Bagian pertama dari dua tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
_Republika, 30 April 2006
Poetry begins in delight And ends in wisdom.
Tesis singkat penyair AS, Robert Frost, di atas rasanya sangat pas untuk memulai pembicaraan tentang sajak-sajak karya 50 perempuan dalam Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia (APPPI) 2005 (Risalah Badai dan Ksi, 2005) yang dieditori oleh Mathori A Elwa.
Sebagaimana terasa pada buku kumpulan sajak tersebut, dewasa ini kegiatan menulis puisi makin menjadi kesenangan (hobi) banyak orang yang dilakukan dengan penuh kegairahan dan kesukacitaan (delight). Puisi menjadi ‘media bermain’ banyak orang dan di ujung permainan itu orang dapat menemukan kebijaksanaan ataupun kearifan hidup (wisdom), yang tidak hanya berpotensi untuk mencerahkan diri sendiri tapi juga pembaca.
Kenyataannya, saat ini, puisi tidak selalu ditulis hanya untuk tujuan kesastraan, tapi juga sebagai media sosialisasi dan aktualisasi diri, serta sarana untuk bersilaturahmi. Bukan hanya penyair atau orang yang berobsesi menjadi penyair yang dewasa ini gemar menulis puisi, tapi siapa saja, sejak buruh pabrik sampai majikan, sejak pegawai rendahan sampai presiden, sejak penganggur sampai eksekutif yang super sibuk, sejak mahasiswa sampai dosen, sejak ibu rumah tangga sampai wanita karir.
Di Tangerang, misalnya, banyak buruh pabrik yang gemar menulis puisi, sementara di Kudus seorang direktur perusahaan rokok (Thomas Budi Santoso) juga hobi menulis puisi. Di Tegal ada seorang pegawai pamong praja (Lebe Penyair) yang getol menulis puisi, dan di Jakarta ada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga hobi menulis puisi. Banyak penulis puisi kita yang menurut kriteria Depnakertrans adalah penganggur, tapi ada juga eksekutif yang produktif menulis puisi. Dan, kalau menyimak buku-buku kumpulan puisi yang diterbitkan Risalah Badai itu, maka kita akan menemukan sejak ibu rumah tangga sampai wanita karir, misalnya saja Medy Loekito dan Santined.
Begitulah realitas perpuisian Indonesia kini, menjadi dunia yang dapat dimasuki oleh siapa saja. Sehingga, kata-kata Chairil Anwar, bahwa yang bukan penyair tidak ambil bagian, seperti tidak berlaku lagi, karena pada kenyataannya semua orang bisa ikut ambil bagian. Bahkan, di Jakarta ada komunitas penggemar menulis puisi Komunitas Bunga Matahari (KBM), yang anggotanya berasal dari berbagai kalangan, dan pada waktu-waktu tertentu berkumpul di kafe untuk membacakan karya-karya mereka, tanpa pretensi untuk melahirkan penyair ataupun pencapaian estetik yang tinggi. Kegiatan menulis puisi lebih menjadi media kesenangan, media silaturahmi, curahan pikiran dan perasaan. Kalaupun mereka menerbitkan buku kumpulan puisi — seperti KBM yang menerbitkan Antologi Bunga Matahari (Avatar Press, 2005) — lebih sebagai wadah aktualisasi diri.
Begitu juga, kurang lebih, orientasi penerbitan seri antologi puisi Surat Putih dan APPPI 2005 yang dimotori oleh Risalah Badai. Pada ‘tradisi bersastra’ seperti itu pula buku-buku Risalah Badai lebih pas untuk ditempatkan. Meskipun, kita tidak dapat menutup mata, bahwa di dalamnya ada sosok-sosok penyair yang menunjukkan kesungguhan dalam berproses, seperti misalnya Helvy Tiana Rosa, Diah Hadaning, Dianing Widya Yudistira, Akidah Gauzllah, Rukmi Wisnu Wardhani, Evi Idawati, Miranda Putri, dan Fatin Hamama, yang menampakkan orientasi kesastraan.
Di luar negeri, juga di media saiber (cybermedia), lembaga, komunitas dan individu, penggemar puisi yang tidak hanya berorientasi kesastraan dewasa ini juga semakin marak. Di tingkat internasional, misalnya ada The International Society of Poets (ISP) dan The International Library of Poetry (ILP) — keduanya bermarkas di AS. Secara periodik, ISP mengadakan pertemuan internasional para penggemar puisi dengan kemasan yang penuh kegembiraan disertai penerbitan buku kumpulan sajak. Sedangkan ILP tiap musim menerbitkan buku kumpulan sajak secara patungan dan dapat diikuti oleh siapa saja — tidak harus penyair. Meskipun ada tradisi kompetisi (lomba), semangat ILP lebih menghimpun siapa saja yang gemar menulis sajak melalui internet. Nyaris begitu juga sebenarnya semangat Cybersastra.net, yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin berekspresi melalui sajak.
Berbagai kegiatan kesastraan di tingkat Asia Tenggara (Nusantara), terutama yang dimotori oleh para penulis Malaysia dengan Gapena-nya, semisal Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) sebenarnya juga tidak sepenuhnya berorientasi kesastraan. PSN, misalnya, lebih terasa sebagai forum silaturahmi ketimbang forum sastra untuk memecahkan persoalan bersama secara lebih serius. Apalagi kalau kita mengikuti iven-iven kesastraan di Malaysia yang selalu bertabur pantun dan penuh kegembiraan — ngobrol, jalan-jalan, tidur di hotel, dan makan enak. Eksistensi karya sastra (puisi) tidak lagi dilihat bagaimana kualitas estetiknya, tapi bagaimana kemampuannya menyapa dan menggembirakan audiens.
Ciri utama yang dominan dari tradisi-tradisi bersastra seperti di atas adalah dinomorduakannya standar estetik ataupun kriteria-kriteria kesastraan yang ketat dalam memilih karya untuk dibukukan, ditayangkan dan ditampilkan di depan audiens. Sebab, yang terpenting bukanlah kualitas estetik tiap karya, tapi lebih kebersamaan, keguyuban, dan kegairahan untuk menulis, dimana setiap penulis puisi — siapapun mereka — mendapat kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri melalui sajak di ruang atau media yang sering mereka idolakan sebagai ‘ruang sastra yang paling demokratis’.
Memang sering ada editor yang melakukan proses seleksi, tapi rata-rata bersikap sangat longgar. Bahkan, keikutsertaan seseorang ke dalam sebuah antologi puisi, seperti diterapkan oleh ILP dan ISP, sering hanya ditentukan oleh kesanggupannya untuk membayar sejumlah dana tertentu sebagai ‘dana patungan’ untuk penerbitan buku dan penyelenggaraan acara. Sehingga, kalau kita ingin tampil di forum-forum penyair internasional saat ini — termasuk Forum Pengucapan Puisi Dunia di Kualalumpur dan beberapa eve internasional di Australia — tidak perlu menjadi penyair hebat dulu, tapi cukup peluang akses ke Panitia, kesediaan untuk membiayai diri sendiri atau membayar dana yang dipersyaratkan.
Jadi, kalau Risalah Badai menerapkan ‘metode gotong-royong’ yang kurang lebih demikian, maka ia tidak sendiri, karena metode serupa telah dimulai di AS, Australia, Malaysia, dan mungkin juga Eropa. Dalam mengikutkan karya-karya ke antologi puisi ILP dan ISP — mungkin juga antologi Risalah Badai — jangan berharap akan mendapatkan honor, karena yang diharapkan justru kedermawanan para ‘penghobi menulis puisi’ untuk berbagi beban. Maka, soal kualitas karya-karya yang ditampilkan pada akhirnya akan dikembalikan pada publik sastra untuk menilainya sendiri.
Menulis puisi tanpa orientasi kesastraan — tanpa pretensi untuk menjadi penyair atau mencapai prestasi estetik yang tinggi — tentu akan lebih banyak melahirkan sajak-sajak yang bersahaja, ala kadarnya, yang ‘pokoknya puisi’ — yang kadang-kadang gagap dalam pengucapan. Memang, bisa jadi sajak-sajak tersebut terasa indah dan bermakna, tapi bukan karena pergulatan kreatif yang intensif namun lebih karena kepekaan estetik oleh bakat alamnya. Meskipun begitu, bukannya tidak mungkin dari orientasi penciptaan seperti itu akan lahir sajak-sajak yang mengesankan dengan pencapaian estetik yang lumayan tinggi.
Pencapaian prestasi estetik memang tidak terlalu penting dalam tradisi penciptaan yang demikian, sebagaimana ketika para buruh pabrik di Tangerang menulis sajak tidak untuk prestasi kesastraan tapi lebih untuk kepentingan non-sastrawi, seperti media pembelaan, pembebasan, aspirasi dan kritik terhadap iklim perburuhan di Indonesia. Maka, rasanya kurang pas memaksakan pendekatan estetik dengan standar-standar kesastraan tertentu terhadap sajak-sajak dalam buku-buku antologi puisi yang diterbitkan Risalah Badai. Lebih arif kalau kita nikmati saja puisi-puisi dalam kedua buku tersebut sambil mencoba memahami apa yang sesungguhnya ingin mereka katakan.
*) Ahmadun Yosi Herfanda, Sastrawan
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFhVAFcACA5X