Pergulatan Sastra Pesantren; Sebuah Harapan

M. Arwan Hamidi *
ind.lakpesdam-ponorogo.org

Prof. Drewes, sarjana bahasa Jawa, Melayu dan Arab dari Leiden, dalam bukunya Javanese Poems Dealing wuth, or Atributed to the Stain of Bonang (1968), pernah mengkritik sangat tajam ahli antropologi dari Amerika, Clifrord Geertz mengenai pengamatannya tentang Islam di Jawa: “kalau kita membaca pengamatan Geertz mengenai Islam di Jawa, maka kita akan mendapat kesan seolah bangsa Jawa adalah bangsa yang buta huruf. Karya sastra Islam sama sekali tidak disebut: tidak satu kitab kuningpun yang disebut dan juga karya sastra Islam dalam bahasa Jawa dibaitkan secara total….” (Karel A. Steenbrink, 1988). Apa yang telah dikatakan Drewes tersebut, mungkin tidak berguna bagi orang yang tidak mengenal siapa Geetz sesungguhnya, dan apa kontribusinya terhadap pemetaan masayarakat Jawa. Akan tetapi, bagi mereka yang telah mengenal dan membaca –atau paling tidak mendengar namanya– karya-karyanya, baik yang masih dalam bentuk bahasa asing ataupun yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mungkin memiliki arti dan makna tersendiri. Bagi masyarakat pesantren, mungkin tidak asing dengan istilah “santri,” “abangan” dan “priyai.” Dengan demikian, sebenarnya mereka dengan sendirinya juga telah mengenal Geertz, karena diakui ataupun tidak, Geertz-lah yang telah mendefinisikan ulang dan mempopulerkan istilah-istilah tersebut dalam studi Jawa di ranah internasional, meskipun ketiga istilah itu tidak serta-merta dipahami sebagaimana yang dipahami oleh Geertz sendiri (1960). Untuk sementara kita tinggalkan Geertz, kita kembali dengan perkataan Drewes. Ada baiknya, kita sejenak memperhatikan kata-katanya dan dibarengi dengan melihat kondisi kita hari ini.

Bagaimana selama ini kita memperlakukan “sastra” dalam tradisi pesantren? Bagaimana kita memandangnya? Seberapa besar perhatian kita pada aspek yang satu ini? Jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, lamat-lamat telah kita miliki sebelum kita disodori pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin apa yang dikatakan oleh Drewes ada benarnya. Tidak hanya Greetz yang kurang memperhatikan sastra Islam pesantren, akan tetapi kritikan itu juga berlaku bagi kita. Masih sedikit dari kalangan kita sendiri yang memiliki perhatian terhadap tradisi sastra dalam konteks pesantren, baik masa lalu (sejarah) maupun sekarang. Dalam artian, tidak hanya pemeliharaan terhadap karya-karya sastra masa lalu yang telah ditulis leluhur kita, ataupun pengembangan tradisi sastra itu sendiri di hari ini. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan Penyair asal Sumenep, Madura, Jatim, D Zawawi Imron, “sastra pesantren itu sesungguhnya telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia” (Kompas Cyber Media, Rabu, 29 September 2004, www.kompas.com). Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, telah banyak karya sastra yang dihasilkan dari tradisi kita yang bisa diketemukan, seperti Serat Jatiswara, Serat Centhini, Serat Anbiya dan Tapel Adam. Yang sedikit banyak menggambarkan kehidupan pesantren, baik dari segi ajaran, perilaku, adat, budaya dan bahkan pergolakan yang terjadi di dalamnya –meskipun tidak sedikit para sarjana, baik dari Indonesia sendiri maupun dari Barat yang memperdebatkannya selama beberapa dekade, dan bahkan hingga hari ini (Karel A. Steenbrink, 1988). Yang sering kali karya-karya ini berubah statusnya, dari karya sastra menjadi sebuah mitologi. Suasana dan karakteristik pengembangan susastra semacam ini paling tidak terus subur berkembang hingga awal abad ke-19.

Pada fase selanjutnya mengalami kemerosotan dan kemunduran, hingga kira-kira sekitar akhir paruh pertama abad ke-20, di situ mulai bermunculan berbagai nama seperti Djamil Suherman, Mohammad Radjab, A.A. Navis, HAMKA dan Ki Pandji Kusmin. (Abdurrahman Wahid, 1973). Fase ini bisa dikatakan fase kebangkitan kembali sastra pesantren. Juga perlu dicatat, dalam fase ini paradigma yang digunakan telah banyak mengalami pergeseran dibandingkan fase sebelumnya, hal ini pada dasarnya dapat ditebak dengan mudah, yaitu adanya pengaruh modernisasi, yang diusung Belanda walaupun lewat kolonialisasinya. Karakteristik sastra pesantren dalam fase ini paling tidak dapat dibagi dalam dua kelompok besar, pertama, karya yang mengangkat pesantren hanya sebagai sebuah latar kehidupan, seperti karya HAMKA “Di Bawah Lindungan Ka’bah.” Dalam karya ini, HAMKA justru tidak menggambarkan –meminjam bahasa Gus Dur– “kejiwaan pesantren.” Walaupun yang dikemukakan adalah cerita berlatar belakang kehidupan beragama, tetapi tema pokoknya tidaklah demikian. Tema itu adalah mengenai kegagalan cinta dan usaha mengatasinya, dengan cara mengasingkan diri di Mekkah. Tema cinta adalah tema umum kemanusiaan, apapun latar belakangnya. Dalam hal ini karya HAMKA tersebut, menurut Gus Dur, mengingatkan kita pada pengorbanan tokoh utama karya Andre Gide, “La Porte Etroite,” dalam karya ini Alisa mengorbankan cintanya dengan jalan menjadi seorang biarawati. Kedua, karya yang bisa mengekplorasi “kejiwaan pesantren,” misalnya cerpen A.A. Navis “Robohnya Surau Kami,” yang menggambarkan fatalisme yang melanda kehidupan beragama, yang merupakan problematika khas pesantren (Ibid.).

Pada 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Fudoli Zaini dan beberapa nama yang bisa dianggap mewakili kaum santri. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib, protolan Pesantren Gontor dengan sajak-sajak religiusnya yang kental. Tahun 1980-an muncul K.H. Mustofa Bisri, Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah El-Khaleiqy dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1990-an tampil Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, Kuswaidi Syafi’ie dan lain-lain. Karya-karya mereka pada umumnya diwarnai nafas Islam. Dilihat dari sisi bentuk dan isinya karya-karya sastrawan yang pernah belajar di pesantren itu tidak banyak berbeda dengan sastrawan-sastrawan muslim yang tidak pernah mondok di pesantren. Menurut D Zawawi Imron, tema-tema yang beraneka ragam yang mengarah pada luasnya cakrawala kahidupan, agaknya terus ditulis oleh para santri atau alumni pesantren sebagai sastrawan modern. Namun tema yang beraneka ragam itu tetap mengacu pada satu kesadaran, yaitu tauhid. Para sastrawan yang tidak pernah mengecap pendidikan pesantren, tapi punya kesadaran tauhid karyanya juga tidak berbeda dengan karya alumni pesantren. Berarti juga dapat dikatakan sejak era 60’an, sastra pesantren telah bisa memiliki ciri khas tersendiri dalam spektrum sastra Indonesia, walaupun ciri tersebut kadang-kadang masih kabur dan terkadang agak jelas. Setelah itu, di beberapa pesantren, seperti Sidogiri (Pasuruan), Al-Amien (Prenduan, Sumenep) dan pesantren Suci (Gresik) telah banyak menghasilkan santri yang menulis sastra. Karya mereka banyak yang dimuat media massa. Selain itu mereka juga menerbitkan buletin pesantren yang di dalamnya memuat karya sastra. Mungkin hal ini terjadi ketika di bidang politik kaum santri kurang berhasil, barangkali dengan sastra mereka bisa memberi sesuatu yang lain kepada masyarakat (Kompas Cyber Media, Rabu, 29 September 2004, www.kompas.com).

Jika apa yang dikatan oleh Zawawi Imron, karya-karya “sastra pesantren” memiliki ciri mengacu pada satu kesadaran, yaitu tauhid. Yang menarik di sini adalah ada beberapa karya sastra (pesantren) modern yang kadang sering dianggap paradoksal. Yaitu karya yang mungkin bagi sebagian orang bukan merupakan karya “sastra pesantren” tetapi lebih sebagai karya seorang santri. Yaitu karya Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya, Geni Jora-nya Abidah El-Khaleiqy atau Kuda Ranjang karya penyair muda Binhad Nurrahmat. Menurut Syarif Hidayat Santoso karya para penyair “vulgar” seperti Binhan Nurrahmat, ataupun karya mbeling Abidah El-Khaleiqy yang getol mengingkari patriarkisme, harus pula disertakan dalam literatur “sastra pesantren” sebagaimana literatur sastra Islam klasik menyertakan karya Abu Nuwas (757-815) dan karya seorang sufi Omar Kayyam (w. 1132) yang terjerat skandal anggur dan cinta dalam setiap ekstase syairnya. “Erotika” pada karya Binhand, menurutnya, dapat disamakan dengan “mabuk anggurnya” Abu Nuwas atau puncak enjakulasi cintanya Omar Kayyam (Kompas, 29 Oktober 2005). Bagi penulis, tanpa harus susah-susah dan jauh-jauh mengkaitkan ketiga karya sastra pesantren tersebut dengan karya sartra Islam klasik, sebenarnya hal ini bukan merupakan barang baru bagi “sastra pesantren,” hal ini tampak pada perdebatan Serat Centini dan Serat Jatiswara, misalnya, yang dianggap bagi sebagian kalangan sebagai karya sastra pesantren yang “cabul,” meski belum ada kesepakatan yang bulat tentang hal ini (Karel A. Steenbrink, 1988).

Sampai di sini bisa kita lihat, bagaimana perjalanan “sastra pesantren” yang cukup dinamis dari waktu ke waktu yang terkadang terasa kontradiktif-paradoksal. Hingga menyulitkan kita untuk melakukan pememetaan dari berbagai kecenduran yang ada. Akan tetapi yang jelas, “dunia sastra pesantren” sebenarnya menyimpan kekayaan yang tidak dapat dinafikan pada peta sastra dunia. Meski demikian, menurut hemat penulis, sastra pesantren masih harus terus melakukan pencarian dalam pergulatan yang tidak pernah mengenal lelah, demi merengkuh nilai originalitas dan otentisitas. Mampukah? hanya sejarah yang akan membuktikannya.
***

Wa fawqa kull dzî ‘ilm ‘alîm…

Ponorogo, 04 Desember 2005.

*) M. Arwan Hamidi (Alumnus Pon-Pes Al-Islam Joresan Ponorogo, Aktivis LAKPESDAM-NU Ponorogo).