Adakah Tali-Temali Sastra dan “Pemberontakan”?

Damar Juniarto

Pemberontakan rakyat terjadi di Mesir tahun 2011 ini. Sementara itu sekian lama sastra di Timur Tengah (Negara-negara Arab hingga Mesir) kerap mengusung tema “pemberontakan” dan dipenuhi kisah para penulis yang harus keluar masuk penjara karena buah pikirannya yang dianggap subversif. Benarkah ada hubungan antara sastra dan pemberontakan sesungguhnya yang terjadi di luar ranah sastra?

SEKIRANYA sastrawan Mesir sekaligus pemenang Nobel Sastra tahun 1988, Naguib Mahfouz, masih hidup hingga hari ini, ia akan berusia 100 tahun (11 Desember 1911) dan sudah barang tentu ia akan bereaksi senang pada apa yang terjadi di Mesir belum lama ini. Unjuk rasa besar-besaran menentang Hosni Mubarak terjadi jauh lebih besar dari tahun 1981, di masa Naguib Mahfouz masih menulis. Diawali dengan seorang pria berusia 50 tahun membiarkan dirinya sendiri terbakar di luar gedung parlemen, meniru aksi bunuh diri di Tunisia pertengahan Desember 2010. Kemudian rentetan peristiwa setelah itu menimbulkan pemberontakan rakyat dan menggulingkan kekuasaan Mubarak.

Apa yang terjadi pada tahun 2011 ini seperti menjawab apa yang sudah ditulis sebelumnya oleh Naguib Mahfouz dalam kurun waktu hidupnya. Ia telah menulis paling tidak 33 novel, 30 naskah drama, 13 antologi cerita pendek, dan novel-novelnya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, terlebih setelah ia memenangkan Nobel Sastra pada tahun 1988. Buah pikirannya merentang luas mulai dari realisme sosial hingga cerita sahibul hikayat yang ada dalam kisah seribu satu malam. Karya-karya awalnya bicara tentang kepemimpinan Mesir dengan memproyeksikannya dalam kisah yang terjadi di Mesir Kuno. Kemudian ia menulis trilogi Kairo yang menghantarkan anugerah Nobel Sastra yang secara lugas berbicara tentang Mesir Modern lewat kehidupan keluarga Mesir selama tiga dekade, mulai dari revolusi melawan pendudukan Inggris tahun 1919 hingga akhir Perang Dunia Kedua.

Di Indonesia, karya-karya Naguib Mahfouz yang dikategorikan ke dalam genre sastra Arab paling banyak diterjemahkan setelah puisi-puisi Kahlil Gibran. Tercatat mulai dari Pengemis (Grafiti 1996), Lorong Midaq (Yayasan Obor Indonesia, 1996), Aku Musa Engkau Firaun (Tarawang, 2000), Kabar Dari Penjara (Tarawang 2000), Hari Terbunuhnya Presiden (Fajar Pustaka Baru, 2000), Di Bawah Bayang-Bayang Perang (Fajar Pustaka Baru, 2000), Zahiya (Tarawang, 2000), Awal dan Akhir – Jilid I dan II (Yayasan Obor Indonesia, 2000), Hotel Miramar (Fajar Pustaka Baru, 2001), Cinta di Kota Terlarang (Bentang), Kisah Seribu Satu Siang dan Malam (Bentang, 2002), Lelaki dalam Pasungan (Jendela, 2003), Demit (Pustaka Alief, 2003), Harafisy (Bentang, 2004), dan Karnak Cafe (Alvabet, 2008). Apa yang dapat dipelajari dari karya-karya Naguib Mahfouz ini?

Sastra sebagai Potret Sosial

Dalam novel Awal dan Akhir (Yayasan Obor Indonesia, 2000), misalnya, Naguib Mahfouz tidak tanggung-tanggung menggambarkan persoalan yang mendera masyarakat Mesir pada tahun 1940-an: kemiskinan. Tetapi ia tidak menjual cerita kemiskinan sebatas persoalan ketidakmampuan daya beli dan sumpah serapah mereka yang miskin atas kemalangan hidupnya, Mahfouz membungkusnya dengan sebuah konflik moral, material dan spiritual yang insightful. Novel itu bercerita tentang problem yang dialami oleh sebuah keluarga kelas menengah di Mesir yang tiba-tiba saja terpuruk dalam kemiskinan karena kematian ayah mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Korupsi dan pengelolaan layananan masyarakat yang buruk turut menjadi latar novel ini di saat kisah tragis terjadi secara beruntun pada keluarga Kamel Affandi Ali ini. Lewat cerita bergaya realisme sosialis ini, Mahfouz menyodorkan betapa rentannya kehidupan di Mesir pada saat itu dan kejadian tragis yang terjadi pada keluarga Kamel Effendi Ali adalah cerita milik semua keluarga di Mesir.

Tetapi karya yang paling kental jati dirinya sebagai potret sosial adalah trilogi Kairo: Bayn al Qasrayn, Qasr al Shawq, Sukkariya (Between-the-Palaces, Palace of Longing, Sugarhouse) yang dinamakan sesuai nama jalan yang benar-benar ada di Mesir. Karakter-karakter di dalam ceritanya hampir kebanyakan adalah orang-orang pada umumnya: PNS, tukang sayur, penjaga warung, pensiunan, maling kelas teri, petani, pelacur, perempuan yang terbelenggu tradisi, hingga orang yang salah tangkap.

Sastrawan Sebagai Penyulut “Pemberontakan”

Disebut dalam keterangan karir kepenulisannya, Naguib Mahfouz menulis pada umur 17 tahun dan pada awal-awal karyanya ia terpengaruh oleh Taha Husayn, yang karyanya memicu reaksi histeris orang-orang konservatif. Sewaktu kuliah ia banyak membaca Salama Musa, editor al-Majalla al-Jadida dan memegang teguh prinsip “percaya pada ilmu eksakta, sosialisme dan toleransi.” Selepas Perang Dunia Kedua, Mahfouz meninggalkan pikiran sosialisme dan masuk ke jurang pesimisme yang dalam. Ia kerap kali mempertanyakan fungsi sastra. Mesir pada masa itu mulai semakin represif. Banyak sastrawan yang terang-terangan bersuara menentang represi berakhir dengan penangkapan dan pelarangan buku.

Kemudian Naguib Mahfouz menggunakan metode menulis dengan cara ini membuat Naguib Mahfouz bisa menyampaikan “pemberontakan”-nya pada pemerintahan yang menyengsarakan rakyat Mesir kebanyakan pada masa itu tanpa harus menjadi sia-sia karena berujung pada pemberangusan karya dan pemenjaraan dirinya. Kekuasaan yang represif itu ditelikung Mahfouz dengan menyodorkan cerita-cerita fiksi historis yang berlatarbelakang Mesir Kuno. Padahal di dalamnya, Mahfouz menyampaikan tiga hal yang menyebabkan Mesir bobrok, yakni: monarki yang lalim, imperialisme, dan antek-antek imperialisme. Dengan cepat karya-karyanya diterima masyarakat dan kemudian disusul kisah-kisah berikutnya dengan realisme sosialis yang lebih matang lagi.

Tali-Temali?

Pembuktian sahih atas apa yang ditulis Naguib Mahfouz memicu pemberontakan di tahun 2011 jelas belum ada dan barangkali tidak ada. Tetapi saya yakin bahwa Naguib Mahfouz adalah novelis yang turut mengkonstruksikan adanya gagasan “pemberontakan” ke dalam alam pikiran masyarakat Mesir akan pemerintahan yang represif dan tidak mendengarkan suara rakyat.

Diktum “sastra berbicara pemberontakan intelektual” bukanlah slogan kosong. Banyak sastrawan di belahan negara lain telah membuktikannya. Ismael Kadare di Albania, Naguib Mahfouz di Mesir, Halldór Kiljan Laxness di Islandia dan sederet sastrawan lain dapat disebutkan. Bagaimana dengan Indonesia? Barangkali ini juga yang perlu ditemukan agar semangat “pemberontakan” itu selalu hidup dalam diri kita sehingga saat media yang lain tersumbat, sastra dapat maju ke depan mengambil peranan.

[dam] /14 Des 2011

Bahasa »