Gendhotwukir *
KOMPAS, 9 Apr 2010.
Puisi bukan hanya milik penyair. Cerpenis dan novelis pun kini mendalami dan mengeksplorasi diksi secara serius. Artis, pengusaha dan penulis prosa tak ingin ketinggalan dan terkesan ramai-ramai ingin menjadi penyair pula. Dunia industri yang kian pesat seiring arus globalisasi pun menunjukkan kecenderungan yang sama dan tidak mau ketinggalan seperti jelas terungkap dalam iklan yang kian padat dan menukik. Kata-kata dan kalimat dalam iklan kalau sungguh kita amati sering mencapai kadar kata-kata yang estetis. Tak terhitung jumlahnya kalimat iklan yang menunjukkan kadar kata-katanya puitis dan benar-benar diolah dengan rasa bahasa.
Penyair Joko Pinurbo (Jokpin) sadar betul dengan fenomena di atas. Pernyataan ini diungkapkannnya dalam bincang-bincang dengan sebuah media cetak dan lantas melihatnya sebagai sebuah tantangan untuk menjaga kualitas dan bahkan tertantang untuk meningkatkan kualitas puisi-puisinya agar tidak berada di bawah standar iklan. Fenomena yang ditangkap oleh Jokpin tentu saja menjadi tantangan bagi setiap penyair dewasa ini. Olahan kata-kata dari penyair harus lebih tajam dan menukik.
Gempuran globalisasi yang terwujud dalam komunikasi yang kian cepat dan pesat tentu saja menguntungkan, tetapi di sisi lain bisa jadi menggerus ketahanan seorang penyair yang wajib menjaga puitisitas puisi-puisinya. Menguntungkan karena arus publisitas puisi kian cepat, tidak perlu lagi menunggu hitungan hari dan jam, tetapi hanya dalam hitungan detik saja puisi sudah bisa tersiar baik melalui webseite, milis, blog, facebook, friendster dan media publikasi lainnya. Kenyataan yang sulit dibayangkan ketika di masa lalu belum ada yang namanya internet.
Sisi kurang baiknya bisa dikatakan terjadinya euforia publisitas puisi yang tidak menjaga puitisitas puisi. Kalau hal ini yang terjadi moga saja tulisan ini bisa dijadikan semacam pecutan sekaligus titik diam sejenak untuk merenungkannya. Dunia maya atau cyber memang benar-benar menjadi media pembelajaran. Hal demikian tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Banyak penyair yang menjadikannya sebagai media pembelajaran dan bahkan pendalaman.
Aturan main dunia maya memang tidak jelas. Si pelaku cyber bertanggungjawab atas diri dan publisitas karya-karyanya. Aturan yang tidak jelas ini bisa jadi merongrong kualitas karya. Meski demikian, tak dapat dipungkiri munculnya fenomena bahwa akan lahir penyair-penyair yang berkualitas dari dunia cyber karena ketekunan dan keseriusaannya mendalami puisi.
Pengendapan
Pergulatan menjaga puitisitas puisi tentu saja terkait dengan pergulatan kisah-kisah baru, metafor baru, bentuk-bentuk baru, citraan baru, aforisma baru dan sensasi-sensasi baru. Pergulatan ini mengandaikan ada kedinamisan, ketekunan dan ketajaman seorang penyair dengan dunia kepenyairannya. Tuntutan ekplorasi terus menerus dari seorang penyair menjadi diktum yang tidak boleh diemblemkan begitu saja tanpa pengaktulaisasian. Kecerdasan eksplorasi dan kekentalan dalam olah rasa bahasa akan melahirkan kesegaran-kesegaran baru. Citra puisi yang segar dan menggetarkan akan lahir. Kesegaran yang dimaksud tentu bukanlah kesegaran yang bersifat sensasi sesaat dan artifisial.
Eksplorasi membutuhkan pengendapan. Hal inilah yang tentunya berseberangan dengan semangat euforia. Euforia ditandai dengan perasaan yang menggebu-gebu dan cenderung tidak terkontrol. Pengendapan ditandai dengan kontrol diri dan penenangan diri. Pengendapan di dunia kepenyairan sangat dibutuhkan terkait dengan usaha pencapaian karya puisi yang estetis.
Ada kecenderungan bahwa dunia cyber mengikis budaya pengendapan ini. Budaya instan dan arus cepat dalam publikasi kadang kurang memperhatikan unsur pengendapan. Karena seperti dikejar-kejar target ada kecenderungan penyair yang secara gampang mempublikasikan karya-karyanya. Saking produktifnya, sehari bisa tercipta beberapa puisi. Tidak hanya di blog saja, kecenderungan lain yang paling nampak biasanya terlihat di dunia milis. Saking semangatnya, seseorang bisa mempublikasikan banyak puisinya yang tercipta pada hari yang sama. Sah-sah saja dan tidak ada larangan.
Penulis tentu saja tidak akan menilai secara gampang dan gegabah karya-karya cyber. Fakta menunjukkan banyak penyair yang memanfaatkan dunia cyber tidak untuk gagah-gagahan tetapi untuk usaha eksplorasi tanpa terjebak pada euforia. Penulis hanya menangkap satu fenomena dasar bahwa produktivitas bisa mengikis ketahanan diri terkait mutu artistik. Kerangka logis fenomena ini yaitu ketergesaan yang mengabaikan pengendapan mengakibatkan kelahiran karya yang belum matang. Setengah matang atau tanggung.
Ibarat makanan yang seharusnya dimasak sampai matang tetapi disuguhkan setengah matang, maka puisi akan terasa aneh, ganjil dan membuat tidak nyaman. Keanehan, keganjilan dan ketidaknyamanan ini tentu jauh dari yang dimaksud dengan kesegaran-kesegaran baru sebagai wujud keberhasilan pencapaian mutu artistik. Mutu artistik tidak harus terkesan gagah dan elitis dalam diksinya karena kesederhanaan bisa jadi tidak akan menghilangkan puitisitas tapi justru membantu audiens menangkap makna dan sampai kepada pesan. Tentu saja tidaklah gampang menjadi sederhana yang puitis. Tidak gampang menjadi sederhana tetapi tetap menjaga puitisitas. Untuk mencapai taraf ini diperlukan kerja keras si Penyair.
Produktivitas bagi beberapa penyair sebenarnya terkesan seperti momok dan hantu yang menakutkan. Hal ini terkait dengan tanggung jawab mutu artistik dan pencapaian estetik. Mereka sadar dari banyak pengalaman bahwa produktivitas banyak ditunggangi oleh alam pikir yang dangkal. Mereka ini dalam situasi produktif biasanya mengimbanginya dengan pengendapan dan mengolah karya-karya yang dihasilkan lebih dalam. Mereka menahan diri dan tidak akan buru-buru ikut arus publisitas yang serba instan dan cepat. Dalam hal ini penulis melihat bahwa di sinilah letak tanggung jawab estetik bagi setiap penyair. Bukan untuk gagah-gagahan tetapi untuk kualitas.
Pembantaian
Sikap ketat penyair menjaga puitisitas puisi populer pula dengan istilah “pembantaian”. Pengendapan tidak hanya boleh berarti diam begitu saja, tetapi perlu ada usaha pendalaman dan penajaman. Pengendapan adalah kerangka proses kreatif. Hal ini terwujud dalam istilah “pembantaian” sesuai penngalaman Raudal Tanjung Buana ketika berada di Sanggar Minum Kopi Bali bersama Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira.
Di Sanggar Minum Kopi ada tradisi kreatif. Dialog karya dan pembantaian terjadi di sana. Puisi biasa dibongkar dan dirombak. Puisi dibantai. Raudal Tanjung Banua asal Padang dalam antologinya Gugusan Mata Ibu (Bentang, 2005) membenarkan bahwa puisi-puisi semua penyair di Sanggar Minum Kopi Bali sudah biasa dibongkar dan dirombak. Kalau puisi kerap diasumsikan sebagai anak kandung spiritual penyairnya, tentu akan ada saja rasa kecewa dan sakit hati. Tapi anehnya, tidak ada di antara mereka yang kapok, malah selalu mencandu untuk datang membawa puisi baru, kemudian dibantai lagi beramai-ramai.
Proses kreatif di Sanggar Minum Kopi Bali tersebut tidak jauh beda dengan proses kreatif yang dialami Dr. JJ Kusni di Paris ketika masa mudanya masih di Yogyakarta. Pengalaman ini dituturkan pada penulis melalui korespondensi email ketika penulis masih di Jerman dalam kesempatan diskusi karya puisi. Tradisi seniman Yogya serta Republik Sastra-Seni Bringharjo menyebutnya sebagai proses saling asih, saling asah dan saling asuh.
Pengendapan sudah selayaknya diikuti dengan penajaman entah itu dengan pembantaian atau proses saling asih, asah dan asuh. Kalau media cyber dilihat secara positif sebagai ladang pembantaian terkait isi dari pengendapan maka sudah selayaknya media cyber tidak hanya dilihat sebagai media publikasi. Pembantaian dan dialog karya yang terjadi di media cyber perlu ditindaklanjuti dengan kelahiran puisi baru yang telah direvisi. Belum pernah ada penyair di milis yang dengan jujur dan berani setelah puisinya dikritik lalu mempublikasikan hasil revisinya. Yang banyak terjadi justru kemunculan puisi-puisi lain dari penulis yang sama.
Kebiasaan merombak dan menjungkirbalikkan puisi tidak berkembang secara efektif dan edukatif di dunia maya. Yang terjadi paling banyak ungkapan kesan senang tidak senang saja atas puisi. Hal demikian tentu saja wajar mengingat dunia maya yang hanya punya aturan maya, kecuali dalam aturan jerat hukumnya yang bisa menjerat seseorang untuk diseret ke meja hijau terkait pencemaran nama baik.
Pengendapan dan pembantaian adalah cara yang jitu untuk menegaskan kualitas puisi. Pengendapan dan pembantaian bukanlah dua alur yang berbeda dalam proses kreatif, melainkan sinergi usaha para penyair sebagai wujud tanggung jawabnya dalam pergulatan sengitnya menjaga puitisitas puisi.
____________________
*) Gendhotwukir, penyair dan jurnalis dari Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM). Penulis dengan alamat blog: http://gendhotwukir.multiply.com ini pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch – Theologische Hochschule Sankt Augustin, Jerman.
Dijumput dari: http://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/04/09/oase-menjaga-puitisitas-puisi/