Muhammad Yulius *
http://www.kompasiana.com/muhammadyulius
Bertatap muka dengan para siswa dan guru//dalam masa enam tahun ini lebih dari seratus ribu//tariklah garis Banda Aceh, Waingapu, Nunukan mencakup segitiga itu//melintas darat laut dan ufuk yang biru//sastra bertiup segar ke 213 sekolah di 164 kota itu…
Penggalan puisi berjudul “Memimpikan Lautan Rimba Jati di Pegunungan, Perbukitan, dan Lembah Negeri Ini” ini ditulis Taufiq Ismail untuk mengawali halaman buku Mengantar Sastra ke Tengah Siswa (Yayasan Indonesia/The Ford Foundation, 2006). Buku yang disusun dalam rangka memperingati 40 tahun majalah sastra Horison (1966-2006) ini merekam kegiatan program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) selama 5 tahun (2000-2005).
Dalam buku ini, Taufiq mengungkapkan fakta-fakta yang memilukan tentang perkembangan dunia pengajaran sastra di negeri kita. Soal pembiasaan membaca dan menulis di sekolah menengah di beberapa negara, misalnya, fakta menunjukkan bahwa sejak 1943 pengajaran sastra di Indonesia berjalan dengan 0 (nol) buku, sementara negara-negara lain mewajibkan siswanya membaca 6-15 buku (ASEAN) dan 15-32 buku (Eropa dan Amerika Serikat). Bahkan, ungkap Taufiq, SMA Hindia Belanda (zaman penjajahan) mewajibkan siswanya membaca sastra dalam 3 tahun sebanyak 25 buku, setara dengan Eropa dan Amerika hari ini. Situasinya makin parah jika dilihat dari fakta lain, yaitu tugas mengarang di SMA. Di AMS Hindia Belanda, tugas mengarang sebanyak 1 tulisan seminggu, 36 setahun, 108 dalam 3 tahun. Bandingkan dengan SMA masa kini yang tugas mengarangnya hanya sekali dalam setahun.
Taufiq menggambarkan situasi gawat ini seperti orang tidur berjamaah tanpa ada seorang pun yang tersadar lalu bangkit untuk memperbaiki keadaan. Sepanjang 64 tahun (hingga buku Mengantar Siswa dicetak tahun 2006), para sarjana, peneliti, praktisi, sastrawan, himpunan sastra, dan pendidikan sastra di Indonesia tertidur kolektif dan mendengkur bersama-sama. Kondisi ini, menurut Taufiq, diperparah dengan situasi makro penerbitan majalah sastra di Indonesia. Taufiq membandingkannya dengan Mesir. Negara berpenduduk 60 juta jiwa itu memiliki 12 majalah sastra, sementara Indonesia dengan 220 juta penduduk—mestinya punya 44 majalah sastra—hanya memiliki 1 majalah sastra. Ini artinya, demikian Taufiq, kita tertinggal 2,4 persen alias Mesir lebih maju 97,5 persen.
Dalam persoalan tiras, penerbitan majalah sastra di negeri kita juga amat memalukan. Di Malaysia, Taufiq membandingkannya dengan Dewan Pelajar, majalah khusus pelajar SMA. Tirasnya 50 ribu. Sedangkan di Indonesia, tiras Kakilangit (sisipan majalah Horison) hanya 12 ribu. Satu-satunya majalah sastra remaja yang mengalahkan Dewan Pelajar adalah Annida ketika masih menjadi majalah cetak dengan tiras 49 ribu per dua pekan.
Apa sesungguhnya yang menjadi biang keladi persoalan yang dideretkan Taufiq Ismail di atas?
Saat membuka program workshop menulis khusus untuk guru bahasa Indonesia di Depok, Jawa Barat, saya menemukan salah satu penyebabnya, yaitu kreativitas. Guru bahasa Indonesia kita telah lama mengajar tanpa kreativitas. Mereka benar-benar menjadi sekadar alat penggugur kewajiban mengajar. Para guru itu bahkan seluruhnya tak mampu menulis karya sastra!
Jika adagium “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” kita jadikan pisau untuk membedah masalah ini, kentara sekali bahwa murid-murid yang berlari itu sekadar meniru apa yang dilakukan para gurunya—jika gurunya tak paham sastra, jangan tanya muridnya.
Tentu saja, kreativitas yang saya maksud bukanlah “tindakan pemberontakan” para guru terhadap kurikulum. Informasi faktual yang saya lansir di atas juga bukan dengan tendensi menjadikan sekolah sebagai tempat mencetak penulis, sebab sastra bukan sekadar persoalan menulis dan membaca—oleh karena itu, pengajaran sastra tidak sama dengan “mengajari siswa agar menjadi sastrawan”. Persoalan menulis dan membaca dalam sastra adalah persoalan substansial sebuah bangsa, yakni peradaban. Di dalam aktivitas menulis dan membaca-lah peradaban bangsa diletakkan, sebagaimana Allah pagi-pagi menyuruh Nabi saw untuk membaca (iqra!). Nah, jika membaca dan menulis adalah piranti lunak alias software peradaban maka sastra adalah piranti keras (hardware)-nya. Dengan demikian pengajaran sastra harus berpijak kepada dua piranti ini.
Para pembuat kebijakan dunia pendidikan harus melihat program-program semacam SBSB sebagai terapi kejut terhadap pengajaran sastra kita yang telah lama tak memberikan apa-apa kepada siswa. SBSB tak bisa berbuat lebih jauh lagi. Namun, sebagian siswa yang tertarik kepada dunia sastra kini lebih memilih dunia maya (blog, multiply, facebook, twitter, dll) untuk menumpahkan uneg-uneg mereka daripada membiarkan jawaban yang tak pernah mereka dapatkan dari guru-guru bahasa Indonesia. Internet terbukti telah memberikan kanalisasi positif bagi peningkatan kemauan membaca dan menulis siwa melalui catatan harian. Karya para siswa ini bahkan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, seperti Kambing Jantan (Raditya Dhika, Gagas Media) atau Diary Dodol Pelajar Konyol (Zulfian Prasetyo, LPPH). Nah, jika dengan SBSB dunia pengajaran sastra kita tak juga mengalami pencerahan, mari kita ramai-ramai bertanya: mau ke mana pengajaran sastra kita?
_____________27 December 2011
*) MUHAMMAD YULIUS menekuni dunia jurnalistik sejak 1992 sebagai penulis freelance pada beberapa media Islam. Pada tahun 1998 ia bergabung bersama Majalah Annida sebagai Redaktur, lalu Redaktur Pelaksana, dan terakhir Pemimpin Redaksi. Lulusan jurusan broadcasting Universitas Mercubuana dan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) ini juga merambah dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario dan produser. Beberapa karya yang telah ditulisnya adalah Antologi Puisi Indonesia (KSI dan Penerbit Angkasa, 1997), Graffiti Imagi (Yayasan Multimedia Sastra, 2001), Sajadah Kata (Syaamil, 2001), Salju di Mata I…
Dijumput dari: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/27/mau-ke-mana-pengajaran-sastra-kita/