Maria Magdalena Bhoernomo *
seputar-indonesia.com
ENTAH karena habis melahap lempuk durian seberat dua ons menjelang petang, atau karena sudah satu pekan meninggalkan istri, malam itu Kangmas memberanikan diri mengetuk pintu kamar tempat Diajeng menginap.
Kebetulan bersebelahan dengan kamarnya, dan Diajeng ternyata bersedia membukakan pintu dengan tersenyum manis, setelah lebih dulu menanyakan siapa yang mengetuk pintu. Lalu Kangmas pun memberanikan diri memeluk Diajeng, dan ternyata Diajeng pun membalas pelukan Kangmas dengan mesra. Dan Kangmas tahu, betapa detak jantungnya berpacu dengan detak jantung Diajeng, makin keras, makin keras, sampai kemudian keduanya tiba-tiba sudah terbaring letih di ranjang.
“Kau menyesali perbuatan yang telah kita lakukan, Diajeng?” tanya Kangmas ketika menatap wajah Diajeng yang nampak redup. Ada cairan bening yang menggenang di pelupuk mata Diajeng yang berbulu lentik.Lalu setetes cairan bening itu merembes dan mengalir ke pipinya yang lembut. Tapi, Diajeng tiba-tiba tersenyum manis ketika jari-jari tangan Kangmas menghapus air mata di pipinya.
“Tak ada yang perlu disesali, Kangmas. Kita mungkin telah ditakdirkan bertemu dan bercinta di sini,” ujar Diajeng lirih, sambil menundukkan wajah,tampak matanya menatap perutnya yang terbalut selimut. “Kita punya agama yang melarang sepasang manusia bercinta bukan dengan pasangan resminya,” ujar Kangmas mencoba mengusik hati Diajeng, karena Kangmas tahu Diajeng sudah menjadi istri yang mengkhianati suami dan Kangmas pun telah menjadi suami yang mengkhianati istri.
“Bukankah dalam ikrar pernikahan dulu kau melafalkan cinta dan kesetiaan kepada suami dan aku pun melafalkan ikrar cinta dan kesetiaan kepada istri?” lanjut Kangmas. “Ya. Kita telah menjadi sepasang pengkhianat, Kangmas. Kita bisa jadi akan dikutuk Tuhan.Tapi, siapa yang telah mempertemukan kita di sini kalau bukan Tuhan?” kata Diajeng, seperti ingin menghibur Kangmas.
“Jangan memojokkan Tuhan. Agama melarang kita bersikap tidak adil kepada Tuhan. Dan agama menganjurkan kita untuk segera bertobat setelah berbuat dosa,” sergah Kangmas dengan lidah kelu. Kangmas sekilas terbayang api neraka jahanam berkobar menjilati tubuhnya dan tubuh Diajeng pada saat bersatu dalam kobaran gairah yang menggebu.Dan itulah sebabnya Kangmas menolak Diajeng ketika Diajeng mengajak bercinta lagi untuk yang kedua kalinya.
Dalam hati Kangmas sempat menduga Diajeng adalah perempuan dengan gairah besar sehingga dalam semalam tidak cukup hanya menikmati satu kali percintaan. Dugaan itu berdasarkan kenyataan betapa tadi Diajeng cukup lama melenguh-lenguh tak seperti istrinya ketika sedang meraih puncak kenikmatan.
“Maafkanlah, aku sudah cukup tua untuk mengulanginya,” bisik Kangmas dengan menahan malu ketika Diajeng memeluknya dalam kemesraan yang hangat. Dan tiba-tiba Diajeng melepaskan pelukannya dengan wajah tersipu. Kangmas yakin, Diajeng pasti mengerti betapa laki-laki setengah baya seperti Kangmas sudah mengalami kemerosotan stamina.
***
LEMPUK durian, makanan ringan khas Bengkalis Riau itu, memang terbuat dari durian dan gula, sangat kaya kalori, dan bisa menaikkan tekanan darah dan memanaskan gairah. Sejak Kangmas mendarat di Bumi Lancang Kuning, dalam rangka mengamati kerusakan hutan akibat penjarahan untuk proyek reboisasi nasional yang dikerjakan dengan teman-teman anggota LSM di seluruh pelosok Indonesia,
Kangmas bertemu perempuan kelahiran Solo yang kemudian mengikuti suaminya di Balikpapan. Perempuan itu punya nama, tapi Kangmas lebih suka memanggilnya Diajeng karena perempuan itu pun suka memanggilnya Kangmas. Diajeng adalah ketua LSM lingkungan di Balikpapan, meskipun sehari-hari sibuk menjadi ibu rumah tangga. Suaminya pedagang alat-alat elektronik yang sering pergi ke Singapura untukmencaridagangan.
Sejak menikah, Diajeng sering mengaku kesepian di rumah bersama dua anaknya yang kini sudah duduk di bangku SD. Itulah sebabnya, Diajeng kemudian mencari alasan untuk menghindari kejenuhan dan kesepian di rumah dengan membentuk LSM lingkungan. Diajeng merasa gembira karena suaminya ternyata sangat mendukungnya. “Siapa yang tidak bangga menjadi suami seorang aktivis lingkungan yang memang sangat dibutuhkan di negeri yang sedang mengalami kerusakan lingkungan sangat parah ini?”
ucap suaminya, seperti ditirukan Diajeng dalam percakapan dengan Kangmas ketika sedang sama-sama memotret kondisi hutan yang nyaris gundul di pinggiran Bengkalis sebelum kemudian kembali ke hotel. Seperti yang telah direncanakan, Kangmas dan Diajeng berada di Bengkalis selama 10 hari, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kangmas akan pulang ke Kudus, dan Diajeng pulang ke Balikpapan.
Selanjutnya, keduanya mungkin tidak akan pernah bertemu kembali. Keduanya hanya bertugas mengamati dan memotret serta membuat catatan tentang kondisi hutan di Bengkalis untuk dikirimkan ke Jakarta sebelum kemudian dijadikan bahan pembuatan proposal reboisasi nasional. Sejak pulang ke daerah masing-masing setelah bercinta di hotel di Bengkalis,hampir setiap pekan Kangmas dan Diajeng saling berkirim-kiriman SMS. “Sejak pulang dari Bengkalis aku tidak menstruasi, Kangmas,” ujar Diajeng lewat SMS.
“Kau memang subur. Suamimu beruntung punya istri yang subur, ”balas Kangmas. “Ada masalah serius, Kangmas. Enam bulan sebelum pergi ke Bengkalis dan bertemu Kangmas, sampai sekarang aku tidak pernah bercinta lagi dengan suamiku. Ketahuilah, suamiku impoten setelah kecelakaan ringan di jalan raya,” balas Diajeng. Dada Kangmas langsung sesak. Jantungnya berdetak kencang. Dibayangkan Diajeng tiba-tiba dibantai oleh suaminya dalam keadaan perut bunting.
Lalu jenazahnya dirajang- rajang menjadi belasan potong bersama jenazah janin yang dikandungnya. Suaminya dendam melihat Diajeng hamil, padahal tidak pernah dibuahinya lagi. Biasanya, dendam laki-laki impoten memang sangat dahsyat. Banyak pelaku penganiayaan istri dari ringan sampai yang paling sadis adalah suami-suami impoten. “Sebaiknya gugurkan kandunganmu sebelum ketahuan suamimu,”balas Kangmas lagi. “Apa pun risikonya, janin buah cinta kita tak akan kugugurkan, Kangmas.
Kalau suamiku menceraikan aku karena aku hamil bukan dengan dia, aku akan pulang ke Solo, Kangmas,” balas Diajeng. Kangmas ingin membalas SMS Diajeng lagi, tapi pulsanya habis. Lalu diletakkan handphone di atas meja ruang keluarga sebelum Kangmas bergegas ke kamar mandi karena kebelet mau buang air kecil. SMS-SMS dari Diajeng tadi belum sempat dihapus. Ketika Kangmas keluar dari kamar kecil dan kembali ke ruang keluarga, handphone sudah dipegang oleh istrinya.
Tampak wajah istrinya sangat redup sambil membaca SMS SMS di dalam handphone. Kangmas mencoba berpura- pura santai, meski kecemasan menikam dadanya. Kangmas menduga, setelah istrinya membaca semua SMS dari Diajeng, akan langsung mengamuk dan mengutuknya sebagai suami pengkhianat. Benar dugaan Kangmas, istrinya langsung membanting handphone sambil menangis dan berlari ke kamar tidur. Kangmas mengejar istrinya ke kamar tidur.
Kangmas berusaha berbohong tentang SMS SMS yang baru saja dibaca istrinya. Dikatakan bahwa SMS-SMS itu hanya kata- kata kosong yang dikirimkan seseorang entah siapa untuk merusak rumah tangga.Tapi ternyata istrinya tidak mempercayainya lagi. Setelah capek menangis, istrinya bergegas mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Kepada ibu mertua, istrinya menitipkan ketiga anakanaknya.
“Maaf, Bunda. Saya harus pulang ke Semarang. Titip anak-anak,” ujar istrinya dengan bercucuran air mata. Ibu mertua hanya terpana tak mengerti. “Dia marah karena membaca SMS,” lapor Kangmas kepada ibunya, setelah mobil istrinya meninggalkan halaman rumah. “SMS dari siapa? Kau sudah mengkhianatinya?” tanya ibunya dengan wajah redup. Kangmas tak mampu menjawab.
Tiga bulan kemudian, Diajeng tiba-tiba muncul dengan perut buncit dan wajah memar-memar. “Terpaksa aku datang, Kangmas. Entah akan ke mana aku jika tidak boleh tinggal di sini,” ujar Diajeng dengan mata berkaca-kaca. “Diajeng hamil karena perbuatan putraku ini?”tanya ibunya setelah menatap Kangmas hanya terbungkam di ruang tamu. “Ya, saya mencintainya, Bunda.”
Kangmas buru-buru mewakili Diajeng menjawab pertanyaan ibunya. Rasanya Kangmas harus bersikap tegas dan berani bertanggung jawab. Diajeng pasti sudah menderita akibat dianiaya suaminya yang dendam melihatnya hamil. Jika kini Diajeng datang kepada Kangmas di Kudus pasti karena tidak mau menyusahkan orang tuanya di Solo. “Bagaimana dengan anakanak? Kenapa tidak diajak?” tanya Kangmas.
“Suamiku mengusirku tanpa membolehkan aku membawa anak-anak,” jawab Diajeng. “Semoga anak- anakmu selamat. Kasihan mereka, kini harus kehilangan ibunya garagara perbuatanku,”ujar Kangmas penuh penyesalan. “Tak usah menyesal, Kangmas. Mungkin sudah takdir kita untuk menjalani hidup seperti ini.”
***
SETELAH Diajeng datang dan menyatakan ingin hidup bersama Kangmas, ibunya segera menyuruh Kangmas mencari rumah kontrakan di luar kampung untuk menghindari pergunjingan masyarakat.
Diajeng dan Kangmas kemudian tinggal di rumah kontrakan. Keduanya seperti sepasang pengantin yang sedang bahagia menanti kelahiran anak pertama buah cintanya. Sebagai penulis lepas dan makelaran mobil bekas, Kangmas mampu menghidupi Diajeng dengan cukup sejahtera. Kangmas beruntung karena ibunya seorang pensiunan guru negeri. Dengan uang pensiunnya, ibunya mampu membahagiakan cucucucunya.
Tengah malam itu, Diajeng sakit perut. Ada tanda-tanda bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Maka segera Kangmas melarikan Diajeng ke klinik untuk mendapatkan pertolongan bidan. Entah karena dikutuk Tuhan atau karena sudah takdirnya, Diajeng kesulitan melahirkan. Napas dan tenaganya nyaris habis, tapi bayinya belum juga lahir. Darah sudah terlalu banyak keluar.
Kangmas mendesak bidan untuk mengambil sikap tegas. Jika memang tak mampu menolong Diajeng, harus segera mengirimkannya ke rumah sakit agar dilakukan operasi Caesar. Tapi bidan tetap bersikukuh bahwa sebentar lagi bayi akan segera lahir. Di tengah proses persalinan yang sangat berat, Diajeng sesekali mengerang dan merintih- rintih. “Kangmas… Kangmas… Kangmas…”
Dan setiap Kangmas mendengar rintihan itu dari mulut Diajeng yang makin gemetar, jiwa Kangmas seperti tersayatsayat. Kangmas pun menangis seperti anak kecil. Didekapnya Diajeng dan diciumi wajahnya dengan mesra. Bidan tampak semakin gugup. “Kangmas… Kangmas… Kangmas…,” rintih Diajeng semakin lirih.Tangis Kangmas semakin menjadi-jadi. Sekian detik kemudian, Diajeng memejamkan mata, bibirnya diam, napasnya telah habis.
Sejak Diajeng wafat bersama bayinya, penyesalan terusmenerus merajam jiwa Kangmas. Ibunya gagal menghiburnya dengan berbagai cara. Ibunya juga gagal menyembuhkannya dari luka jiwa. Selebihnya, setiap hari Kangmas hanya bisa berdiri termangu-mangu di ruang keluarga, di ruang tamu, di beranda, di halaman, dan sesekali Kangmas tersentak dengan mata jelalatan karena telinganya tiba-tiba mendengar Diajeng merintih-rintih. “Kangmas… Kangmas… Kangmas…”
Griya Pena Kudus, 2005 2011
*) Maria Magdalena Bhoernomo, lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Menulis ribuan prosa, puisi, dan esai yang dipublikasikan di berbagai media.