telah melahirkan berbagai panda­ngan-pandangan dan pemi­kiran-pemikiran baru, terutama berkenaan dengan nasional-poskolonial-transnasional-global, budaya pop, dan iden­titas budaya, seperti ras, gender, kelas, etnisitas, dan agama. Pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran atau makna-makna baru itu di­peroleh melalui differance yang ada dalam teks-teks yang me­ngan­dung hal-hal tersebut. Dengan dekonstruksi, Hoed (2008: 103-108), misalnya, dapat menemukan pengertian baru terhadap kata globalisasi, yang berbeda maknanya dari makna yang sudah dipahami secara umum. Begitu juga, Budianta (2000), misalnya, melalui pembacaan dekon­stuktif terhadap teks-teks media massa Indonesia tentang globa­lisasi dan identitas, menemukan, bahwa ada pertentangan pada pendapat-pendapat atau pan­dangan-pandangan orang ten­tang globalisasi. Ternyata, menurut Melani, globalisasi itu juga ada di dalam diri kita sendiri.

Pengaruh dekonstruksi itu tampak pula pada analisis terhadap teks-teks yang me­muat tentang seksualitas. Konsep differance pada pem­bacaan dekonstruktif dapat menjadi alat analisis untuk menjelaskan dan memaknai bagaimana seksualitas itu terbentuk. Ber­kenaan dengan itu, menurut Derrida, segala sesuatu, terma­suk seksualitas, dikonstruksi melalui prosedur logosentris. Dalam prosedur itu, hetero­seksualitas bukan didasarkan pada kualitas yang inheren melekat padanya, melainkan berdasarkan pada pelabelan negatif terhadap praktik seksual lain yang nonprokreatif, seperti sek­sualitas sesama jenis dan masturbasi. Dalam logosen­trisme, heteroseksualitas bukan hanya dibedakan, melainkan juga dianggap lebih tinggi derajatnya atas praktik nonhe­tero. Bentuk seksualitas yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan melalui strategi patologis, abnormalisasi, dan kriminalitas (lihat Alim, 2004: 37-38).

Sebagai penutup bagian ini, saya ingin menampilkan satu contoh sederhana pembacaan dekonstruktif terhadap sebuah teks dalam bentuk cerita bergambar, berjudul “(Huru-Hara) Hura-Hura Pemilu’99″, karya Benny & Mice. Penun­daan makna atau differance pada teks itu difokuskan pada kata-kata (huru-hara) hura-hura. Dengan begitu, kata-kata itu merupakan differance dalam teks itu. Penulisan huru-hara dalam tanda kurung telah menggerogoti kata hura-hura yang ditulis sesudahnya. Seba­gai sebuah pesta demokrasi, pemilu merupakan sebuah pesta yang penuh dengan hura-hura. Hal itu ditunjukkan oleh peng­gambaran situasi masyarakat yang bergembira menyambut dan menjalani pemilu itu dengan senang hati dan ber­gembira. Namun, adanya kata huru-hara dalam tanda kurung itu menjadikan makna itu ditunda, untuk kemudian muncul makna yang baru. Makna baru itu berbeda de­ngan makna yang terkandung dalam teks atau makna yang mungkin dimaksudkan oleh pengarangnya.

Melalui penggambaran yang sedikit, yakni tentang beberapa kekhawatiran jika pemilu dengan banyak partai berlangsung, makna lain dari pemilu itu tersembunyi dalam teks. Penundaan terhadap makna yang pertama meng­hasilkan makna yang baru, yang dikandung oleh kata-kata (huru-hara). Selain me­ngan­dung makna hura-hura, ternya­ta, pemilu itu juga bermakna huru-hara. Dengan begitu, teks itu mengandung makna yang ambigu, yang bertentangan. Pemilu ber­makna hura-hura, sekaligus, bermakna huru-hara. Makna baru yang diperoleh dari teks itu merupakan makna baru yang, mungkin, bertenta­ngan dengan pandangan umum yang sudah dipahami oleh ma­syarakat selama ini. (Habis)

*) Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI. /01 May 2011.

Bahasa »