Idris Pasaribu
__Harian Analisa (Medan), 22 Mei 2011
Komunitas, adalah sebuah perkumpulan yang komunal. Dia bisa terbentuk oleh sebuah rencana yang matang, bisa pula dadakan. Bisa terbentuk atas prakarsa beberapa orang saja, kemudian merekrut orang lain untuk bergabung di dalam komunitas itu.
Setelah semuanya kumpul, dibentuklah kepengurusan komunitas dan nama komunitas, atau bisa pula beberapa orang sudah menyiapkan sebuah nama untuk komunitas yang bakal mereka lahirkan. Disiapkanlah anggaran dasarnya, atrau bisa juga hanya beberapa orang yang pada mulanya menyiapkan diri untuk membentuk sebuah komunitas mereka sudah menyiapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Banyak cara untuk melahirkan sebuah komunitas yang masing-masing komunitas memiliki ciri tersendiri pula. Ada yang lebih banyak ngobrol daripada berkarya, tapi ada juga yang diam-diam secaraq rutin terus membahas karya anggotanya dan membahas karya orang lain secara objektif.
Komunitas sastra, pada mulanya sekelompok para sastrawan di jogjakarta berkumpul di bawah pohon mangga di tepian sebuah jalan. Secara tak sadar, pohon mangga itu tempat mereka mangkal dan bertemu setiap hari, mendiskusikan karya-karya mereka dan karya orang lain. Mereka pun menamakan diri mereka komunitas Sorlem =Ngisor Pelem atau di bawah pohon mangga. Merteka berhasil mengundang para dosen sastra dari berbagai universitas yang ada di jogjakarta. Mengundang para sastrawan ternama yang ada di Jogja maupun yang di Jakarta serta daerah lain yang kebetulan datang ke Jogjakarta. Konon kabarnya -entah benar entah enggak- mereka juga sempat mengundang Gus Dur ketika mau menjadi Presiden RI.
Lama kelamaan mereka membutuhkan siapa yang bertanggungjawab mengurus komunitas ini, hingga mereka menentukan kepengurusan komunitas Sorlem secara formal, walau secara tidak formal mereka tidak mengenal kepengurusan.
Di bawah pohon mangga mereka berdiskusi, akhirnyua di bawah p[ohon mangga mereka melahirkan karya sastra dan dari bawah pohon mangga itu pula mereka menerbitkan karya-karya mereka yang disebarkan ke seluruh Indoneisa. Bahkan kata berita, di antara mereka ada yang sudah mendirikan sebuah penerbitan dan berkembang dengan pesat.
Menurut berbagai diskusi, konon kabarnya komunitas yang didirikan secara dadakan, apalagi didirikan oleh sekelompok orang saja, setelah berdiri baru merekrut anggotanya, usianyha tidak akan panjang. Apalagi kalau di dalam komunitas itu secara tak langsung pendirinya adalah pemegang kuasa mutlak. Ketentuan ditetapkan oleh pemegang kuasa, hingga anggota yang ikut bergabung mau mengembangkan diri, sebaliknya tak bisa berbuat apa-apa.
Senior adalah raja yang menjadi anutan, demikian sebagaian pengurus komunitas secara terselubung menanamkan ketentuan itu kepada anggota-anggotanya. Terlebih jika para anggota memasuki komunitas memeliku kepentingan tertentu, mereka masuk ke sebuah komunitas, hanya secara formal saja, agar tak tersingkir dari sebuah komunitas yang lebih besar. Tidak tersingkir di kampus atau di tempat lainnya.
Kondisi seperti ini tentu saja tidak sehat, apalagi dalam beberapa komunitas ada tokoh yang ikut di dalamnya. Artinya menurut Ahmadun Yosi Herfanda, ada yang menamakan dirinya tokoh ada dalam berbagai pengurus komunitas sastra. Bukan hanya dalam satuy komunitas. Anehnya pula, anggota komunitas juga demikian. Sebagai seorang pemula dia berada di beberapa komunitas, hingga dia tak bisa fokus mengiktui kegiatan komunitas itu sendiri.
Darwis Rifai Harahap, ketika mengikuti sebuah Omong-omong Sastra di Binjai menuliskan apa yang diungkapkan oleh Ilham Wahyudi. Dalam tulisan Darwis, Ilhan wahyudi sebagai penyair muda mengecam keras ada orang-orang yang mendirikan berbagai komunitas sastra, dimana mereka yang menjadi pengurusnya. Kemudian mereka merekrut anggota komunitas dari sebuah kampus dan anggotanya juga ikut di berbagai komunitas, mengikuti yang merekrutnya.
Dalam tulisan Darwis Rifai Harahap digambarkan, betapa Ilham Wahyudi mengecam bahkan mengeritik habis-habisan mereka yang mendirikan beberapa komunitas sastra, dimana mereka yang menjadi pengurusnya. Sayang Darwis tidak menuliskan, siapa mereka itu, dan komunitas apa saja yang mereka dirikan.
Ilham Wahyudi yang boleh dikatakan masih baru nimbrung di dunia kepenyairan, sudah mampu melihat ketidaksehatan beridrinya komunitas dan memberfikan kritik tajam. Orang-orang sepertiu Ilham Wahyudi, memang dibutuhkan sebagai orang muda yang dinamik. Penulis masih ingat lebih 30 tahun lalu, dimana penulis dan rekan-rekan seangkatan, sangat kritis dan tidak sungkan-sungkan memberikan kritik, jika memang tidak sesuai dengan apa ada.
Apakjah Ilham Wahyudi terlalku kritis dan tidak bermoral, karena dia mengeritik seniornya? Rasanya, kritikan kaum muda sangat dibutuhkan dan jika kritiknya kurang mengena, para seniorlah yang memberikan arahan dan masukan serta meluruskannya. Sebaliknya, sudah seharusnya para senior mendidik para juniornya untuak menjadi manusia kritis kareaqn di dalan jiwa yang suka mengeritik, mereka akan cepat berkembang, asal kritik mereka memang bukan didasari pada rasa sentimen.
Mednurut penulis, Ilham Wahyudi juga perlu belajar bagaimana cara mengeritik yang baik agar mereka yang sudah merasa senior tidak tersinggung, karena menurut mereka, mereka sudah banyak makan asam garam.
Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2011/09/10/hiruk-pikuk-komunitas-2/