Suara Perlawanan Seorang Pluralis

Judul Buku : Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama
Penulis : Moh. Shofan.
Penerbit : Samudra Biru, Jogjakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 156 Halaman + Indeks
Peresensi : Ahmad Fatoni *

WACANA tentang pluralisme sampai kini masih terus diperbincangkan, terlebih ketika diskursus itu merangsek ke ruang agama. Dalam konteks Indonesia, pluralitas agama seakan ditakdirkan selalu terbelenggu dalam posisi problematis. Memang, siapa pun tidak ada yang menyangkal adanya fakta pluralitas agama di negeri ini.

Salah satu sisi problematik dari pluralitas agama adalah adanya potensi konflik antarumat beragama. Tentu ini terasa ironis mengingat visi perenial agama mana pun senantiasa menekankan pada keadilan dan kesetaraan manusia. Potensi konflik dalam keragaman agama biasanya berada di luar ranah perenial agama.

Namun, sebagaimana kata Hegel, realitas memang tersusun dari proses dialektis. Begitu pula arus sebuah gagasan acap mengalami dialektika, terutama tatkala bersentuhan dengan realitas sosial. Dari situ, sampai saat ini, gagasan pluralisme agama di Indonesia tersosialisasi menjadi diskursus publik yang bersifat polemis.

Buku Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama ini cukup menggoda adrenalin pembaca terutama karena ditulis salah seorang “tumbal” gagasan pluralisme agama, lantas ia menumpahkan esai-esai perlawanan—lebih tepatnya pembelaan—atas peristiwa dramatis yang pernah menimpa dirinya.

Tragedi tersebut bermula saat Moh. Shofan menulis artikel tentang mubahnya seorang muslim mengucap selamat natal kepada umat Kristiani. Tulisan berjudul “Natal dan Pluralisme Agama” yang dimuat di sebuah harian lokal Surabaya, itu dinilai telah mengganggu akidah Islam hingga menyebabkan Shofan terdepak dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jawa Timur, tempat ia mengajar, awal 2007 lalu.

Buku ini sungguh mendobrak faham-faham konvensional dan terkesan sangat antipati terhadap kalangan radikalis-fundamentalis. Daya jelajah pemikiran penulis dalam buku ini hampir tak mengenal zona terlarang. Seolah Shofan telah memasuki kawasan tabu dengan menohok fenomena sosial umat Islam Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan gejala semakin menguatnya Islam radikal-fundamentalis.

Dalam pandangan Shofan, fenomena radikalisme Islam merupakan suatu penyakit berbahaya yang akan menjadi perusak peradaban. Karena itu, masih menurut Shofan, radikalisme yang menghalalkan cara-cara kekerasan atas nama agama dalam memenuhi kepentingan-kepentingan terselubung, hendaknya dihindari. Kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah, Ahad (25/9), merupakan bukti adanya penyebaran teror berjubah agama.

Apa pun alasannya, kiranya ekspresi pemikiran Shofan dalam buku ini, sebagai pengusung gagasan pluralisme agama, niscaya banyak menuai “kutukan” khususnya dari kaum radikal Islam. Tidak cukup dengan kutukan, mungkin mereka secara teologis telah memfatwanya sudah keluar dari sumber otoritatif Islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.

Barangkali, lebih bijak bila kalangan radikal-fundamentalis Islam tidak hanya mencaci, menghujat, dan mengutuk pemikiran progresif-liberatif semisal penulis buku ini, yang memang kelihatan nyeleneh dan nakal. Pemikiran anak muda ini senyatanya didialogkan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Jadi jalan dialog sebenarnya masih terbuka lebar dengan cara—meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif—“mempertengkarkan” apa yang menjadi kegaduhan di kalangan mereka.

Kehadiran buku ini setidaknya cukup memberi titik terang terhadap sejumlah soal yang diperdebatkan dalam wacana pluralisme agama. Di sini masyarakat dapat dengan leluasa mencermati silsilah argumentasi yang diajukan penulis sebagai penyangga pluralisme agama. Cara seperti ini akan lebih arif ketimbang melancarkan aneka tindak kekerasan di wilayah publik.

Hanya, penulis buku ini tidak secara sistematis dan kokoh ketika membangun argumen-argumennya dalam menegakkan pluralisme agama yang ia perjuangkan, dan lebih hanya merespons beberapa poin kontra gerakan Islam radikal-fundamentalis yang dianggap sebagai musuh terberat pluralisme agama di negeri ini.

*) Ahmad Fatoni, Penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM