Marjohan
harianhaluan.com
Siapa tak kenal Hamka! Tak cuma dikenal sebagai budayawan, sastrawan, pujangga dan sejarawan. Lebih dari itu, beliau adalah ulama besar, terpandang, kaya harga diri dan bertahta di hati umat hingga kini. Begitu tersematnya tokoh yang lahir pada 17 Februari 1908—bertepatan dengan tahun Kebangkitan Nasional Indonesia ini, tidak saja pada kaum kulturalis, tapi juga elite strukturalis—tak heran pada Juni 1975, pengarang novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937) itu, ditawari oleh Menteri Agama RI—yang kala itu dibiduki Prof. Dr. Mukti Ali untuk menggenggam jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Reaksi Hamka? Apa tawaran menggiurkan itu ditelan mentah-mentah? Sebagai tokoh tempaan zaman, dan telah banyak mereguk asam garam kehidupan, beliau tak serta merta menerima tawaran yang kata orang-orang kini sekilas cukup menjanjikan secara politis plus material. Pertama-tama Hamka baiyo–batido (berkompromi) dengan sekeping nurani yang bergayut di alam pikirnya. Beliau pertimbangkan masak-masak untung rugi kedudukan strategis tersebut.Bukan untung rugi secara material, tapi bersangkut-paut dengan kondisi sosial objektif umat Islam pada masa transisi dari Orla ke Orba.
Bandingkan dengan pemuka agama di alam materialistis, pragmatis dan bahkan hedonis kini! Tidak ditawari kedudukan, dan atau jabatan pun—segelintir mereka “menyosoh-nyosohkan” diri ke tengah gelanggang, malah nyaris tergelicik menghalalkan segala cara—untuk tidak mengatakan terpengap dalam kepompong sempit “machiavellism oriented”. Dan, yang membuat umat/rakyat mengurut dada, pola-pola semacam itu, tidak saja berkecambah di habitat parpol pengusung azas Islam, parpol berbasis umat Islam dan parpol nasionalis-sekuler yang membuka diri untuk tokoh/umat Islam—memburu dan berburu jabatan/kedudukan sepertinya juga menjalar ke tubuh Ormas Islam. Sebut saja di Nahdatul Ulama (NU); Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti); Tarbiyah Islamiyah; Muhammadiyah; Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII); Korop Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI); dan lain sebagainya. Aneh bin ajaibnya—dan ini yang membuat banyak orang “manggaritih”, setelah jabatan/kedudukan digenggam (terutama di Parpol/legislatif), mereka-meraka itu (ulaaa-ika) terkesan tidak amanah. “Lah basuluah mato-ari-bagalanggang mato-rang-banyak”—yang mengemuka justru mempergemuk pundi, demi kepentingan pribadi dan keluarga—dengan dalih yang didalil-dalilkan, bila perlu mengutip ayat Al-Quran dan Hadits. Na’udzubillahi min dzalik!
Rujuk ke ihwal Hamka! Sekitar 1973/1974, Umat Islam Asia Tenggara, lebih-lebih Indonesia, benar-benar merasakan bahaya laten komunisme. Ancaman tersebut kian mencekam bahkan mengintai, atas keoknya Amerika Serikat (AS) oleh tentara Vietcong, Vietnam yang berhaluan kiri. Menurut Hamka, terminologi Ketahanan Nasional sebagai tema sentral Orba, dapat dimaknai ketahanan ideologi rakyat—ketika berhadapan dengan ideologi atheis yang diandalkan komunis. Menghadapi ideologi komunis, haruslah dengan ideologi jitu dan tahan banting. Dalam konteks ini, Dinul Islam-lah senjata paling ampuh. Sebab, selain punya pijakan jelas (Al Quran dan Sunnah), penduduk tanah air mayoritas beragama Islam (fi’ah katsirah). Tidaklah salah pemuka Islam merajut kerja sama dengan pemerintah. “Bukankah pemerintah adalah juga anti komunis”! Itulah yang menyelinap dalam pikiran Hamka pertama-tama ketika disuguhi jadi nakhoda di tubuh MUI. Sedang pertimbangan kedua, Hamka meneropong Umat Islam Indonesia sudah terlalu lama didendami rezim Orla. Sisa-sisa ideologi komunis yang diindoktrinasikan terasa masih kental, dan bahkan menyelusup tiap ada ruang. Akibat yang menyembul ke permukaan, apapun yang diperbuat umat Islam, nyaris semua dicurigai pemerintah. Sebaliknya, segelintir umat Islam pun cenderung apriori terhadap pemerintah. Apa yang diayunkan pemerintah guna mengatur negara dan pembangunan, semua salah. “Kita hampir kehilangan akal sehat, dan kondisi tidak sehat ini sejatinya dimediatori”, ujar Hamka membatin.
Apa Hamka yang selama ini bergumul di ranah kultural langsung terjun bebas ke zona beraroma politis? Bukankah Hamka pernah bilang: “Politik bukan medanku–pujangga adalah idamanku”. Dijawab Hamka! Benar kalau dikatakan begitu. Namun, orang politik menginginkan kursi empuk dan fasilitas bertukuk. Sedang Aku melihat kursi Ketua Umum MUI sebagai kursi listrik. Andai tidak cerdas menduduki, Aku bisa terbakar dan tergurajai (tersungkur). Tapi dengan niat baik, Insya Allah Aku tak akan mati. “Kursi” Ketua MUI kalau memang bakal ku-duduki mesti dengan dua syarat: tidak digaji dan tidak pula pensiun! Yang Aku inginkan, hanyalah menghidupkan kembali ghirah dan muru-‘ah (harga diri) yang sudah rapuh akibat sepak-terjang ideology of atheism yang terus mengitari umat. Usai berkompromi dengan diri sendiri, Hamka masih belum bersigegas duduk di kursi MUI. Beliau merasa perlu berurun-rembuk dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka dapat merestui mantan anggota Pimpinan PP Muhammadiyah itu, berkiprah di lembaga MUI. Dalil ‘aqliyah yang diketengahkan nyaris sama bahkan sebangun dengan Hamka.
Langkah terakhir, Hamka mohon ma-unah Allah melalui shalat istikharah berulang kali. Dan, setelah mendapat izin dari istri dan anak-anak, tepat 17 Rajab 1395 H/26 Juli 1975, Prof. Dr. Buya Hamka resmi dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat. Pada pidato malam ta’aruf di Gedung Sasono Langen Budaya Taman Mini Indonesia, selain menggariskan kebijakan MUI ke depan, Hamka mengibaratkan lembaga MUI bagai kue bika dibakar antara dua bara api. Di atas ada pemerintah, di bawah berserak-serak umat dengan latar kultur, adat dan keinginan yang kadang meledak-ledak. Maksudnya? Bila ulama berat ke atas—putus tali dengan umat, dan tak dihiraukan umat. Sebaliknya, andai ulama berat pada umat, renggang hubungan dengan pemerintah. Bahkan, pemerintah bisa menstigmanisasi ulama tak berpartisipasi dalam kancah pembangunan. Langkah bijak, justru memosisikan diri sebagai titian antara umat dan pemerintah.
Pada 17 September 1975, Hamka membuktikan filsafat kue bika itu. Bersama Sekjen MUI, Drs Kafrowi ditukuk 30 pengurus inti, Hamka bertandang ke Istana Merdeka. Dengan sikap bersahabat tapi transparan, Hamka mengungkapkan pada Presiden Soeharto tentang kegelisahan umat Islam terkait kegigihan Kaum Shalibiyah menyebarkan missi/zendingnya di tengah komunitas Islam, utamanya di kantong-kantong kemiskinan. Bertumpu pada surat Mumtahanah ayat 7-9, Hamka mengurai-paparkan fakta-fakta salibisasi di negeri ini. Nyaris tiap sebentar mereka itu (ulaaa-ika), menyuguhkan pelbagai bujukan dengan kelebihan materi yang dimiliki.
Kata berjawab-gayung bersambut! Lewat pendekatan persuasif, argumentatif dan transparansif, Presiden Suharto pun menggulirkan statemen cukup melapangkan rongga dada umat Islam yang lagi resah : “Kiat-kiat mengiming-imingi orang dengan materi untuk menambah penganut Agama adalah satu “dari pada” perbuatan tercela” (Hatta tat tabi’a mil latahum). Wallahu a’lam bish shawab.
*) Pemerhati Sosial-Budaya.