Hasnan Bachtiar *
Verily, Verily, I say unto you, Except a corn of wheat fall into the ground and die, it abideth alone: but if it die, it bringeth forth much fruit [John 12:24]
Itu hanyalah prasasti yang dikutip. Mungkin memiliki pertanda atau penilaian yang keji terhadap sesuatu. Tatkala jagung telah ditanam, akan tumbuh seratus ribu jagung serupa. Semoga tidak ada salah paham atas setiap kebaruan yang ditampilkan, karena barangkali ada pula yang mengira bahwa ini adalah upaya takwil yang tidak kalah tendensius.
Dengan kematian sebutir jagung, sebagai makanan pokok yang sangat penting, diharapkan melahirkan pohon jagung dan banyak butir lainnya. Kendati secara faktual hal itu terjadi, bukan tidak sengaja memiringkan kata “diharapkan” sebagai simbol korelasi yang arbiter (atau pura-pura arbiter) antara harapan dan proses alam yang paling alamiah. Demikian juga dengan filsafat kontemporer yang mengemuka. Rasa-rasanya, dengan kematian manusia dalam dunia filsafat, akan menghadirkan sejuta ketidaklaziman pinggiran yang mulai dianggap lazim. Tapi itu hanya harapan hati alias rasa(n)-rasa(n).
Sebenarnya jelas, dengan maraknya kumandang kematian, saat itu juga banyak mayat hidup berkeliaran. Manusia, mencoba memaknai dirinya sebagai manusia proses, yang dirudung malang karena terjangkit kecemasan. Manusia galau. Mereka tetap manusia, namun pura-pura mati. Dengan kata lain, menganggap telah saatnya manusia mati karena filsafatlah yang mesti menggantikan. Dengan demikian, hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para filsuf, sastrawan, budayawan, aktor, pemain drama dan lain sebagainya yang berdandan ala hantu atau jerangkong yang siap membuat geger seluruh kampung pengetahuan.
Di satu pihak, seolah-olah hantu beserta ketakutan memang hadir, kematian manusia memang terjadi dan yang berhak hidup dengan pelbagai jaminan hanyalah filsafat, kata, ungkapan, ritus-ritus ide, pendapat dan wacana. Seluruh kehidupan tidak berdaya dihadapan sederet mantra itu, atau paling tidak, kendati mereka masih hidup, kehidupan tak ubahnya kematian yang tertunda atau tubuhnya tergadai dengan ruh-ruh jahat dan ketakutan. Di pihak lain, jelas ini seperti orang tua yang kurang kerjaan, sedang berpakaian aneh untuk mengusir anak-anak kecil yang sedang bermain di tengah sawah atau ladang.
Dalam ungkapan ini tentu saja seluruhnya adalah ulah manusia, kenakalan yang biasa, upaya yang provokatif dan ada pula yang menyebutnya arogansi humanistik. Setiap kegairahan manusia, hati yang mengecam, coba-coba, kemarahan, penetertawaan atau sekedar apalah artinya tindakan, itulah mereka berbuat ulah, seperti maling yang tertangkap tangan atau terkaget-kaget padahal persembunyian dan kesunyian pencuri itu “ternyata” di tengah adegan teatrikal yang dihadiri banyak orang, dan akan semakin terbelalak cemas disertai deguban keras jantung bahwa, ternyata semua itu adalah mimpi, dalam pikiran yang abstrak dan menggerogoti, serta alam ketidaksadaran.
Sudah saatnya untuk tidak ragu-ragu menyanyikan kecaman-kecaman atas arogansi filsafat yang arogan, karena telah jauh terlena dengan ekstase persetubuhan dengan para bidadari atau bidadara, atau para dewa-dewi yang sedang menari erotis, atau juga karena sudah lupa bahwa “sakit” itu tidak hanya dihati, hingga misalnya karena cemburu buta ternyata seperti peluru yang memecah gelas sejak dalam pikiran, tetapi juga di alat kelamin yang dilukai dengan tonjolan besar yang keras, atau dipotong atau tak sengaja terpotong.
Silahkan merayakan kelincahan metodis. Namun, jangan pernah menipu diri bahwa manusia telah mati. Jikapun engkau (foucauldian) ingin bunuh diri, bunuhlah dirimu sendiri, bukan membunuh kemanusiaan, itu pun jika engkau berani.
19 November 2011
*) Hasnan Bachtiar, peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RëSIST) Malang, Komite Advokasi dan Informasi Rakyat Malang sebagai peneliti, ketua Lembaga Studi Terranova Malang di bidang kajian posmodernisme, anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.